Jul 15th 2023, 09:36, by Waode Nurmuhaemin, Waode Nurmuhaemin
Di luar negeri, menjadi penulis itu prestisius. Orang bisa hidup dari menulis. Bagaimana di Indonesia? Menjadi penulis di Indonesia mungkin sedikit berat kalau hanya mengandalkan menulis untuk menjadi sandaran finansial.
Ada beberapa penulis yang berhasil bahkan kaya raya. Tapi berapa persen? Ada juga yang bisa mengandalkan menjadi penulis-penulis novel digital. Bahkan mungkin ada yang jadi penulis best seller.
Untuk buku, kriteria best seller itu adalah laku 3.000 ribu dalam jangka waktu enam bulan. Hanya sedikit penulis yang bisa mencapai angka tersebut. Lain halnya kalau selebriti yang menulis maka kemungkinan buku atau tulisannya bisa best seller karena sudah memiliki follower yang siap membeli buku mereka.
Namun, banyak juga penulis yang menjadi ghost writer atau penulis hantu. Penulis-penulis yang membuka jasa menuliskan buku untuk orang lain dan karyanya itu diklaim sebagai hasil tulisan sang klien.
Penulis hantu kerap dijalani, karena penulis yang betul-betul penulis hanya mengandalkan hasil tulisan itu terdorong kebutuhan ekonomi. Hasil dari menulis ghost writer ini bisa sangat besar dan sangat kecil. Klien biasa mengetahui bahwa sang penulis kesulitan secara ekonomi sehingga memberi harga yang mengerikan dan tidak manusiawi.
Untuk menerbitkan buku dan menerima royalti juga tidak gampang. Hanya penerbit-penerbit besar yang membayar royalti penulis. Penerbit mayor istilahnya. Diluar itu maka penulis bahkan tidak dibayar dan malahan harus membayar penerbit untuk menerbitkan bukunya.
Sebagai seorang penulis, saya tidak menyandarkan hidup dari menulis. Meskipun sudah ratusan artikel saya diberbagai media dimuat saya paham betul bagaimana susahnya menembus media-media ternama di negara ini. Kalau hanya mengandalkan menulis untuk memenuhi kebutuhan hidup rasa-rasanya belum bisa untuk semua penulis.
Menulis memang tidak akan membuat kaya harta untuk sebagian penulis namun sudah pasti kaya ilmu. Betapa tidak, untuk menulis diperlukan kemampuan merangkai kata yang baik, kalimat-kalimat utuh dan tidak ngambang. Ide-ide brilian dan membuka wawasan bahkan kalimat pertama serta judul yang bisa membangkitkan keingintahuan pembaca.
Seorang penulis pastilah seorang pembaca yang hebat. Tidak akan ada penulis yang tidak suka membaca. Mau menulis apa? Tulisan yang baik adalah hasil dari riset panjang. Itulah mengapa penulis adalah orang yang kaya ilmu.
Meskipun tidak punya banyak uang lebih, penulis akan mengalokasikan budget untuk membeli buku. Bagi saya pribadi, menulis merupakan cita-cita saya sejak kecil.
Bapak saya yang seorang kepala sekolah sering membawa buku-buku bacaan bahkan di saat saya belum lagi masuk SD. Saya suka membaca kisah-kisah mereka yang keluar negeri sejak masih SD. Waktu itu satu-satunya TV hanyalah TVRI.
Waktu duduk di bangku SMA, saya sering mendengarkan radio-radio luar negeri siaran Indonesia. Yang paling saya suka adalah Voice Of Australia yang dibawakan oleh Ebet Kadarusman.
Dengan suaranya yang khas beliau akan menyapa dan menggambarkan cuaca Australia yang lagi musim apa. Saya juga suka mendengarkan radio Jerman siaran Indonesia. Bangganya saya waktu, puisi saya mendapat hadiah prangko empat musim yang dikirimkan radio tersebut.
Saya bawa prangko itu ke sekolah dan pamer sama geng saya, kalau saya sudah jadi penulis. Tentu saja mereka berdecak kagum. Yang saya akhiri dengan traktiran ubi goreng di kantin sekolah.
Saya tinggal di kampung yang ada di kabupaten yang lumayan jauh dari ibu kota provinsi. Sehingga apa yang saya baca di buku-buku yang selalu dibawakan oleh bapak saya, membuat saya ingin menginjak negara bersalju.
Semua teman-teman saya tidak ada yang percaya saya akan menginjak negara bersalju. Khayalan anak kampung. Pesawat saja hanya pada saat pemilu melewati kampungku, itupun saya hanya dengar cerita dari para orang tua di kampung saya.
Zaman dulu, dapat beasiswa itu hal yang sangat susah tidak seperti saat ini, beasiswa berhamburan. Bahkan saking banyaknya anak-anak sampai kebingungan memilih beasiswa.
Ada satu buku yang membuat saya sangat senang waktu itu yaitu cerita tentang anak Indonesia yang ayahnya mendapat beasiswa ke Australia. Saya kemudian mencari ibu saya di dapur dan menceritakan bahwa kelak suatu hari nanti saya akan ke Australia.
Ibuku hanya mendengarkan saja. Australia terlalu jauh dan hanya ada di peta-peta yang ada di sekolah. Berpuluh-puluh tahun kemudian, saya menginjakkan kaki di negara bersalju, bukan Australia, negara itu masih sangat dekat dengan Indonesia. Saya ke Amerika.
Saya betul-betul merasakan salju bahkan dihajar mimisan karena dinginnya. Saya melewati musim salju tiga bulan di sana. Teman-teman kecil saya, mengingat cita-cita saya yang akhirnya bisa ke negara bersalju. Sebagian terpaku. Saya bisa ke beberapa negara karena hobi membaca. Saya tidak akan pintar berbicara jika saya tidak suka membaca.
Untuk bisa ke luar negeri, memang mahal. Apalagi kalau kita hanya rakyat jelata. Namun, jika kita cinta membaca saya yakin akan membawa kita keluar negeri. Entah itu menghadiri konferensi, seminar bahkan kuliah di sana.
Bukulah yang membawa saya melihat dan merasakan tinggal di beberapa negara. Bahkan sungai Misisipi. Yang saya baca waktu SD melalui buku petualangan Tom Saywer bisa saya lihat dengan mata kepala saya. Buku-buku yang jadi pengantar tidur saya. Saya berdiri di hadapan sungai itu, melihat aliran-aliran dan riak-riaknya serta terbayang petualang Tom Sawyer.
Mengapa buku bisa membawa saya keluar negeri? Karena dari buku saya bisa menjadi orang cerdas dalam kapasitas saya sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa saya cerdas dibanding yang lain. Dalam kapasitas saya sendiri.
Ketika pewawancara menanyakan ini dan itu yang ada hubungannya dengan negara mereka saya bisa jawab. Bahkan pertanyaan-pertanyaan yang diluar-luar dugaan saya bisa jawab. Darimana saya mengetahui jawaban-jawaban itu? Tentu saja dari buku dan bacaan.
Saya bersyukur menjadi penyuka buku. Apa saja yang dibicarakan otomatis nyambung di pikiran saya. Bicara politik bisa, hubungan internasional bisa. Tentu saja bukan sebagai pakar namun, cukup bisa mengulas walaupun tidak mendalam. Dengan buku saya bisa jadi penulis, dengan buku juga saya bisa menginjak negara-negara yang jauh dan mahal untuk ke sana.
Untuk kebanyakan orang, keluar negeri mungkin hal biasa saja memakai uang pribadi. Untuk saya yang rakyat jelata yang biasa memakai minyak jelantah, merupakan pencapaian. Sehingga siapa pun yang gemar membaca, saya yakin cita-citanya akan mudah tercapai. Membaca memang tidak ada ruginya, kalau tidak bisa jadi penulis syukur-syukur bisa ke Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar