Pekerja menumpuk karung berisi beras paket bantuan sosial pangan ukuran 10 kilogram di gudang Bulog Serang, Banten, Jumat (1/3/2024). Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) ingin mengkaji model bantuan sosial (bansos) yang saat ini dinilai tidak mendukung produktivitas rakyat Indonesia. Dia menilai kebijakan bansos memang memiliki manfaat. Namun, bentuk bansos seperti beras dan uang menurutnya hanya berdampak untuk jangka pendek.
Ekonom CORE, Yusuf Rendy Manilet, menanggapi pernyataan Zulhas. Menurutnya, jika tujuannya produktivitas, model bantuan seperti Program Keluarga Harapan (PKH) bisa jadi opsi.
Yusuf menilai PKH dapat jadi opsi karena mengusung model conditional cash transfer. Dalam hal ini, bantuan diberikan tapi ada kewajiban untuk meningkatkan produktivitas.
"Seperti memastikan anak bersekolah, mengikuti pemeriksaan kesehatan, atau bahkan berpartisipasi dalam pelatihan vokasi dan kewirausahaan. Dengan begitu, bansos bukan hanya alat konsumsi sementara, tapi juga sarana membangun human capital dan kemandirian ekonomi," kata Yusuf kepada kumparan, Minggu (11/2).
Meski demikian, lanjut Yusuf, bansos secara definisi memang bersifat non-resiprokal. Artinya, bantuan diberikan tanpa imbal balik untuk melindungi masyarakat dari risiko sosial dan menjaga daya beli. Menurutnya, bansos seharusnya tak berhenti pada definisi tersebut.
Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) di Kantor Kemenko Bidang Pangan, Jakarta, Kamis (17/7/2025). Foto: Widya Islamiati/kumparan
"Pemerintah bisa merumuskan regulasi yang membuat bansos berperan sebagai investasi sosial, yaitu tetap melindungi kelompok rentan, tapi sekaligus mendorong mereka membangun kapasitas ekonomi jangka panjang," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, melihat penggunaan bansos di Indonesia memang berbeda dengan negara maju. Hal ini karena di negara maju, masyarakat juga menggunakan bansos untuk peningkatan keahlian.
"Di negara maju modelnya adalah universal basic income. Sama seperti bansos tunai yang diberikan ke masyarakat dengan pendapatan di bawah median penduduk. Studi yang dilakukan Rutger Bregman justru menemukan manfaat bansos tunai pada individu miskin, uangnya selain dipakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari juga digunakan untuk training keahlian," ujarnya.
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai ide untuk pengkajian bansos memang tepat meski terlambat. Hal ini karena menurutnya program sosial di Indonesia masih mengedepankan pendekatan konsumsi.
"Salah satu kenapa ekonomi kita sulit tumbuh di atas 5 persen, adalah produktivitas yang rendah. Salah satu faktor penting adalah program sosial kita mengedepankan pendekatan konsumsi, pendekatan memberi ikan, pendekatan tangan di atas," ujarnya.
Ia melihat model pendekatan tersebut memang menguntungkan secara politik namun berdampak buruk dari segi ekonomi. Hal ini juga bisa berpengaruh pada mental juang masyarakat.
"Secara politik, ini bermanfaat karena populis, tetapi secara ekonomi ini justru berdampak negatif. Produktivitas dan semangat berjuang tidak terbangun, justru mental menunggu uluran tangan. Pendekatan konsumtif ini juga tidak berkelanjutan, begitu bantuan disetop, impak juga berhenti. Padahal kita mempunyai fiskal yang sangat terbatas," kata Wijayanto.
Dia menyarankan agar bantuan dari pemerintah ke depan bisa lebih fokus ke bantuan proyek jalan, irigasi, sampai sektor padat karya.
Sebelumnya, Zulhas mengatakan Indonesia tidak akan bisa maju tanpa peningkatan produktivitas masyarakat. Jika hanya bergantung pada bansos, rakyat tak bisa produktif dan mandiri.
"Kami meyakini negara itu akan maju, bangsa itu akan maju kalau dia produktif. Tidak mungkin bangsa itu maju kalau tidak produktif rakyatnya," kata Zulhas dalam Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) dan Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2025, di JCC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar