Sep 16th 2023, 08:01, by Wina Ramadhani, kumparanSAINS
Bisfenol A (BPA) adalah senyawa kimia yang banyak digunakan dalam produksi berbagai jenis plastik, termasuk kemasan makanan dan minuman.
BPA memiliki risiko bahaya karena dapat berpindah dari kemasan ke makanan atau minuman yang terkandung di dalamnya, terutama saat terpapar panas atau zat asam. Hal ini dapat menyebabkan gangguan hormonal pada manusia karena BPA dapat meniru hormon estrogen.
Hal inilah yang menjadi perhatian dunia. Beberapa negara pun telah mengambil langkah-langkah untuk mengatur penggunaan BPA. Di antaranya menetapkan batas aman BPA dianggap sangat penting dalam menjaga kesehatan konsumen. Misalnya, Uni Eropa (UE), Thailand dan Mercosur—negara-negara Amerika Selatan seperti Argentina, Brazil, Paraguay dan Uruguay.
Negara dengan Regulasi Ketat BPA
Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM Anisyah, S.Si Apt, MP, mengatakan, bahwa isu BPA ini bukan lagi isu nasional, tapi sudah jadi isu global.
Ia mencontohkan pengetatan regulasi di Uni Eropa (UE) yang pada 2011 menetapkan batas migrasi BPA sebesar 0,6 PPM, tetapi pada 2018 justru direvisi dan diperketat jadi semakin rendah di level 0,05 PPM.
Ada pula Thailand dan Mercosur, yang pada 2022 dan 2021 juga sudah mengubah batas maksimum migrasi BPA jadi makin rendah hingga sebesar 0,05 PPM. Artinya, risiko kontaminasi BPA dari kemasan pangan atau minuman ke produk sudah dianggap sangat berbahaya dan harus dihindari.
Bahkan, Anisyah juga mengatakan bahwa Eropa sudah bertindak lebih jauh. Bukan cuma memperkecil batas migrasi BPA, Eropa secara drastis menurunkan angka asupan harian (total daily intake/TDI) pada asupan tercemar BPA yang dikonsumsi manusia setiap hari.
"Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) sudah melakukan penilaian ulang terhadap TDI atau asupan harian yang bisa ditoleransi terhadap BPA," kata Anisyah pada diskusi bertajuk "Urgensi Pelabelan BPA pada Galon Polikarbonat Bermerek" yang ditayangkan MetroTV.
Anisyah menambahkan, bahwa pada 2015 EFSA menetapkan TDI untuk BPA sebesar 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun, pada April 2023 lalu sudah ada pemberitahuan dari EFSA bahwa TDI yang baru sudah ditetapkan dengan nilai 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Ini artinya, nilai TDI yang baru ini 20.000 kali lebih rendah.
Regulasi BPA di Indonesia
BPOM bisa melakukan penilaian ulang terhadap regulasi sebelumnya, karena mempertimbangkan dampak kesehatan dan risiko terjadinya pelepasan BPA selama proses distribusi.
Selain itu, juga diperkuat dengan hasil temuan BPOM pada 2021-2022, yang menunjukkan terjadinya peningkatan migrasi BPA pada kemasan galon isi ulang yang cukup signifikan.
"Jadi, asupan harian (BPA) yang bisa ditoleransi menjadi lebih ketat. Ini salah satu yang melatarbelakangi kenapa kami juga melakukan penilaian ulang terhadap regulasi yang ada," kata Anisyah.
Anisyah mengatakan bahwa kondisi ini mengkhawatirkan. Sebab, hasil ujinya cukup tinggi, yaitu ada di kisaran 0,05 sampai 0,6 PPM. Ada pula kasus yang sudah melebihi ketentuan yang ada di atas 0,6 PPM. Hal ini menjadi dasar bagi BPOM untuk melakukan penilaian ulang regulasi BPA di Indonesia.
Di Indonesia sendiri dalam Peraturan BPOM No. 20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, batas migrasi BPA di dalam kemasan galon isi ulang polikarbonat belum direvisi, yakni masih di level 0,6 PPM.
Bercermin pada EFSA yang telah mengambil kebijakan sangat ketat, panel ahli mereka menyimpulkan bahwa orang dari semua kelompok usia, termasuk anak-anak kecil, berisiko terhadap kesehatan akibat BPA dari makanan atau minuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar