Sep 23rd 2023, 11:52, by Novianti Abidin, Novianti Abidin
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai the guardian of constitution and the final interpreter of constitution yang memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD merupakan amanat konstitusi pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum."
Dalam rangka menjaga marwah konstitusi, fungsi pengujian UU diterapkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dalam UUD 1945 menegaskan bahwa sistem yang dianut adalah supremasi konstitusi bukan supremasi parlemen.
Dalam menguji UU mekanisme yang kemudian terbentuk ialah melalui Judicial Review yang menjadi kewenangan dari MK. Bilamana suatu UU bertentangan dengan UUD 1945 maka UU tersebut akan dibatalkan oleh MK.
Hal ini bersesuian dengan prinsip hierarki hukum bahwa suatu peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Kewenangan MK yang dapat menyatakan norma dalam UU tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD dapat memangkas kewenangan yang dimiliki oleh lembaga negara lainnya.
Salah satu contoh putusan MK yang menuai pro kontra di kalangan para ahli hukum di mana memangkas kewenangan lembaga negara yang berada dalam rumpun yudikatif yakni putusan Nomor 56/PUU-XX/2022 perihal pengujian Undang-Undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) yang diajukan oleh advokat Ignatius Supriyadi.
Dalam amar putusannya MK telah secara khusus menghapus kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan Pengawasan terhadap hakim konstitusi, sehingga kewenangan Komisi Yudisial hanya terbatas pada hakim agung dan hakim di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA).
dikutip dari website resmi MK dalam amar putusan bagian pertimbangan hukum "Mahkamah pada pokoknya antara lain telah secara nyata menegaskan Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain."
dengan kata lain, sambung Manahan, pengawasan terhadap hakim konstitusi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dinilai mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat mewujudkan sifat independensi dan imparsialitasnya.
Hal tersebut sama halnya apabila dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang masih tetap melibatkan Komisi Yudisial dalam melakukan penilaian (pengawasan) terhadap kinerja hakim konstitusi sehingga pada akhirnya hal tersebut tetap menempatkan atau menjadikan hakim konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi Yudisial.
Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antar-lembaga negara. Sehingga, mahkamah dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dapat merasa bebas merdeka tanpa tekanan dari pihak mana pun.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas menurut mahkamah, Manahan menegaskan dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak lagi melibatkan Komisi Yudisial.
Hal itu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU UUMK, argumentasi yang di berikan bahwa Ketika Komisi Yudisial diberikan kewenangan dalam mengawasi hakim MK secara eksternal akan mengurangi independensi dari hakim MK itu sendiri.
Padahal sejatinya kebebasan seorang hakim dalam memutus perkara adalah hal yang mutlak dimiliki hakim sebagaimana amanat UU yang pada hakikatnya mengacu pada ketentuan pasal 5 ayat (1) kekuasaan kehakiman.
Pun kemudian dalam amar putusannya MK hanya memangkas kewenangan mengawasi untuk hakim MK itu sendiri yang kemudian menuai berbagai macam pendapat bahwa MK memangkas kewenangan KY untuk kepentingan politik, bukan hukum.
Kenapa demikian? Sebab, ketika MK memutus berdasar pada hukum, lantas bagaimana dengan hakim-hakim yang berada di lingkup peradilan umum, apakah mereka juga akan kehilangan independensi?
Mengapa kemudian MK tidak memutus untuk memangkas secara keseluruhan kewenangan dari KY dalam hal pengawasan terhadap hakim baik yang berada dalam lingkup peradilan umum?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar