Search This Blog

Membaca Penipuan Digital Sebagai Gejala Sistemik

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Membaca Penipuan Digital Sebagai Gejala Sistemik
Nov 3rd 2025, 13:00 by Sry Lestari Samosir

Sumber: Unsplash.com
Sumber: Unsplash.com

Penipuan digital kini menjadi salah satu ancaman terbesar dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin terhubung melalui teknologi. Berdasarkan hasil riset terbaru Global Anti Scam Alliance (GASA) menunjukkan dua dari tiga orang dewasa di Indonesia mengalami paparan penipuan dalam setahun terakhir, dengan total kerugian mencapai Rp 49 triliun atau rata-rata Rp 1,7 juta per orang.

Situasi ini mengindikasikan bahwa penipuan digital bukan sekadar tindakan kriminal yang dilakukan individu jahat, melainkan fenomena struktural yang berkelindan dengan perubahan ekonomi digital nasional.

Pandangan sosiologi ekonomi-politik membantu kita melihat bahwa penipuan digital bukan hanya soal kelalaian korban, tetapi terkait dengan perubahan relasi kekuasaan dalam ekonomi digital.

Ruang digital telah menciptakan jenis kerentanan baru karena sistem ekonomi yang makin kompetitif mendorong masyarakat untuk mengejar keamanan finansial maupun peluang peningkatan pendapatan.

Di tengah ketidakpastian ekonomi, tawaran yang terlihat menguntungkan dalam waktu singkat menjadi sangat menarik. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku penipuan dengan membungkus motifnya di balik narasi pertumbuhan ekonomi digital, peluang kerja fleksibel, atau investasi masa depan.

Dengan demikian, penipuan digital beroperasi pada titik rapuh antara harapan ekonomi dan ketidaktercukupannya literasi kritis. Ketika teknologi memperluas akses ke layanan keuangan, tidak semua orang memperoleh pemahaman yang memadai untuk menilai keamanan layanan tersebut.

Inilah alasan mengapa penipuan digital tidak bisa hanya dipandang sebagai persoalan moral. Ia adalah cermin dari ketimpangan pengetahuan dan ketimpangan kekuasaan yang melekat dalam ekonomi digital kontemporer.

Fenomena ini semakin terlihat ketika media sosial menjadi medium dominan dalam interaksi ekonomi dan komunikasi. Akun palsu lembaga resmi, penawaran kerja, dan ajakan investasi melalui pesan pribadi di WhatsApp, Telegram, atau TikTok kini menjadi modus yang paling umum.

Kondisi ini menunjukkan bahwa ruang digital Indonesia saat ini bukan hanya ruang pertukaran informasi, melainkan ruang yang penuh intervensi strategis untuk mengeksploitasi kepercayaan publik.

Dalam kondisi demikian, literasi keuangan dan digital bukan hanya diperlukan, tetapi menjadi bentuk pertahanan sosial yang menentukan.

Tanpa pemahaman kritis terhadap mekanisme ekonomi digital, masyarakat akan terus menjadi sasaran empuk dalam struktur yang memungkinkan eksploitasi berlangsung secara sistemik dan berulang.

Digitalisasi Ekonomi dan Terciptanya Kerentanan Sosial Baru

Transformasi digital dalam sektor keuangan telah mengubah cara masyarakat mengakses, menggunakan, dan memahami uang. Pembayaran nontunai, dompet digital, dan aplikasi investasi kini menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari.

Pemerintah dan korporasi teknologi sama-sama mendorong percepatan digitalisasi sebagai simbol kemajuan. Namun, kemajuan ini tidak disertai dengan pemerataan pengetahuan yang memadai. Banyak warga memasuki ruang ekonomi digital hanya sebagai pengguna, bukan sebagai warga yang mampu mengambil keputusan kritis.

Ketimpangan pengetahuan ini menciptakan kerentanan struktural. Ketika individu tidak memiliki kemampuan untuk mengevaluasi risiko dalam transaksi digital, mereka cenderung bergantung pada rasa percaya personal, tampilan visual, atau narasi persuasif yang disodorkan pelaku.

Pelaku penipuan memahami kelemahan ini dan membangun skenario penipuan yang mengandalkan citra keaslian: logo resmi, foto profil bank, nomor WhatsApp dengan foto pegawai, hingga kontrak kerja palsu. Identitas digital menjadi instrumen manipulasi yang mudah, murah, dan sulit dibantah.

Dalam perspektif ekonomi-politik, kondisi ini mencerminkan bagaimana digitalisasi yang tidak diimbangi dengan literasi kritis justru memperlebar jurang ketidakadilan. Akses terhadap teknologi tampak merata, tetapi kemampuan memahami risiko tidak.

Hasilnya, digitalisasi yang seharusnya mempermudah hidup justru memperdalam eksposur terhadap eksploitasi. Ruang digital memungkinkan kejahatan skala massal tanpa kehadiran fisik, mempercepat penyebaran penipuan dengan biaya nyaris nol bagi pelaku.

Sisi lain yang perlu disoroti adalah tekanan ekonomi yang dialami masyarakat. Dalam situasi ekonomi yang tidak stabil, tawaran yang menjanjikan keuntungan cepat menjadi sangat menarik. Inilah kondisi sosiologis yang sering dimanfaatkan pelaku penipuan: mereka memanfaatkan aspirasi ekonomi korban yang sebenarnya rasional.

Alih-alih menyalahkan korban, kita perlu membaca fenomena ini sebagai akibat logis dari ekonomi yang menempatkan individu dalam situasi pergulatan antara kebutuhan dan ketidakpastian.

Maka, digitalisasi ekonomi tanpa pendidikan kritis bukanlah modernisasi sosial, melainkan komodifikasi kerentanan.

Literasi Keuangan dan Digital sebagai Kesadaran Kritis, Bukan Sekadar Keterampilan

Literasi keuangan sering dipahami secara dangkal sebagai kemampuan mengatur uang atau menabung. Padahal, literasi keuangan dalam kerangka ekonomi-politik adalah kesadaran kritis mengenai bagaimana uang bekerja dalam sistem ekonomi kapitalis.

Ia mencakup kemampuan memahami bahwa setiap tawaran keuntungan pasti berkelindan dengan risiko dan bahwa tidak ada jaminan keuntungan tinggi tanpa kemungkinan kerugian besar. Banyak korban penipuan digital percaya bahwa mereka sedang mengambil kesempatan ekonomi yang baik, bukan bahwa mereka telah tertipu.

Demikian pula, literasi digital bukan sekadar kemampuan memakai aplikasi. Literasi digital adalah kemampuan untuk membaca maksud, motif, dan struktur komunikasi digital. Ia menuntut kemampuan mengenali pola manipulasi emosional, tekanan urgensi, dan penggunaan citra otoritas palsu. Penipu digital tidak memaksa, mereka mengajak, dan ajakan yang dibangun melalui kepercayaan terasa lebih meyakinkan daripada ancaman.

Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis digital berhubungan langsung dengan kemampuan individu untuk menolak pesan menyesatkan. Dengan kata lain, literasi digital adalah mekanisme sosial untuk mencegah dominasi simbolik dalam ruang digital.

Maka, literasi keuangan dan digital bukan hanya alat teknis, tetapi bagian dari pembebasan epistemik: kemampuan masyarakat untuk tidak mudah didikte oleh narasi ekonomi digital yang tidak transparan. Literasi adalah bentuk pertahanan kelas, karena mereka yang kurang literat bukan hanya kehilangan uang tetapi juga kehilangan kendali atas pengambilan keputusan dalam hidup mereka.

Di titik ini, literasi menjadi bukan hanya urusan individu, tetapi persoalan keadilan sosial.

Tanggung Jawab Negara dan Korporasi dalam Melindungi Warga

Narasi umum yang berkembang adalah bahwa korban harus lebih berhati-hati. Namun, menyalahkan korban adalah cara yang paling mudah untuk menutupi kegagalan sistem. Negara memiliki kewajiban hukum dan moral untuk menyediakan regulasi dan sistem perlindungan yang adaptif terhadap perubahan pola penipuan digital.

Demikian pula, platform digital yang mendapatkan keuntungan ekonomi dari pengguna memiliki tanggung jawab sosial untuk menjaga keamanan mereka.

Namun, banyak platform teknologi lebih mendahulukan pertumbuhan pengguna dibandingkan keamanan pengguna. Semakin banyak interaksi digital, semakin banyak data yang bernilai ekonomi bagi mereka. Keamanan sering menjadi fitur tambahan, bukan prioritas struktural.

Dalam banyak kasus penipuan digital, pengguna harus berjuang sendiri untuk melaporkan, memproses, dan menuntut keadilan. Sementara pelaku dapat berpindah identitas digital dalam hitungan menit.

Ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pengguna dan institusi digital. Sementara itu, mekanisme penegakan hukum digital sering tertinggal dibanding perkembangan teknologi.

Penipuan lintas platform dan lintas negara membuat pelaku sulit dilacak, sementara korban harus menanggung beban finansial dan psikologis. Sebuah ketidakadilan struktural yang berlangsung dalam diam.

Dalam kerangka sosiologi kritis, literasi keuangan dan digital tidak dapat berdiri sendiri tanpa reformasi struktural. Edukasi harus diiringi dengan regulasi yang berpihak pada warga, bukan hanya pada stabilitas pasar.

Negara harus memperkuat kolaborasi antara lembaga keuangan, penyedia platform teknologi, dan aparat hukum untuk membangun sistem keamanan digital berbasis keadilan sosial.

Dengan demikian, perlindungan warga bukan hanya soal meningkatkan kewaspadaan individu, tetapi mengoreksi struktur ekonomi yang memungkinkan eksploitasi terjadi.

Penutup

Penipuan digital adalah gejala dari transformasi ekonomi yang tidak setara. Ketika akses terhadap teknologi tumbuh lebih cepat daripada akses terhadap pengetahuan, maka ruang digital tidak menjadi ruang pemberdayaan, melainkan ruang eksploitasi.

Oleh sebab itu, literasi keuangan dan literasi digital harus dipahami sebagai bagian dari perjuangan sosial untuk mempertahankan martabat, otonomi, dan keamanan warga dalam tatanan ekonomi baru.

Memperkuat literasi bukan hanya proyek edukasi, tetapi proyek politik. Ia menentukan siapa yang berhak aman, siapa yang berhak tahu, dan siapa yang berhak mengambil keputusan atas dirinya sendiri.

Tanpa itu, ekonomi digital akan terus menjadi arena pertarungan yang timpang, di mana yang lemah dibiarkan menjadi sasaran dan yang kuat terus memperluas kuasanya.

Media files:
01k8x2fnrcbf4s8n1stn8ny16t.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar