Indonesia—sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17 ribu pulau—memiliki laut yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Namun, sektor pelayaran yang menjadi tulang punggung konektivitas maritim justru masih diwarnai oleh kendala struktural yang kompleks.
Dari tumpang-tindih regulasi hingga pengawasan keselamatan yang belum merata, berbagai masalah ini menimbulkan risiko bagi daya saing nasional dan keselamatan laut.
Regulasi yang Saling Bertabrakan
Landasan hukum utama pelayaran nasional—UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran—menjadi pedoman bagi aktivitas maritim. Namun dalam praktiknya, regulasi teknis yang diterbitkan berbagai kementerian sering tidak selaras.
Ilustrasi pelabuhan Tanjung Priok. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Misalnya, perbedaan tarif layanan pelabuhan antardaerah, prosedur perizinan muatan yang beragam, dan standar pengawasan kapal yang berbeda-beda menciptakan ketidakpastian hukum. Situasi ini tidak hanya membingungkan pelaku usaha, tetapi juga membuka peluang sengketa yang merugikan pihak swasta maupun negara.
Asas Cabotage yang Belum Konsisten
Asas cabotage—yang seharusnya mewajibkan penggunaan kapal berbendera Indonesia untuk pengangkutan domestik—masih menemui pengecualian, terutama di sektor offshore dan migas. Ketidakpastian ini berdampak langsung pada kepercayaan investor, memicu perselisihan kontrak, dan melemahkan efektivitas regulasi nasional. "Jika aturan dasar saja tidak konsisten, bagaimana industri maritim bisa tumbuh sehat?" ujar seorang pengamat maritim nasional.
Keselamatan Pelayaran dan Penegakan Hukum yang Fragmentaris
Pengawasan keselamatan kapal—termasuk penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB)—menjadi domain penting untuk mencegah kecelakaan laut. Namun di lapangan, implementasinya belum merata, terutama pengawasan terhadap muatan berbahaya dan kapal penumpang masih sering terabaikan. Celah ini bukan hanya soal kerugian ekonomi, melainkan juga mengancam nyawa manusia dan reputasi Indonesia di kancah internasional.
Birokrasi Perizinan yang Masih Rumit
Bendera merah putih berkibar saat terjadinya Halo Matahari di Kayu Aro Barat, Kerinci, Jambi, Jumat (28/8/2020). Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO
Digitalisasi lewat sistem Online Single Submission (OSS) seharusnya mempermudah proses perizinan. Namun kenyataannya, pelaku usaha masih harus berinteraksi secara manual dengan berbagai kantor untuk dokumen penting, mulai dari SIUPAL, sertifikat kelaiklautan, dokumen awak kapal, izin trayek, hingga verifikasi inspeksi. Ketidaksinkronan antara sistem digital dan prosedur fisik ini tidak hanya memperlambat proses, tetapi juga menambah biaya dan membuka celah praktik tidak transparan.
Kewajiban Internasional dan Tantangan Penegakan
Sebagai anggota IMO dan pihak yang meratifikasi UNCLOS 1982, Indonesia memiliki kewajiban menegakkan standar internasional terkait keselamatan, pencegahan pencemaran, dan pengangkatan bangkai kapal.
Sayangnya, koordinasi antarlembaga masih lemah, sementara fungsi penegakan hukum tersebar di berbagai instansi. Akibatnya, efektivitas pengawasan maritim menjadi terbatas dan posisi Indonesia dalam perdagangan serta keselamatan laut internasional terkadang tereduksi.
Reformasi Mendesak
Ilustrasi Hukum. Foto: Shutterstock
Reformasi struktural menjadi kunci untuk mengoptimalkan potensi laut Indonesia. Beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh antara lain.
• Revisi menyeluruh UU Pelayaran untuk menghapus konflik norma dan memperjelas kewenangan.
• Harmonisasi lintas kementerian terkait tarif, keselamatan, dan perizinan.
• Penguatan otoritas pengawasan melalui pelatihan, rekrutmen, dan sanksi tegas.
• Pembentukan Coast Guard nasional dengan mandat tunggal dan jelas.
• Digitalisasi penuh perizinan dan inspeksi dengan integrasi data antarlembaga.
• Penyesuaian regulasi nasional dengan standar IMO dan UNCLOS untuk meningkatkan daya saing internasional.
Tanpa reformasi yang menyeluruh, potensi ekonomi laut Indonesia yang sebenarnya sangat besar akan sulit dimaksimalkan. Sumber daya kelautan yang melimpah hanya akan menjadi angka statistik, sementara sektor maritim nasional terus menghadapi tantangan regulasi, keselamatan, dan daya saing yang belum terselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar