Jul 15th 2023, 09:39, by Choirul Hudha, Choirul Hudha
Ibadah haji dianggap sebagai bentuk aktualisasi diri untuk menapak tilas teladan yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim a.s. Ada pengorbanan dalam bentuk materi sebagai syarat utama untuk melaksanakannya. Terdapat kesabaran dalam bentuk penantian untuk memulainya. Memerlukan daya yang besar untuk menjalankan syarat dan rukunnya.
Ibadah haji bukan hanya peribadatan yang penuh dengan kesakralan, melainkan juga bentuk kedewasaan dan puncak kesabaran dalam laku penghambaan pada Tuhan. Haji bukanlah manajemen kesan untuk menghadirkan citra diri dan membentuk nilai tambah di hadapan orang lain dengan label khasnya, "H".
Pada tahun ini, jumlah total keseluruhan jemaah haji Indonesia mencapai 229 ribu jiwa, naik 8 ribu setelah pemerintah Arab Saudi memberikan kuota tambahan dari yang semula hanya 221 ribu. Dari jumlah tersebut, apa keuntungan yang dapat kita ambil selain hubungan bilateral yang harmonis serta tersalurkannya aspirasi masyarakat? Apa hikmah yang dapat kita petik dari banyaknya kuantitas jemaah haji Indonesia dalam konteks sosial kemasyarakatan?
Selama ini haji dianggap sebagai pilihan rasional masyarakat untuk melegitimasi kemampuan atau tingkat keilmuan seseorang (Van Bruinessen, 1991). Haji merupakan impian semua orang karena dianggap dapat menaikkan status dan stratifikasi sosial lewat apresiasi yang diberikan oleh masyarakat.
Tingginya apresiasi tersebut di sisi lain mendorong terbentuknya pertukaran sosial yang lebih bersifat materil. Pada umumnya, seseorang yang berhasil menunaikan haji dianggap memiliki kemampuan ekonomi menengah ke atas.
Oleh sebab itu, seorang haji akan dipandang sebagai garantor atas suksesnya kegiatan sosial, sehingga masyarakat tidak segan untuk meminta bantuan materi yang dipertukarkan dengan bentuk penghormatan.
Adapun bagi seorang haji, ia akan berusaha menciptakan kesan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui cara berpakaian hingga bersikap. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila antusias masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji menjadi tinggi.
Gelar haji pada akhirnya menciptakan stratifikasi sosial yang berdampak pada persaingan untuk mendapatkan status terbaik di hadapan masyarakat. Realita tersebut tentu menggeser makna esensial dari pelaksanaan ibadah haji.
Ketika seseorang niat berihram untuk melaksanakan ibadah haji, maka hakikatnya ia sedang berusaha untuk memutihkan diri dan berikhtiar sedapat mungkin menjadi pribadi yang lebih baik.
Demikian pula ketika seseorang melaksanakan wukuf yang makna harfiahnya adalah berhenti. Seorang haji seyogyanya berhenti dari hal-hal buruk dan tercela, juga berhenti untuk mengejar ambisi individu yang mengorbankan kepentingan bersama.
Di samping itu, saat wukuf berlangsung, ada jutaan jemaah haji dari berbagai lapisan masyarakat yang seluruhnya berkumpul dalam satu titik, yakni Arafah. Hal tersebut menjadi simbol inklusivitas yang dijunjung tinggi, bahwa semua orang dari latar belakang apa pun memiliki hak dan kewajiban yang sama. Begitupun saat tawaf dan sai dilaksanakan.
Ada nilai-nilai humanis yang terkandung dalam dua rukun tersebut, bahwa kehidupan merupakan usaha yang dibalut dengan keterpaduan, karena sejatinya manusia hidup berdampingan dan saling membutuhkan.
Sayangnya, membentuk kesadaran masyarakat mengenai hakikat ibadah haji dan nilai sosialnya tidaklah mudah. Hal tersebut beralasan, karena selama ini masyarakat menganggap haji sebagai ritus keagamaan yang menjadi puncak dan penyempurnaan kewajiban seorang muslim.
Ibadah haji hanya dianggap sebagai bentuk menjalankan keyakinan yang diganjar dengan pahala melimpah lewat predikat mabrurnya. Maka tidak mengherankan kalau dalam pelaksanaanya masih banyak ditemukan jemaah haji yang mempertaruhkan keselamatannya demi mendapatkan predikat kesempurnaan dalam ibadah (mabrur), seperti misalnya memaksa berdesakan agar dapat mencium hajar aswad.
Padahal, kaidah ushul fiqh jelas mengatakan kalau menjauhkan diri dari hal yang berisiko lebih utama dibandingkan mencari manfaat, dalam hal ini kesempurnaan ibadah.
Dengan demikian, ibadah haji dalam ruang publik memiliki dua wacana yang menjadi keniscayaan. Pertama, haji hadir dengan sisi agamawinya yang mendorong usaha tercapainya kemabruran.
Kedua, haji muncul dalam wajah sosiologis yang membentuk stratifikasi sosial baru melalui labelisasinya. Jika tidak disikapi dengan bijak, maka keduanya berdampak pada dekonstruksi makna dan menyumbang pada ketidakproduktifan tujuan haji bagi kehidupan sosial bermasyarakat.
Haji sebagai Modal Sosial
Dalam konstruksi sosial, haji secara tidak langsung berfungsi sebagai institusi yang memelihara tradisi dan kontrol sosial di tengah masyarakat.
Berangkat haji bukan saja menunaikan ibadah, tetapi juga merawat interaksi sosial yang dilakukan dalam bentuk selamatan. Kerabat yang jauh akan turut berdatangan untuk mengantar, para tetangga juga ikut menunjukkan kepedulian hingga waktu kepulangan.
Seorang haji akan mengalami mobilitas sosial di dalam hidupnya. Ia akan lebih dipandang dan dihargai oleh masyarakat. Meskipun tidak akurat untuk dijadikan sebagai ukuran kesalehan seseorang, label yang disematkan pada seorang haji menjadi modal sosial berharga dalam meningkatkan kepercayaan, kolektivitas, dan partisipasi. Seorang haji akan mendapatkan kepercayaan diri untuk memimpin dan memulai inisiatif di tengah lingkungannya.
Oleh sebab itu, revitalisasi fungsi sosial dalam haji diperlukan untuk mendorong tujuan haji yang lebih produktif. Ibadah haji tidak boleh menjadi sekadar urusan pribadi meskipun pelaksanaannya dilakukan secara individu. Konsekuensinya, setiap jemaah haji perlu menata niat, menahan diri untuk tidak mengejar mobilitas sosialnya, dan tidak memaksa untuk mencari kemabruran yang diperoleh dengan mengorbankan keselamatan.
Jika kesadaran demikian dapat terbentuk, maka kekuatan transedental ibadah haji akan melahirkan produktivitas sosial bagi masyarakat, baik yang dihasilkan dari sisi profetik maupun sisi humanisnya.
Seseorang yang telah menunaikan ibadah haji tidak hanya akan mengejar mobilitas dan stratifikasi semata, namun juga menjalankan perannya di masyarakat dengan penuh tanggung jawab.
Tanggung jawab tersebut tidak hanya berkontribusi dalam memelihara pergaulan, tetapi juga menciptakan nilai tambah yang mampu menghadirkan harmoni dan integrasi di tengah masyarakat.
Sementara itu, kemabruran yang selama ini menjadi impian semua orang ketika melaksanakan ibadah haji, sejatinya merupakan nilai yang melekat saat bermasyarakat. Predikat mabrur tidak hanya ditentukan oleh kesempurnaan ketika melaksanakan syarat dan rukun haji.
Mabrur berarti menjadi baik, merupakan komitmen sosial seorang haji setelah kembali dari tanah suci sebagai buah dari terlaksananya ibadah yang baik. Mabrur atau tidaknya haji seseorang, dapat dilihat dari komitmen sosialnya di masyarakat. Semakin mabrur, maka kesalehan sosialnya semakin terlihat.
Komitmen tersebut lalu menggerakkan rasa kemanusiaan untuk lebih berempati terhadap penderitaan orang lain, lebih responsif dengan keadaan masyarakat, ringan tangan untuk membantu sesama, dan rendah hati untuk memberikan kesempatan bagi orang lain sebagai bentuk turunnya ambisi untuk menjadi masyhur di hadapan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar