Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf bersama Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin memimpin rapat kerja dan RDP dengan Wakil Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/2/2025). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf diminta tanggapan soal gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 di Mahkamah Konstitusi.
UU MD3 digugat oleh sejumlah mahasiswa. Mereka meminta agar MK mengabulkan gugatan ini agar rakyat bisa memecat anggota DPR.
Dede mengatakan, gugatan ke MK merupakan hak publik. Ia menyerahkan sepenuhnya masalah in kepada hakim MK.
"Sebetulnya kalau gugatan kan boleh-boleh aja. Tinggal kita serahkan kepada MK saja seperti apa," ucap Dede kepada wartawan, Kamis (20/11).
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh (kiri) dan Guntur Hamzah (kanan) memimpin sidang hari kedua perselisihan hasil pemilihan pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (9/1/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Politikus Demokrat ini menilai, dirinya sepakat rakyat bisa memecat anggota DPR. Tapi, harus sesuai dengan dapil pemilihannya.
"Jadi misalnya, satu contoh seperti ini, misalnya seseorang dipilih dapilnya Surabaya, terus yang memecat orang dari Papua, mungkin kan enggak pas," ucap Dede.
"Tapi kalau dapilnya yang mengusulkan, itu tandanya berarti benar, orang ini tidak pernah turun dan tidak memberikan manfaat ke masyarakatnya. Itu masih masuk akal ya," tambahnya.
Dede menilai, jika rakyat tidak diberikan batasan terkait masalah ini, maka akan terjadi kekisruhan. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk memutus perkara ini.
"Karena kan yang merasakan langsung adalah dapilnya. Ya kita serahkan kepada MK saja, MK kan pasti akan memilih jalan yang terbaik," kata Dede.
Gugatan ini teregister di MK dengan nomor 199/PUU-XXIII/2025 pada hari Senin (27/10). Para pemohon yang berjumlah 4 orang ini mempermasalahkan Pasal 239 ayat 1 huruf c dalam UU 17/2014.
Mereka adalah Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Muhammad Adnan.
Berikut bunyi Pasal 239 ayat 1 huruf c
1. Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
Dalam pokok permohonannya, pemohon menilai ketentuan tersebut inkonstitusional bersyarat karena dinilai melanggengkan dominasi partai politik dalam mekanisme Pemberhentian Antar Waktu (PAW) atau recall anggota DPR.
Mereka mengeklaim kerugian konstitusional sebagai pemilih yang tidak diberi kesempatan untuk memberhentikan wakil mereka secara langsung, padahal kedaulatan ada di tangan rakyat.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 239 ayat (1) huruf c UU MD3 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (konstitusional bersyarat) sepanjang tidak dimaknai bahwa anggota DPR dapat diberhentikan oleh konstituen di daerah pemilihannya.
Mereka menawarkan simulasi mekanisme constituent recall yang dapat diterapkan di Indonesia, merujuk pada praktik di Taiwan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar