Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemerintah harus menjamin sekolah mulai dari tingkat SD hingga SMP gratis, baik untuk sekolah negeri maupun sekolah swasta.
Hal tersebut usai MK mengabulkan sebagian permohonan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) terkait uji materi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
MK menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Pasal tersebut, menurut MK, harus dimaknai menjadi: "Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat."
Sebelumnya pasal itu berbunyi: "Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya."
Akan tetapi, penerapan putusan ini tidak serta merta langsung merata kepada seluruh sekolah swasta. MK menekankan pemilihan sekolah secara selektif dan bertahap.
Dalam pertimbangannya, MK turut menyinggung nasib sejumlah sekolah/madrasah swasta yang menggunakan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional, salah satunya sekolah dengan kurikulum internasional.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menyampaikan pertimbangannya bahwa sekolah dengan kurikulum tersebut merupakan sekolah yang memiliki nilai jual (selling point) atau keunggulan tersendiri dibandingkan sekolah lainnya.
"Mahkamah memahami bahwa seluruh sekolah/madrasah swasta di Indonesia yang turut menyelenggarakan pendidikan dasar tidak dapat diletakkan dalam satu kategori yang sama berkenaan dengan kondisi pembiayaan yang melatarbelakangi adanya pungutan biaya kepada peserta didik," ujar Hakim Enny membacakan pertimbangannya, dikutip Rabu (28/5).
Dengan pertimbangan itu, menurut MK, sekolah dengan kurikulum internasional itu dipilih oleh masyarakat berdasarkan keinginan atau minat dan menyadari biaya yang dikeluarkan untuk menimba ilmu di sana, bukan karena keterbatasan akses terhadap sekolah negeri.
"Sekolah-sekolah seperti ini tentunya berpengaruh terhadap motivasi atau tujuan dari peserta didik yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah/madrasah dimaksud. Sehingga, warga negara yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah/madrasah tersebut tidak sepenuhnya didasarkan atas tidak tersedianya akses terhadap sekolah negeri," kata Hakim Enny.
"Dalam kasus ini, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi pembiayaan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan dan motivasinya ketika memutuskan untuk mengikuti pendidikan dasar di sekolah/madrasah tertentu," jelas Hakim Enny.
Dengan kondisi itu, MK menekankan bahwa dalam pemenuhan kewajiban mengikuti pendidikan dasar, negara harus mengutamakan alokasi anggaran pendidikan pada sekolah/madrasah swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan faktor kebutuhannya.
"Mahkamah berpendapat bahwa sepanjang berkenaan dengan bantuan pendidikan untuk kepentingan peserta didik yang bersekolah di sekolah/madrasah swasta, maka tetap hanya dapat diberikan kepada sekolah/madrash swasta yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan," ucap Hakim Enny.
Sebelumnya, putusan ini disambut antusias oleh Kornas JPPI, Ubaid Matraji. Ia menilai putusan MK tersebut adalah kemenangan monumental bagi hak asasi manusia atas pendidikan.
Selain itu, Matraji menekankan bahwa putusan itu sekaligus sebagai penegasan bahwa negara wajib hadir memastikan pendidikan dasar yang berkualitas, inklusif, dan bebas biaya bagi seluruh anak bangsa, tanpa memandang apakah sekolah tersebut diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun masyarakat (swasta).
"Hari ini adalah hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia! MK telah menunjukkan keberanian dan kebijaksanaan dalam menafsirkan konstitusi untuk keadilan pendidikan," ujar Ubaid Matraji dalam keterangannya, Selasa (27/5) kemarin.
"Putusan ini membuka jalan bagi berakhirnya diskriminasi pembiayaan pendidikan yang selama ini membebani jutaan keluarga. Ini adalah pengakuan bahwa anggaran 20% pendidikan dari APBN dan APBD harus benar-benar dialokasikan secara adil untuk pendidikan dasar tanpa dipungut biaya di semua jenis sekolah, baik negeri maupun swasta," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar