Search This Blog

Zulhas Usul Kaji Ulang Bansos, Ekonom Sebut Model PKH Bisa Jadi Opsi

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Zulhas Usul Kaji Ulang Bansos, Ekonom Sebut Model PKH Bisa Jadi Opsi
Nov 2nd 2025, 15:15 by kumparanBISNIS

Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) di kantornya, Selasa (8/4/2025). Foto: Widya/kumparan
Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) di kantornya, Selasa (8/4/2025). Foto: Widya/kumparan

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menilai model bantuan sosial (bansos) saat ini dinilai tidak mendukung produktivitas rakyat Indonesia. Jika tujuannya produktivitas, model bantuan seperti Program Keluarga Harapan (PKH) bisa jadi opsi.

Ekonom dari CORE, Yusuf Rendy Manilet menilai PKH dapat jadi opsi karena mengusung model conditional cash transfer. Dalam hal ini, bantuan diberikan tapi ada kewajiban untuk meningkatkan produktivitas.

"Seperti memastikan anak bersekolah, mengikuti pemeriksaan kesehatan, atau bahkan berpartisipasi dalam pelatihan vokasi dan kewirausahaan. Dengan begitu, bansos bukan hanya alat konsumsi sementara, tapi juga sarana membangun human capital dan kemandirian ekonomi," kata Yusuf kepada kumparan, Minggu (11/2).

Meski demikian, menurut Yusuf bansos secara definisi memang bersifat non-resiprokal. Artinya, bantuan diberikan tanpa imbal balik untuk melindungi masyarakat dari risiko sosial dan menjaga daya beli. Menurut dia, bansos seharusnya tak berhenti pada definisi itu. Maka, pengkajian skema maupun regulasi bansos memang perlu dilakukan.

"Pemerintah bisa merumuskan regulasi yang membuat bansos berperan sebagai investasi sosial, yaitu tetap melindungi kelompok rentan, tapi sekaligus mendorong mereka membangun kapasitas ekonomi jangka panjang," ujarnya.

Petugas Kantor Pos memotret warga penerima bantuan sosial atau Bansos di kantor Pos Bandar Lampung, Lampung, Kamis (14/4/2022).  Foto: Ardiansyah/ANTARA FOTO
Petugas Kantor Pos memotret warga penerima bantuan sosial atau Bansos di kantor Pos Bandar Lampung, Lampung, Kamis (14/4/2022). Foto: Ardiansyah/ANTARA FOTO

Meski demikian, ada beberapa hal yang disoroti Yusuf agar bansos lebih produktif. Pertama adalah akurasi data penerima melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) harus ditingkatkan agar bantuan benar-benar tepat sasaran.

Selain itu, integrasi antar program seperti menggabungkan bansos dengan pelatihan kerja atau akses kredit mikro perlu diperkuat. Hal ini agar tercipta efek multiplier ke ekonomi lokal. Meski begitu, Yusuf menuturkan pemerintah juga harus memperhatikan kelompok rentan seperti lansia atau penyandang disabilitas yang sulit memenuhi syarat bansos produktif.

"Jadi, bansos tetap perlu bersifat bantuan tanpa imbal balik langsung, tapi desainnya bisa dibuat lebih conditional dan terhubung dengan kegiatan produktif. Artinya, bukan dihapus, tapi diubah dari sekadar transfer dana menjadi alat pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan," kata Yusuf.

Terkait tidak produktifnya bansos di Indonesia, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira melihat penggunaan bansos oleh masyarakat di Indonesia memang berbeda dengan negara maju. Hal ini karena di negara maju, masyarakat juga menggunakan bansos untuk peningkatan keahlian.

Warga antre untuk menerima bantuan sosial di Kantor Pos Indramayu, Jawa Barat, Kamis (15/9/2022). Foto: Dhedez Anggara/ANTARA FOTO
Warga antre untuk menerima bantuan sosial di Kantor Pos Indramayu, Jawa Barat, Kamis (15/9/2022). Foto: Dhedez Anggara/ANTARA FOTO

"Di negara maju modelnya adalah universal basic income. Sama seperti bansos tunai yang diberikan ke masyarakat dengan pendapatan dibawah median penduduk. Studi yang dilakukan Rutger Bregman justru menemukan manfaat bansos tunai pada individu miskin, uangnya selain dipakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari juga digunakan untuk training keahlian," ujarnya.

Di Indonesia, bansos menurutnya masih menemui banyak masalah. Salah satunya adalah tidak tepatnya sasaran. Jika bansos ingin dialihkan ke fokus penciptaaan lapangan kerja, Bhima melihat konsep yang dimiliki pemerintah juga belum jelas.

"Mau kasih insentif pajak Rp 530 triliun per tahun pun serapan kerja dari investasi terus turun. Paket tax holiday dan tax allowance tidak mampu cegah deindustrialisasi prematur," kata Bhima.

Di sisi lain, ia melihat program yang sebenarnya berpotensi menciptakan lapangan kerja seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan food estate justru diisi oleh militer dan polisi. Hal ini membuat penciptaaan lapangan kerja baru belum efektif.

"Food estate hingga MBG menggantikan fungsi UMKM, petani dengan tentara plus polisi. Yang terjadi substitusi pekerjaan bukan penciptaan lapangan kerja baru. Kalau disuruh memilih MBG dan bansos, lebih efektif bansos,' ujarnya.

Menambahkan, ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai ide untuk pengkajian bansos memang tepat meski terlambat. Hal ini karena menurutnya program sosial di Indonesia masih mengedepankan pendekatan konsumsi.

"Salah satu kenapa ekonomi kita sulit tumbuh di atas 5 persen, adalah produktivitas yang rendah. Salah satu faktor penting adalah program sosial kita mengedepankan pendekatan konsumsi, pendekatan memberi ikan, pendekatan tangan di atas," ujarnya.

Ia melihat model pendekatan tersebut memang menguntungkan secara politik namun berdampak buruk dari segi ekonomi. Hal ini juga bisa berpengaruh pada mental juang masyarakat.

"Secara politik, ini bermanfaat karena populis, tetapi secara ekonomi ini justru berdampak negatif. Produktivitas dan semangat berjuang tidak terbangun, justru mental menunggu uluran tangan. Pendekatan konsumtif ini juga tidak berkelanjutan, begitu bantuan disetop, impak juga berhenti. Padahal kita mempunyai fiskal yang sangat terbatas," kata Wijayanto.

Adapun ia menyarankan agar bantuan dari pemerintah ke depan bisa lebih fokus ke bantuan proyek jalan, irigasi, sampai sektor padat karya.

Sebelumnya, Zulhas menilai bansos tetap memiliki manfaat. Namun, bentuk bansos seperti beras dan uang menurutnya hanya berdampak untuk jangka pendek.

"Kami bukan tidak setuju bantuan sosial, tentu itu bagus. Tapi kalau bantuan sosial orang susah kasih beras, orang susah kasih uang berpuluh-puluh tahun, berpuluh-puluh tahun, saya kira itu kita mesti kaji," kata Zulhas dalam Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) dan Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2025, di JCC.

Zulhas melihat Indonesia tidak akan bisa maju tanpa peningkatan produktivitas masyarakat. Jika hanya bergantung pada bansos, rakyat tak bisa produktif dan mandiri.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar