Kebijakan pemerintah terkait kesejahteraan sosial dinilai masih belum maksimal. Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, membeberkan sederet pekerjaan rumah terkait kesejahteraan sosial yang harus dibereskan, termasuk oleh pemimpin Indonesia selanjutnya.
Andry mengatakan Indonesia masih memiliki data ketimpangan yang tinggi, meskipun angka kemiskinan menurun. Ia menilai hal ini menyebabkan gap antara masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah, dengan masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas semakin tinggi.
"Kalau kita melihat dari data kemiskinan kan memang ada penurunan, tapi data ketimpangan masih tinggi, ini mencerminkan bahwa ada penurunan jumlah rumah tangga miskin tapi dari sisi masyarakat kelas menengah ke atas paling tinggi, gap antara yang miskin yang kaya ini semakin lama semakin tinggi," kata Andry kepada kumparan pada Minggu (4/2).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2023, tingkat ketimpangan mengalami penurunan menjadi 9,36 persen dari sebelumnya 9,57 persen pada September 2022. Sementara, pada periode yang sama, Maret 2023, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio adalah sebesar 0,388.
Angka ini meningkat 0,007 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2022 yang sebesar 0,381 dan meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,384.
"Ini perlu dijadikan perhatian untuk pemerintah di masa akan datang, karena akan ketimpangan yang semakin tinggi ini akan memberikan segregasi sosial karena implikasinya cukup banyak," ujar Andry.
Di sisi lain, Andry juga menyoroti tidak tepatnya bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh ketidaksinambungan data yang dimiliki pemerintah. Permasalahan integrasi data tersebut yang membuat bantuan tidak tepat sasaran
"Beberapa bantuan masih belum tepat sasaran, karena dari data untuk penerima bantuan kita masih belum punya satu data sendiri, masing-masing tiap program memiliki datanya sendiri-sendiri ini menurut saya harus dijadikan pembelajaran dari pemerintahan selanjutnya," ungkap Andry.
Menurutnya, pemerintah tidak memandang serius program satu data. Sehingga program itu hanya menjadi wacana saja.
"Semua data itu harusnya sama, mau programnya nanti berasal dari kementerian mana pun, menurut saya datanya yang digunakan harus sama. Permasalahannya sampai dengan sekarang kan program satu data itu hanya sebagai wacana saja, tidak diimplementasikan dan dieksekusi," jelasnya.
Selain itu, Andry memandang pemerintah selanjutnya harus memperhatikan tingkat kesejahteraan masyarakat setelah menerima bantuan. Sebab, kata Andry, bantuan harus menjadi instrumen yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Beberapa bantuan yang diberikan tidak pengukuran pasti bahwa rumah tangga yang mendapatkan bantuan sosial terbantu dan diharapkan tidak akan mendapatkan bantuan dalam beberapa waktu ke depan, jadi jangan sampai mereka tetap miskin," ujar Andry.
Presiden Jokowi menggelontorkan Rp 496,8 triliun untuk belanja perlindungan sosial (Perlinsos) pada tahun 2024. Angka itu hampir setara dengan anggaran bansos saat COVID-19 menghantam Indonesia di 2020. Adapun, realisasi anggaran perlinsos saat krisis COVID-19 di 2020 tembus Rp 498 triliun.
Andry menilai seharusnya dengan data kemiskinan yang kian menurun, angka gelontoran bansos pun juga ikut surut. "Ini juga tercermin bahwa dana bantuan yang diberikan pemerintah itu semakin lama semakin tinggi, padahal tingkat kemiskinannya menurun, kan itu jadi tanda tanya, apakah bantuan yang diberikan tepat sasaran atau tidak," ujar Andry.
Butuh Pemerataan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan
Andry melihat, permasalahan krusial yang lain adalah perbedaan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan yang diberikan antara masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke atas dengan masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah.
Padahal, menurutnya, hal ini dapat menjadi penentu yang cukup penting bagi sumber daya manusia untuk mendapatkan kesejahteraan, baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.
"Pendidikan dan kesehatan sekarang fokus, bagaimana yang bawah sampai dengan atas mendapatkan level yang sama. Karena yang menimbulkan ketimpangan, karena mereka yang pendidikan dan kesehatannya kualitasnya lebih tinggi maka kesejahteraannya pun lebih tinggi," tutur Andry.
Meski begitu, Andry juga tidak menampik pemerintah saat ini telah melirik permasalahan ini. Namun belum efektif berdampak langsung pada tingkat kesejahteraan. "Hari ini memang sudah ada reform tapi masih belum cukup cepat dan masif," jelas Andry.
Sementara itu, Economic Researcher Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, memandang penurunan angka kemiskinan dan melihat beberapa program bantuan sosial yang diberikan pemerintah telah berhasil memenuhi target kesejahteraan sosial.
Yusuf melihat data realisasi bantuan sosial meningkat 11 persen pada 2017 dari tahun sebelumnya. Hal ini berbarengan dengan satu penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 1,18 juta orang antara 2017 dan 2016.
"Kondisi ini sebenarnya memperlihatkan bagaimana program kesejahteraan sosial (kesos) bisa menjadi salah satu instrumen yang kuat dalam upaya pemerintah menurunkan tingkat kemiskinan," tutur Yusuf kepada kumparan pada Minggu (4/2).
Kendati demikian, Yusuf menilai masih ada sederet evaluasi untuk pemerintahan saat ini terkait dengan kesejahteraan sosial dan akan menjadi PR bagi pemimpin selanjutnya. Sama dengan Andry, Yusuf juga memandang integrasi data sebagai hal yang penting dilakukan oleh pemerintah selanjutnya.
Terlebih menurut Yusuf, program peningkatan kesejahteraan sosial telah terintegrasi satu sama lain. Selain itu, instrumen pengukuran kesejahteraan sosial masyarakat usai menerima bantuan juga penting diadakan.
"Semakin cepat pemerintah dalam melakukan evaluasi dampak dari beragam program sosial, maka akan semakin cepat pula pemerintah baru dalam memutuskan kebijakan yang akan difokuskan mengingat tentu meskipun pemerintah melihat esensi atau strategisnya program ini namun pemerintah juga harus dihadapi pada konstan pada anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah," tutur Yusuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar