Ada sesuatu yang sering kita lupakan ketika membicarakan perundungan di sekolah. Ia tidak hanya terjadi karena ada pelaku dan korban, tetapi karena ada budaya diam yang terus dipelihara. Diam itu bukan sekadar tidak bersuara, melainkan diam yang melindungi struktur, mempertahankan tatanan, dan menormalisasi luka. Diam yang membuat kekerasan tampak biasa, hierarki terasa wajar, dan kesenjangan perlakuan dianggap tidak perlu dipersoalkan.
Dalam banyak kasus yang muncul ke permukaan, fokus kita biasanya langsung tertuju pada siapa yang bersalah. Padahal, persoalan yang lebih dalam justru berada pada cara suatu lembaga pendidikan membentuk relasi kekuasaan di antara warganya.
Di beberapa sekolah, terutama yang memiliki sejarah panjang, elitisme nilai, atau ikatan identitas kuat, posisi sosial siswa tidak pernah netral. Ada nama keluarga yang dihormati, ada latar belakang yang dianggap membawa prestise, ada kelompok yang sejak awal memperoleh ruang lebih besar untuk bersuara.
Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock
Pada titik ini, kita melihat apa yang dapat disebut sebagai habituasi kekuasaan, sebuah proses di mana kekuasaan dipraktikkan, diterima, dan direproduksi dalam keseharian hingga menjadi kebiasaan bersama. Kekuasaan tidak perlu dinyatakan secara keras atau dipaksakan melalui ancaman langsung. Ia bekerja melalui kebiasaan yang berulang, sebuah situasi siapa yang lebih dulu mengambil keputusan, siapa yang dipercaya, siapa yang diabaikan, siapa yang harus "menerima keadaan".
Habituasi kekuasaan membuat hierarki sosial tampak alamiah. Ketika seseorang mengalami perlakuan tidak adil, respons sosial yang muncul sering kali bukan pembelaan, melainkan nasihat untuk "bersabar", "menyesuaikan diri", atau "tidak mempermalukan sekolah". Kekerasan emosional dan fisik kemudian dibungkus dengan romantisasi bahwa semua itu bagian dari "pembentukan mental". Padahal, yang sedang terbentuk bukan ketangguhan, melainkan ketundukan.
Dalam ruang diam semacam ini, korban diajarkan untuk mengalah, penonton diajarkan untuk tidak peduli, dan pelaku belajar bahwa kekuasaan dapat dipertahankan tanpa pertanggungjawaban. Secara perlahan, sekolah tidak lagi menjadi tempat belajar nilai, tetapi arena reproduksi status. Dan di sinilah luka itu tumbuh.
Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock
Kita harus menghentikan praktik pembentukan karakter yang bertumpu pada rasa takut, tekanan hierarki, dan legitimasi kekuasaan yang tidak disadari. Pendidikan tidak boleh menjadi ruang reproduksi kekuasaan, melainkan ruang pembentukan martabat.
Namun untuk mengubahnya, diperlukan langkah kebijakan yang jelas—bukan sekadar imbauan moral.
Pertama, pemerintah perlu mengintegrasikan audit budaya pendidikan dalam evaluasi sekolah. Bukan hanya soal fasilitas atau kurikulum, melainkan bagaimana relasi kekuasaan bekerja di dalamnya. Apakah suara siswa didengar, apakah konflik diselesaikan dengan adil, dan apakah setiap anak diperlakukan setara terlepas dari status sosial.
Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock
Kedua, harus ada mekanisme pengaduan yang independen. Siswa tidak akan berani bersuara jika jalur pengaduan masih berada dalam struktur yang sama dengan kekuasaan yang ia takuti. Model pengawasan eksternal—semacam ombudsman sekolah—perlu dipertimbangkan.
Ketiga, sekolah perlu menata ulang fokus pendidikannya. Ia dimulai dari ketangguhan berbasis tekanan menjadi ketangguhan berbasis empati. Program pembelajaran sosial-emosional harus dijalankan bukan sebagai jargon, melainkan praktik keseharian. Bagaimana guru berbicara, bagaimana konflik diselesaikan, bagaimana keputusan diambil.
Pertanyaan terakhir tetap sama: Apa yang sebenarnya sedang kita wariskan kepada anak-anak? Jika kita mempertahankan diam, kita sedang mewariskan keyakinan bahwa kekuasaan lebih penting daripada kemanusiaan. Namun, jika kita berani memecah senyap itu, kita mengajarkan bahwa martabat setiap manusia tidak dapat dinegosiasikan. Dan itulah inti pendidikan yang seharusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar