Foto udara pembangunan proyek LRT Jakarta Fase 1B Rute Velondrome-Rawamangun di kawasan Pramuka, Matraman, Jakarta, Selasa (22/7/2025). Foto: Darryl Ramadhan/kumparan
Tekanan inflasi diperkirakan mereda pada Oktober 2025. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat akan terjadi deflasi ringan sekitar -0,05 persen month to month (mtm), berbalik arah dari inflasi 0,21 persen mtm pada September.
Menurutnya, pelemahan harga bahan pangan dan potongan tarif transportasi menjadi dua faktor utama yang menahan inflasi Oktober 2025.
"Penurunannya bersumber dari dua hal. Pertama, bahan pangan yang bergejolak memberi sumbangan penurunan, terutama dari komoditas seperti cabai rawit, bawang merah, dan beras yang harganya turun. Kedua, kelompok harga yang diatur pemerintah juga melandai karena adanya potongan harga tiket pesawat sekitar 12–14 persen untuk pembelian 22 Oktober 2025 sampai 10 Januari 2026, sebagai antisipasi lonjakan mobilitas akhir tahun," ujar Josua kepada kumparan, Senin (3/11).
Meski ada sedikit kenaikan pada inflasi inti bulanan, yakni dari 0,18 persen menjadi 0,19 persen, hal ini dinilai tidak mengubah tren besar bahwa tekanan harga masih terkendali. Kenaikan tipis itu terutama disebabkan harga emas yang tinggi serta pelemahan rupiah yang menambah biaya barang impor.
Secara tahunan, inflasi Oktober diperkirakan justru melandai menjadi 2,52 persen dari 2,65 persen pada September, dengan inflasi inti tahunan turun ke 2,15 persen.
Ilustrasi pesawat. Foto: Angkasa Pura
Secara kumulatif, inflasi Januari–Oktober 2025 diperkirakan mencapai 1,77 persen, masih di dalam sasaran Bank Indonesia. Josua menilai kondisi ini mencerminkan bauran kebijakan fiskal dan moneter yang efektif menjaga stabilitas harga.
"Dengan bauran kebijakan fiskal dan moneter yang lebih mendukung pemulihan, ada potensi dorongan inflasi dari sisi likuiditas sekitar 0,3–0,5 ppt. Namun selama output gap masih negatif dan pasokan pangan serta energi terjaga, inflasi 2025 diperkirakan tetap terkendali di kisaran 2,0–2,5 persen year on year," jelasnya.
Ia menambahkan, kebijakan diskon transportasi di triwulan IV turut membantu menekan gejolak musiman. Kendati demikian, risiko ketidakpastian global yang berpotensi menekan rupiah masih perlu diwaspadai karena dapat memicu imported inflation. Sebaliknya, bila pasokan pangan membaik dan efisiensi input pertanian berjalan efektif, inflasi bisa lebih rendah dari proyeksi.
Sementara itu, di sisi eksternal, surplus neraca perdagangan September 2025 diperkirakan masih berlanjut meski menyusut. Josua memproyeksikan surplus sekitar USD 3,19 miliar, turun tajam dibanding USD 5,49 miliar pada Agustus.
"Penurunan ini utamanya karena ekspor melemah secara bulanan sementara impor menguat. Meski menyusut, ini masih meneruskan tren surplus yang panjang, yakni 65 bulan berturut-turut," ungkapnya.
Dari sisi ekspor, secara tahunan masih tumbuh 7,72 persen year on year, namun turun 4,83 persen mtm. Kinerja ekspor tetap ditopang hilirisasi, khususnya dari komoditas besi dan baja, serta kenaikan harga minyak sawit mentah. Ekspor ke Tiongkok diperkirakan meningkat sejalan dengan data impor negeri itu dari Indonesia yang naik 12,42 persen mtm, sementara ekspor ke Amerika Serikat dan Jepang cenderung melambat karena normalisasi perdagangan setelah tarif timbal balik pada Agustus.
Pekerja menata tandan buah kelapa sawit ke atas truk di Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (31/1/2024) Foto: ANTARA FOTO/Fransisco Carolio
Sementara itu, impor diproyeksikan naik 9,28 persen yoy dan 5,63 persen mtm. Penguatannya didorong oleh perbaikan aktivitas industri dalam negeri, tercermin dari indeks manufaktur yang kembali ekspansif, serta kenaikan penerimaan bea masuk sekitar 5,77 persen mtm pada September. Faktor musiman menjelang Natal dan Tahun Baru juga membuat pelaku usaha meningkatkan stok barang.
Menurutnya, kombinasi ekspor yang melandai dan impor yang menguat berpotensi menurunkan sumbangan net ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi. "Defisit transaksi berjalan diperkirakan melebar secara bertahap namun tetap terkendali di kisaran 0,81 persen dari PDB pada 2025 dibanding 0,62 persen pada 2024," ujarnya.
Meski begitu, ia optimistis kondisi eksternal Indonesia masih solid. Cadangan devisa yang kuat serta nilai tukar yang stabil memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan moneter bila diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar