Search This Blog

Gen Z dan Tantangan Demokrasi Digital

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Gen Z dan Tantangan Demokrasi Digital
Sep 13th 2025, 12:00 by JACIKA PIFI

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Demokrasi Indonesia sedang mengalami transformasi besar. Jika dulu ruang politik lebih banyak dipenuhi rapat umum, kampanye terbuka, atau siaran televisi, kini sebagian besar perdebatan politik justru berlangsung di layar ponsel. Generasi Z (Gen Z) yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an menjadi aktor utama di arena baru ini. Mereka bukan sekadar penonton, melainkan produsen dan kurator wacana politik di media sosial.

Namun, bersama dengan peluang besar itu, ada pula tantangan serius: derasnya arus informasi, maraknya hoaks, dan terbentuknya echo chamber 'ruang gema' yang membuat diskusi politik kehilangan kedalaman. Inilah paradoks demokrasi digital yang harus kita hadapi bersama.

Politik di Ujung Jari

Gen Z tumbuh bersama internet. Berdasarkan data dari We Are Social 2024, lebih dari 80% Gen Z Indonesia aktif di media sosial setiap hari dengan rata-rata waktu penggunaan mencapai 3—4 jam. Platform seperti TikTok, Instagram, Treads, dan X (Twitter) menjadi sumber utama informasi, termasuk soal politik.

Kampanye politik kini tidak lagi terbatas pada baliho atau iklan televisi. Seorang kandidat bisa menjadi viral hanya dengan satu konten pendek yang relatable. Misalnya, saat capres menyapa warga lewat siaran TikTok live atau ketika partai politik membuat meme yang cepat menyebar di kalangan anak muda. Semua itu menunjukkan bahwa politik digital sudah benar-benar menjadi arus utama.

Namun, keterlibatan yang cepat dan masif sering kali membuat isu politik direduksi menjadi sekadar hiburan. Politik dianggap mirip konten lifestyle: konten yang menunjukkan siapa yang lucu, estetik, dan bisa membuat hashtag trending. Padahal, substansi perdebatan sering luput dari perhatian.

Demokrasi dalam Era Hoaks

Salah satu tantangan terbesar demokrasi digital adalah penyebaran hoaks. Meskipun Gen Z dianggap melek teknologi, mereka tetap rentan terkena hoaks. Survei MAFINDO 2023 mencatat, sebanyak 43% hoaks politik justru paling cepat menyebar di kalangan Gen Z.

Mengapa demikian? Karena algoritma media sosial cenderung memanjakan pengguna dengan informasi yang sesuai preferensi mereka. Akibatnya, banyak Gen Z yang hanya mengonsumsi konten searah dan tanpa verifikasi. Hoaks yang disajikan dengan format video singkat dan emosional sering kali lebih menarik dibanding artikel panjang yang faktual.

Di sinilah letak masalahnya: demokrasi digital bisa berubah menjadi demokrasi semu di mana suara publik dibentuk bukan oleh fakta, tetapi oleh narasi yang paling viral.

Ilustrasi informasi digital. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi informasi digital. Foto: Shutter Stock

Echo Chamber dan Polarisasi

Selain hoaks, fenomena echo chamber juga kian mencemaskan. Algoritma media sosial membuat kita hanya bertemu dengan orang-orang yang berpikiran sama. Misalnya, Gen Z yang pro kandidat tertentu akan terus melihat konten positif tentang kandidat itu dan juga konten negatif tentang lawannya.

Hal ini menyebabkan polarisasi politik yang semakin tajam. Debat sehat jarang terjadi karena masing-masing kubu sibuk meneguhkan keyakinannya sendiri. Padahal, salah satu esensi demokrasi adalah kemampuan untuk berdialog dan mencari titik temu, bukan sekadar memenangkan argumen.

Aktivisme Instan: Antara Harapan dan Kekhawatiran

Gen Z dikenal sebagai generasi yang peduli pada isu-isu sosial: lingkungan, kesetaraan gender, hingga hak-hak minoritas. Namun, keterlibatan mereka sering kali berhenti di level "aktivisme instan".

Contoh paling nyata adalah activism hashtag. Ribuan anak muda bisa serentak mengunggah hashtag #ReformasiDikorupsi atau #SaveRiau ketika hutan terbakar. Namun, setelah isu itu tenggelam dari trending topic, hanya sedikit yang benar-benar terlibat dalam aksi lanjutan seperti diskusi kebijakan atau advokasi komunitas.

Tentu, aktivisme digital tetap penting. Ia menunjukkan adanya kesadaran kolektif. Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana mengubah energi digital itu menjadi gerakan nyata yang berkesinambungan.

Ilustrasi media digital. Foto: sdecoret/Shutterstock
Ilustrasi media digital. Foto: sdecoret/Shutterstock

Literasi Digital sebagai Kunci

Jika demokrasi digital ingin berkelanjutan, maka literasi digital adalah prasyarat mutlak. Pemerintah memang sudah meluncurkan program literasi, tetapi sering kali hanya bersifat formalitas.

Hal yang lebih dibutuhkan adalah pendidikan kritis yang membekali Gen Z dengan berbagai kemampuan: memverifikasi informasi sebelum menyebarkan, membedakan opini dan fakta, memahami algoritma media sosial dan dampaknya terhadap cara berpikir, serta berani berdialog dengan pandangan berbeda tanpa harus saling membatalkan.

Di sinilah peran sekolah, kampus, komunitas, bahkan influencer menjadi penting. Literasi digital bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal etika dan tanggung jawab warga negara.

Menjaga Masa Depan Demokrasi

Demokrasi Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran Gen Z. Misalnya pada Pemilu 2024, jumlah pemilih muda (Gen Z dan Generasi Milenial) mencapai hampir 60% dari total daftar pemilih tetap. Angka itu menunjukkan bahwa masa depan demokrasi memang berada di tangan generasi ini.

Namun, jumlah yang besar secara angka saja tidaklah cukup. Demokrasi digital bisa menjadi berkah atau kutukan, tergantung bagaimana kita mengelolanya. Jika Gen Z hanya menjadi konsumen pasif konten viral, maka demokrasi akan rapuh. Namun, jika mereka mampu menjadi produsen wacana yang kritis, cerdas, dan bertanggung jawab, maka demokrasi akan semakin kokoh.

Gen Z adalah generasi pertama yang benar-benar hidup dalam ekosistem digital. Mereka terbiasa berpikir cepat, multitasking, dan kritis. Namun, mereka juga menghadapi tantangan unik: banjir informasi, hoaks, echo chamber, dan aktivisme instan.

Tugas kita sebagai bangsa adalah memastikan bahwa energi digital Gen Z tidak disia-siakan. Literasi, ruang dialog yang sehat, dan keterlibatan nyata di lapangan adalah kunci. Dengan begitu, demokrasi digital bukan hanya menjadi panggung semu, melainkan juga sebagai fondasi kuat untuk masa depan Indonesia.

Media files:
01k4zxnwr6w9qf76116kr23dz0.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar