Pemerintah diminta menolak usulan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mengenai tarif Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) bahan baku tekstil, yakni benang filamen tertentu sebesar 42,3 persen. Hal ini dinilai memberatkan pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri yang kebanyakan bahan bakunya berasal dari impor.
Menurut Pengamat Politik dan Kebijakan Publik sekaligus Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, ramainya saat ini pembahasan mengenai BMAD atas usulan KADI terhadap Impor Benang Filamen Tertentu harus dilakukan perhitungan secara cermat mengenai dampaknya, bukan saja terhadap industri TPT, karyawan juga bagi pemerintahan Prabowo.
"Kalau kita melihat usulan KADI terkait dengan besaran BMAD dari 5,12 persen sampai 42,3 persen, tentu akan memberatkan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Bila melihat kebutuhan industri hulu, benang filamen sintetik seperti Partially Oriented Yarn (POY) adalah sesuatu yang vital sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tekstil," ujar Fernando dalam keterangannya, Senin (19/5).
Fernando menjelaskan, kebutuhan POY industri tekstil dalam negeri mencapai 257,6 ribu ton per tahun. Sedangkan ketersediaan POY setiap tahunnya hanya 141,91 ribu ton, sehingga masih ada kekurangan sekitar 115,.7 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan industri TPT dalam negeri.
"Sehingga kalau dilakukan penerapan BMAD maka akan sangat berdampak terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai 1 juta serta 5.000 lebih perusahaan besar dan sedang," jelasnya.
Dia menjelaskan, tidak terpenuhinya pasokan bahan utama produksi tekstil seperti POY akan menghambat produksi yang mengakibatkan berhentinya operasional pabrik. Perusahaan yang tidak beroperasi tentu akan merumahkan para karyawan dalam waktu tertentu atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Selain itu, tarif BMAD yang terlalu tinggi akan mengakibatkan hasil produksi industri dalam negeri tidak akan mampu bersaing dengan hasil produksi luar negeri. Akibatnya biaya produksi bertambah karena tidak terpenuhinya bahan baku utama, sehingga diproyeksi memberikan dampak terhadap industri dalam negeri serta terhadap pendapatan negara.
"Saat ini ada sekitar 3 juta karyawan yang hidupnya bergantung pada perusahaan TPT sehingga apabila pemerintah memberlakukan BMAD akan berpotensi mengakibatkan terjadinya PHK besar-besaran akibat perusahaannya di tutup," katanya.
Melihat data TPT secara nasional dari tahun 2022-2024 lebih dari 50 perusahaan yang gulung tikar dan melakukan PHK terhadap para pekerjanya maka akan sangat mungkin terjadi apabila memaksakan memberlakukan BMAD.
Fernando menjelaskan, perusahaan tekstil yang tutup dan PHK banyak karyawan akan membuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yang berkomitmen mendukung dunia industri dan menjadikan Indonesia menjadi negara industri serta menciptakan 19 juta lapangan pekerjaan.
"Diharapkan industri TPT akan semakin mampu bersaing kedepannya sehingga diharapkan tingkat kepercayaan terhadap pemerintahan Prabowo semakin meningkat karena dianggap mampu memenuhi janjinya mendukung industri dalam negeri dan mencegah terjadinya PHK," tambahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar