Berbicara terkait konflik agraria yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia dalam jangka waktu beberapa tahun ke belakang, maka diskursus yang akan coba dibangun adalah terkait seberapa besar dan seberapa kuat legitimasi yang ditanam oleh negara untuk mengakuisisi dan melakukan klaim pada tanah masyarakat.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, poin yang diamanatkan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 terkait hak menguasai oleh negara terhadap bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tentu berkelindan dengan semangat yang dibawa oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang lahir 2 dekade setelahnya.
Semangat yang dibawa oleh UUPA adalah semangat reforma agraria yakni pengakuan bahwasanya tanah merupakan objek yang harus dimiliki oleh rakyat terkhusus rakyat Indonesia berdasarkan asas nasionalitas.
Polemik yang muncul nantinya adalah ketika semangat land reform tersebut bertabrakan dengan kepentingan negara untuk meningkatkan aspek pembangunan dan aspek pengembangan.
Friksi Penerapan Hukum Agraria Nasional
Selain itu, ketimpangan akses yang menyebabkan konflik agraria itu terjadi juga dapat timbul akibat inkonsistensi kebijakan sebagaimana yang terjadi di wilayah Dago Elos.
Sejalan dengan narasi yang disampaikan pada sejumlah artikel yang memuat kasus tersebut, penggunaan hak eigendom verponding telah jauh melampaui batasan terakhir masa penggunaannya yakni setidak-tidaknya pada penghujung tahun 1980 di masa transisi kebijakan agraria nasional.
Pemahaman yang dimiliki oleh pengambil keputusan perkara sengketa tanah di Dago Elos tersebut menunjukkan satu perspektif yang nyatanya mengangkangi semangat nasionalitas dan memberikan hak atas tanah kepada Keluarga Muller yang notabene merupakan keluarga pendatang dari Barat, bukan asli Indonesia.
Pendekatan yang berpeluang terjadi adalah bagaimana bentuk pengelolaan lahan yang ditujukan oleh Keluarga Muller nantinya yang akan berorientasikan pada pengambilan keuntungan dari lahan yang dimenangkan tersebut.
Padahal sejatinya kedudukan masyarakat yang telah lama menempati lahan, tanpa adanya intervensi sebelumnya, telah berhasil melegitimasi keberadaan hak masyarakat asli Dago Elos itu sendiri.
Kesukaran Negara dalam Mengakui Hak Ulayat
Selanjutnya, berbicara terkait konflik yang terjadi di Wadas, maka yang harus ditekankan di sini adalah bagaimana memposisikan masyarakat asli dan memulihkan hak-haknya yang berpeluang tinggi mengalami perampasan ruang hidup akibat eksisnya Proyek Strategis Nasional atau PSN.
Kacamata yang digunakan oleh pemerintah, dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah yang memiliki wewenang besar atas penggunaan lahan di Wadas tersebut, adalah kacamata bahwasanya penggunaan lahan sebagai objek PSN akan memberikan maslahat yang tinggi dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan.
Poin kesalahan yang muncul adalah bagaimana pendekatan atau cara yang digunakan oleh pemangku kebijakan untuk menginformasikan masyarakat terdampak.
Hak masyarakat asli, pada dasarnya mungkin dapat mengutip sedikit dari Hak FPIC sebagaimana diamanatkan pada United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) atau Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
Substansi FPIC setidaknya bermuatan free (dibebaskan dalam menentukan pilihan), prior (diutamakan dalam pengambilan keputusan), informed (diberi tahu dengan konkret dan holistik), dan consent (mengedepankan konsensus/kesepakatan atas program yang akan dijalankan).
Maka dari itu, pada hakikatnya ruang hidup yang dimiliki oleh masyarakat sipil manapun tidak boleh untuk dirampas begitu saja atas dasar apapun, termasuk investasi maupun pembangunan. Argumen tersebut juga sejalan dengan amanat Pasal 3 UUPA yang mengatur terkait hak ulayat.
Dengan berbagai moderasi yang eksis sampai sekarang, tentunya model-model perampasan ruang hidup kian meluas dan menyeluruh hingga bisa saja menyerang berbagai aspek masyarakat.
Hal ini patut dikritisi semata-mata untuk menjaga muruah negara hukum (rechtstaat) yang harus menempatkan penegakan hak asasi manusia dan supremasi hukum dalam menentukan arah kebijakan serta sebagai bentuk implementasi nyata dari semangat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar yakni standing Indonesia sebagai negara hukum.
Prinsip penetapan suatu aplikasi wewenang maupun arah pembangunan yang ditentukan nantinya oleh para pemangku kebijakan harus dilakukan dengan skema bottom up bukan top down.
Penekanan yang nantinya dicanangkan adalah bagaimana memobilisasi aspirasi dari masyarakat setempat dengan cara pelibatan secara langsung demi konkretisasi partisipasi bermakna (meaningful participation).
Alangkah menyedihkannya setelah menengok temuan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bahwasanya sepanjang 2019-2022 setidaknya terdapat 301 kasus sengketa lahan yang merugikan entitas masyarakat adat. Hal ini patut direfleksikan dengan cermat terlebih mengingat berbagai praktik legitimasi perampasan ruang hidup yang dilakukan oleh penguasa.
Sebagai penutup, telah dimaktubkan dengan jelas dan eksplisit dalam UUPA, salah satunya pada Penjelasan Umum angka 3 ayat (1), bahwa landasan dari Hukum Agraria Nasional adalah Hukum Adat.
Konsekuensi logis yang muncul dari amanat pasal tersebut adalah penerapan Hukum Tanah Nasional harus bersendikan pengakuan yang faktual terhadap Hukum Adat serta hak-hak yang melekat pada Masyarakat Adat itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar