May 11th 2024, 11:42, by Angga Sukmawijaya, kumparanBISNIS
Ekspor dan impor China kembali tumbuh pada bulan April setelah mengalami kontraksi pada bulan sebelumnya. Ini menandakan peningkatan permintaan di dalam dan luar negeri seiring dengan upaya China menghadapi berbagai tantangan menopang perekonomian mereka yang sedang lemah.
Dikutip dari Reuters, ekspor China pada april tumbuh 1,5 persen, sedangkan impor meningkat 8,4 persen, melebihi perkiraan kenaikan sebesar 4,8 persen dan membalikkan penurunan sebesar 1,9 persen di bulan Maret.
Berdasarkan Satu Data Perdagangan, Kementerian Perdagangan, China merupakan negara tujuan ekspor Indonesia yang setara dengan 25,8 persen pangsa ekspor Indonesia.
Lesunya impor China pada kuartal I/2024 tercermin dari penurunan ekspor Indonesia ke China, di mana pada kuartal I/2023 ekspor Indonesia ke China USD 16.576, turun 19,89 persen jadi USD 13.826 pada kuartal I/2024.
Lantas dengan membaiknya permintaan impor dari China, bagaimana posisi Indonesia mengambil momentum ini?
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, mengatakan Indonesia secara garis besar lebih banyak mengekspor raw materials ke China dibandingkan kategori produk lainnya.
"Komoditas ekspor utama kita banyak dalam bentuk batu bara, CPO, copper, pulp, sarang walet, dan lain-lain. Baru 3-4 tahun terakhir saja semi processed goods seperti besi baja masuk sebagai produk ekspor unggulan ke China. Per 2022, ditambah dengan nickel matte, output dari smelting nickel," kata Shinta kepada kumparan, Sabtu (11/5).
Di lain sisi, Shinta melihat struktur demand impor China didominasi impor raw materials dan impor industrial goods, yakni semi-processed dan semi-manufactured goods. Catatannya, produk tersebut diestimasikan mencapai 90 persen total impor China dari dunia.
Sedangkan kebanyakan yang bisa diekspor oleh Indonesia saat ini atau dalam jangka pendek adalah ekspor barang mentah. Padahal demand terbesar China, di luar komoditas mentah seperti batu bara dan barang tambang lain, adalah parts dan components of electronicgoods, machineries, mechanical appliances, kendaraan, benda optik dan medis, chemicals, dan sebagainya.
"Jadi ketika ekonomi China revive atau membaik, demand impor China terhadap produk-produk tersebut akan naik secara otomatis mengikuti revitalisasi pertumbuhan produktivitas industri China," ujarnya.
Stimulus Hilirisasi
Saat ini pemerintah gencar melakukan hilirisasi, terutama mineral tambang dari bijih nikel. Menurut Shinta hilirisasi bisa lebih didorong sehingga Indonesia bisa lebih banyak ekspor komponen-komponen industri, tak lagi barang mentah.
"Masalahnya Indonesia masih mengalami fenomena missing middle, di mana industri yang bisa menghasilkan semi-processed dan semi-manufacturing goods bisa dikatakan tidak ada atau hilang," tegas dia.
"Sehingga kita tidak punya banyak peluang untuk memanfaatkan kenaikan demand impor di China, di luar komoditi-komoditi raw materials yang disebutkan sebelumnya," sambungnya.
Yang terjadi saat ini adalah pelaku usaha hanya bisa mengekspor produk-produk ekspor yang sudah ada bila sub sektor komponen setengah jadi belum bisa diproduksi di Indonesia.
Menurutnya pemerintah harus bergerak lebih jauh dalam hal penciptaan hilirisasi terhadap sumber daya alam Indonesia, dari sekadar smelter.
"Cabang-cabang industri dalam pohon industri nikel, bauksit, dan lain-lain yang ada dalam agenda hilirisasi juga perlu dikembangkan untuk menjadi industri semi-processed goods yang kuat, scalable dan berdaya saing ekspor, khususnya untuk ekspor ke pasar China atau pasar negara ketiga seperti India, Amerika, Uni Eropa, dan lain-lain," kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar