Di tengah perbincangan publik mengenai stigma Gen Z sebagai generasi yang "mudah goyah", muncul kisah-kisah yang dimaksudkan untuk menghadirkan keseimbangan. Salah satunya adalah cerita tentang Yasika Aulia Ramadhani, anak muda berusia 20 tahun yang diberitakan mampu mengelola 41 dapur Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pada pandangan pertama setelah membaca narasi yang disajikan, kisah ini memberi sebuah harapan: bahwa ada anak-anak muda yang tampil, memikul tanggung jawab, dan menunjukkan kapasitas di usia yang begitu dini.
Namun, belakangan publik mengetahui bahwa Yasika juga memiliki latar belakang keluarga pejabat. Informasi, yang tampaknya sederhana ini, secara pelan-pelan telah menggeser cara publik memaknai kisah tersebut. Apa yang awalnya dilihat sebagai pencapaian pribadi kini dilihat sebagian orang sebagai contoh betapa berharganya akses dan kesempatan karena posisi setiap individu tidak selalu dimulai dari garis start yang sama.
Tanpa perlu menunjuk individu mana pun, dinamika inilah yang mengemuka dan patut dicermati oleh banyak pihak terkait. Bukan tentang salah–benar atau layak–tidaknya seseorang, melainkan tentang bagaimana sebuah kisah inspiratif bisa berubah maknanya ketika konteksnya diperluas. Dalam psikologi naratif, konteks adalah lensa. Lensa itu dapat menguatkan inspirasi, tetapi juga dapat mengundang pertanyaan tentang keadilan atas kesempatan.
Dampaknya pada yang Tak Tertampakkan
Ilustrasi generasi muda bergandengan tangan Foto: Getty Images
Saat ini, diskusi yang dilakukan oleh generasi muda di ruang publik maupun di ruang maya—yang berbasis media tanpa lembaga seperti podcast—cenderung digandrungi oleh generasi muda kita pada saat ini. Di media seperti itu, sering ada tokoh-tokoh muda yang mencuat ke permukaan. Namun, ada pula yang tetap berada di balik layar yang menghadapi realita hidup.
Salah satunya adalah figur seperti Nabila yang merupakan seorang sarjana akuntansi yang kini bekerja sebagai petugas PPSU. Dia tidak kurang usaha serta tidak kurang berdaya. Namun, hidupnya digerakkan oleh struktur pasar kerja yang keras, kompetisi tinggi, dan peluang yang tidak merata.
Bayangkan sesaat apa yang mungkin dirasakan Nabila ketika membaca kisah Yasika. Bukan kecemburuan, melainkan perenungan: tentang betapa beratnya perjuangan dan tantangan sebagian generasi muda dan tentang betapa besar peran konteks dalam menentukan arah perjalanan seseorang.
Ilustrasi akses jalan di tengah hutan Foto: Dok. Istimewa
Dalam psikologi kognitif, situasi ini sering disebut sebagai disonansi reflektif—bukan benturan emosional, melainkan benturan antara dua kenyataan yang sama-sama valid: kenyataan bahwa anak muda bisa berprestasi dan kenyataan bahwa struktur kesempatan tidak selalu seimbang. Ketegangan halus inilah yang sering muncul di benak para pekerja muda hari ini.
Ketika Inspirasi menjadi Cermin Struktur
Kisah seperti milik Yasika sesungguhnya dapat menjadi kesempatan untuk membicarakan sesuatu yang lebih besar: bagaimana negara dan masyarakat menata peluang bagi anak muda. Dalam ekonomi politik, narasi individu sering kali menjadi pintu masuk untuk memahami struktur. Pertanyaannya bukan "apakah seseorang pantas mendapat peran tertentu", melainkan "apakah semua anak muda memiliki akses yang setara untuk mencobanya?"
Di titik inilah praktik poles bias bekerja. Bias yang dipoles bukan upaya buruk yang disengaja. Bias yang dipoles lebih sering menjadi refleks komunikatif dalam politik modern; sebuah upaya memoles kisah agar tampak lebih menggugah.
Ilustrasi media sosial palsu. Foto: Dinda Faradiba/kumparan
Namun dalam prosesnya, hal ini tanpa sengaja dapat menutupi realitas yang lebih kompleks: bahwa kesuksesan individu selalu berbanding lurus dengan struktur sosial, jejaring, dan sejarah peluang. Ketika konteks hilang, inspirasi berubah menjadi impresi yang tidak utuh.
Generasi Emas dalam Dua Lintasan
Sering kali kita berbicara tentang "Generasi Emas 2045", seolah semua anak muda berlari di lintasan yang sama. Padahal, lintasan itu berbeda-beda. Ada yang berlari dengan akses, tetapi ada pula yang berlari dengan kegigihan semata. Keduanya sama-sama sah. Keduanya sama-sama layak diapresiasi. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah ketika lintasan yang berbeda itu disamakan, lalu dijadikan tolok ukur bersama untuk mencapai target.
Kita tidak perlu menghakimi siapa pun untuk menyadari bahwa ada kesenjangan yang perlu dijembatani. Kesenjangan ini bukan soal siapa yang lebih unggul atau siapa yang lebih berhak, melainkan soal bagaimana negara memastikan bahwa setiap anak muda—entah ia Yasika atau Nabila—berhak untuk bermimpi dengan peluang yang sama. Generasi emas tidak lahir dari kisah yang dipoles, tetapi dari sistem yang dibangun dengan kesetaraan sebagai fondasinya.
Tak Perlu Pedas untuk Menggugah
Ilustrasi anak muda yang menjadi entrepreneur. Foto: Shutterstock
Di akhir perbincangan ini, kita sebenarnya tidak sedang menyoal individu mana pun. Kita sedang menyoal bagaimana cerita dibingkai dan bagaimana bingkai itu memengaruhi persepsi generasi muda terhadap masa depan mereka.
Oleh karena itu, pertanyaan penutup tidak perlu bernada marah. Ia cukup bernada jujur: Apakah kisah-kisah inspiratif yang diangkat hari ini benar-benar membantu memperbaiki sistem, atau hanya menjadikan sebagian anak muda terlihat bersinar, sementara sebagian lainnya merasakan beban yang makin berat?
Pertanyaan ini tidak untuk menyalahkan, tetapi untuk mengingatkan: bahwa untuk membangun dan menyukseskan Generasi Emas 2045 membutuhkan bukan sekadar narasi yang menginspirasi, melainkan struktur yang adil. Struktur yang adil itu hanya bisa lahir ketika kita berani melihat kenyataan apa adanya tanpa adanya proses polesan, tanpa bias, dan tanpa perlu mengorbankan harapan siapa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar