Catatan penulis: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengkritik atau mendiskreditkan organisasi keagamaan mana pun. Ini hanyalah refleksi pribadi. Sebuah upaya untuk memahami dan bertanya, agar saya dapat belajar dan berkembang. Saya menulisnya dengan penuh rasa hormat kepada seluruh komunitas keagamaan.
Pada Rabu, 21 Mei 2025, saya menghadiri pengajian di sebuah masjid dekat dengan tempat tinggal. Saya sudah lupa siapa nama penceramahnya, namun isi ceramahnya masih terpapar dengan jelas di dalam pikiran. Ketika itu, perhatian saya terbagi. Sebagian fokus mendengarkan, sebagian lagi asyik memainkan pola geometris di karpet masjid. Sampai akhirnya satu bagian ceramah menarik perhatian saya: tentang struktur dalam komunitas dan organisasi keislaman.
Sang penceramah menjelaskan posisi Imam tertinggi, lalu beberapa posisi senior di bawahnya, entah empat atau tujuh orang. Setelah itu, ia menyebut, ada lebih dari 300 imam di berbagai wilayah yang membantu menjalankan organisasi keislaman tersebut. Ia bahkan menyebut satu per satu nama para pemegang posisi yang berada pada level senior tersebut, termasuk siapa yang paling muda di antara mereka.
Mendengarkan itu, pikiran saya mulai bercabang. Mengapa penyebutan jabatan dan posisi terasa begitu penting? Apakah semua posisi itu murni didasarkan pada ilmu dan pengbdian semata? Ataukah ada unsur politik di baliknya?
Jamaah mendengarkan ceramah setelah Salat Idul Fitri. Sumber: Dokumen Pribadi
Antara Hasrat dan Kekuasaan
Sejak kecil, saya sering diajarkan bahwa dalam beragama, kita tidak seharusnya menginginkan jabatan kepemimpinan. Bahkan untuk sekedar mengharapkan saja sudah tidak pantas. Jika dipercaya memegang amanah, maka harus dijalankan dengan sak dermo–sebuah ungkapan Jawa yang kurang lebih bermakna "menjalankan dengan ikhlas, semata-mata karena Allah, tanpa mengharap imbalan apa pun selain ridha-Nya.
Namun dalam praktiknya, semua hal itu terasa lebih kompleks. Dalam struktur besar dengan ratusan pemimpin dan lapisan otoritas, mungkinkah ambisi, politik, atau bahkan praktik penyalahgunaan kekuasaan benar-benar bisa dihindari? Bagaimanapun juga, sebuah kekuasaan sering kali menggoda hati, bahkan di ruang yang seharusnya menjadi tempat kerendahan hati.
Kerendahan Hati atau Keangkuhan
Saya tumbuh di lingkungan yang religius. Dalam perjumpaan dengan para pemimpin agama, saya menemukan dua sisi yang bertolak belakang. Ada yang berbicara dengan lembut, penuh kerendahan hati, dan menuntun tanpa merendahkan. Banyak di antara mereka memiliki latar pendidikan tinggi dan terbuka dalam berdiskusi.
Namun ada pula yang tampil dengan nada superior, menyampaikan ceramah seolah menciptakan hierarki halus di antara umat, bahkan merendahkan cara ibadah kelompok lain. Di titik itu, saya sering bertanya dalam hati: apakah kesombongan membuat seseorang lebih mudah menyalahgunakan kekuasaan? Ataukah justru kerendahan hati yang mampu menjadi benteng dari godaan itu?
Keimanan, Politik, dan Harta
Organisasi keagamaan, seperti halnya organisasi lain, juga tidak sepenuhnya steril dari politik. Banyak yang ingin suaranya didengar, gagasannya diakui, dan pengaruhnya dihormati. Kepemimpinan, di satu sisi, adalah amanah; di sisi lain, itu juga bisa menjadi sarana untuk memengaruhi arah komunitas atau organisasi.
Bagi mereka yang tulus, kepemimpinan adalah bentuk pengabdian, jalan untuk meraih pahala dan mendekatkan diri pada Tuhan. Pengabdian mereka dilandasi keikhlasan, meski gagasannya tak selalu diterima. Tapi ada juga yang memilih keluar dan membentuk kelompok baru ketika aspirasinya terus diabaikan.
Lalu ada urusan harta. Setiap organisasi keagamaan dapat dipastikan mengelola dana, baik dari sedekah, donasi, ataupun sumber lainnya yang menopang organisasi. Di situlah muncul ruang ujian. Di mana ada harta, di situ ada peluang, baik untuk menunaikan amanah dengan baik maupun peluang untuk menyalahgunakannya, yang selalu terbuka berdampingan.
Pertanyaan yang Belum Usai
Sulit bagi saya menarik kesimpulan hanya dari pengamatan sepintas. Banyak organisasi keagamaan, termasuk yang membesarkan saya, dikelola dengan penuh tanggung jawab dan niat baik. Tapi tetap saja, pertanyaan itu menghantui: dalam sistem di mana iman, kekuasaan, dan harta saling bertemu, bagaimana kita memastikan keikhlasan lebih kuat dari ambisi, dan pengabdian lebih besar dari kepentingan pribadi?
Mungkin, justru dengan terus mempertanyakan hal-hal seperti ini, iman kita tumbuh dengan cara yang lebih jujur. Agar kita tidak berhenti merenung, tidak berhenti menuntut diri sendiri, dan tidak berhenti berharap bahwa para pemimpin, baik di agama maupun di dunia, tetap berpijak pada nilai yang diajarkan iman: kerendahan hati, keikhlasan, dan integritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar