Jul 20th 2024, 12:16, by Dr Sudjoko Kuswadji SpOk, Dr Sudjoko Kuswadji SpOk
Ketika kita masih anak-anak, tidak ada yang tahu kalau kita buta warna. Mereka yang buta warna baru tahu ketika melihat mawar merah berdaun hijau sama-sama abu-abu. Mirip ketika melihat film hitam putih. Itu kalau buta warna total.
Tapi ada buta warna jenis lainnya. Warna merah bunga tidak nampak, tapi hijau daunnya kelihatan. Itu disebut buta warna merah. Sebaliknya ada yang nampak merah bunga mawar, tapi hijau daunnya tidak kelihatan. Ini disebut buta warna hijau.
Buta warna merah jadi perhatian jika soal keselamatan. Soalnya isyarat merah biasanya menunjukkan mara bahaya. Pilot yang buta warna tidak bisa melihat lampu merah di ujung sayap kiri jika dia buta merah.
Sebaliknya, buta warna hijau tidak bisa melihat lampu hijau di ujung sayap kanan. Kekeliruan bisa terjadi saat ada pesawat lain yang menuju pesawat yang dipiloti orang dengan buta warna ini. Tubrukan bisa tak terelakkan. Ini membahayakan dirinya dan orang lain. Calon seperti ini harus di-grounded.
Calon penerbang yang buta warna pasti ditolak. Jadi para pelajar, sejak bisa baca tulis harusnya dites buta warna. Tes ini bisa dilakukan dengan aplikasi HP. Di Google Play, misalnya, ketik saja Ishihara.
Di situ ada 36 gambar yang harus dibaca semua dengan benar. Empat angka terakhir masing-masing terdiri dari dua angka. Angka pertama berwarna merah, sementara angka yang kedua berwarna hijau. Jika tidak bisa baca angka pertama disebut buta warna merah, jika yang kedua tak bisa dibaca disebut buta warna hijau.
Dari 36 gambar itu jika yang terbaca hanya angka pertama saja, disebutnya buta warna total. Dengan demikian, anak laki-laki yang buta warna sebaiknya jangan bercita-cita menjadi dokter, farmasi, kimia, atau penerbangan. Buta warna hanya mengenai anak laki-laki saja, sekitar 5% dari populasi.
Tapi rupanya ada beberapa dokter yang buta warna. Bahkan ada yang jadi dokter spesialis anak. Itu akibat kekeliruan dokter pemeriksa kesehatan, atau karena ada KKN. Yang kerap terjadi lainnya adalah, calon yang buta warna sudah menghapal 36 bacaan tes Ishihara. Hingga akhirnya kini tes dianjurkan dilakukan secara acak.
Seorang dokter buta warna yang bekerja di bagian histotogi misalnya, akan kesulitan karena pekerjaannya harus bisa baca sediaan dengan warna merah dan hijau. Saya tanya, ketika dites masuk dia bilang buta warna parsial. Istilah total dan parsial adalah istilah kuno untuk tes buta warna. Parsial bisa saja buta warna merah saja, atau hijau saja.
Tapi toh dokter pemeriksa meloloskan dia jadi dokter. Saya tanyakan bagaimana dia bekerja. "Saya hanya lebih lama menentukan diagnosis histologi," kata dia. Apakah ini membahayakan? Tentu saja tidak buat dia, buat dokter tidak ada risikonya. Tapi buat pasien risikonya besar. Salah diagnosis bisa bikin pasien meninggal.
Dokter dengan buta warna lainnya yang saya tahu adalah dokter umum. Ketika masuk kedokteran, dia tahu kalau dia buta warna. Karena itu dia menghafal 36 tes buta warna. Dia langsung lolos karena dites secara urut.
Dia lalu melamar jadi kandidat dokter spesialis anak. Ketika mau lulus, dia dites hematologi dengan melihat mikroskop. Pagi-pagi dia datang ketika petugas menyiapkan soal ujian. Dia mengamati ciri sediaan dan bertanya, "Sediaan apa itu?"
Dari 20 tes hematologi itu dia lolos. Bukan dengan melihat lewat okuler mikroskop, melainkan dilihat secara makroskopis. Dia lulus sebagai dokter spesialis anak.
Apakah dalam sehari-hari dia ada kesulitan? Ada. Ketika ada pasien demam berdarah misalnya, dia kesulitan membedakan antara pendarahan bawah kulit dan gigitan nyamuk. Ini masalah diagnosis kritis. Jika pendarahan, pasien harus masuk RS. Jika dipulangkan pasien bisa meninggal di rumah. Apa akalnya? Panggil suster. Wanita jarang ada yang buta warna, jadi untung ada suster perempuan.
Sebenarnya ada lagi buta warna ketiga, yaitu buta warna biru dan kuning. Ini bukan keturunan seperti buta warna merah dan hijau, melainkan didapat karena keracunan pelarut. Jika sudah tidak terpapar lagi, buta warna ini bisa pulih kembali. Tesnya juga bukan Ishihara, melainkan tes HRR.
Jadi meski buta warna tidak membahayakan diri dokter secara pribadi, tapi hal ini bisa fatal bagi pasien jika terjadi salah diagnosis. Dokter pemeriksa tidak boleh mengalami dilema etika. Untuk mengetahui berat atau ringannya buta warna bisa pakai tes HRR. Harus ada keputusan tegas. Seringan apa pun, calon dokter tidak boleh buta warna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar