Search This Blog

Paradoks Lulusan MPI : Dididik Mengelola, Tersisih oleh Realita

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Paradoks Lulusan MPI : Dididik Mengelola, Tersisih oleh Realita
Nov 3rd 2025, 08:00 by Fikri Haekal Akbar

Lulusan Manajemen Pendidikan Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka dididik untuk mengelola lembaga pendidikan secara profesional, namun justru tersisih ketika berhadapan dengan realitas dunia kerja yang tidak memberi ruang bagi keahlian mereka. (Gambar: Shutterstock)
Lulusan Manajemen Pendidikan Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka dididik untuk mengelola lembaga pendidikan secara profesional, namun justru tersisih ketika berhadapan dengan realitas dunia kerja yang tidak memberi ruang bagi keahlian mereka. (Gambar: Shutterstock)

Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) hadir dengan sebuah janji yang spesifik: mencetak para manajer profesional yang mampu mengelola institusi pendidikan Islam dengan kaidah manajemen modern. Mereka dipersiapkan untuk menjadi motor penggerak yang memastikan kurikulum berjalan, kesiswaan terkelola, dan sarana prasarana berfungsi optimal. Namun, sebuah jurang lebar menganga antara idealisme kurikulum di ruang kuliah dengan kenyataan pahit yang menunggu mereka di pasar kerja. Lulusan MPI kini menghadapi serangkaian tantangan kompleks yang bersifat sistemik, kultural, dan struktural.

Secara kelembagaan, Program Studi (Prodi) Manajemen Pendidikan Islam (MPI) umumnya berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) dan banyak dikembangkan di perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta, seperti UIN, IAIN, dan STAI. Prodi ini berakar dari Program Studi Kependidikan Islam (KI) yang didirikan sekitar tahun 1997, kemudian mengalami transformasi signifikan setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Agama Nomor 36 Tahun 2009 serta SK Dirjen Pendis No. 1429 Tahun 2012.

Program studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) awalnya muncul di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Intan Lampung sebagai kelanjutan dari Jurusan Kependidikan Islam (KI) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI tahun 1967. ( Kemenag RI)
Program studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) awalnya muncul di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Intan Lampung sebagai kelanjutan dari Jurusan Kependidikan Islam (KI) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI tahun 1967. ( Kemenag RI)

Sejak saat itu, fokus keilmuannya bergeser dari sekadar aspek kependidikan menuju profesionalisasi dalam bidang manajemen lembaga pendidikan Islam. Pembentukan MPI menjadi respons atas kebutuhan mendesak akan tenaga profesional yang tidak hanya memahami nilai-nilai Islam, tetapi juga memiliki kompetensi manajerial modern dalam mengelola lembaga pendidikan Islam di tengah dinamika global. Sejak awal tahun 2000-an, prodi ini mulai diresmikan di berbagai perguruan tinggi sebagai bagian dari upaya memperkuat tata kelola pendidikan Islam di Indonesia.

Namun, idealisme tersebut sering kali berhadapan dengan kenyataan yang tidak seindah visi awalnya. Alih-alih melenggang mulus sebagai konsultan, analis, atau manajer yayasan, banyak lulusan MPI justru terjebak dalam kebingungan identitas dan persaingan yang ketat, bahkan sebelum mereka sempat mengaplikasikan ilmunya. Di lapangan kerja, posisi mereka kerap tumpang tindih dengan lulusan manajemen umum, administrasi pendidikan, atau bahkan ilmu pendidikan.

Banyak lembaga pendidikan yang masih memprioritaskan pengalaman praktis dibanding latar akademik spesifik. Akibatnya, lulusan MPI sering kali harus menyesuaikan diri dengan realitas pekerjaan yang jauh dari bayangan ideal, bekerja di bidang non-pendidikan, atau sekadar menjadi staf administratif tanpa ruang aktualisasi yang sepadan dengan kompetensi yang mereka pelajari. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah sistem pendidikan tinggi Islam telah benar-benar menyiapkan mereka untuk dunia kerja, atau justru hanya mencetak harapan yang tersendat di tengah jalan?

Krisis Identitas: Manajer, Guru, atau Keduanya?

Masalah utama muncul karena banyak mahasiswa MPI tidak memahami arah keilmuannya dan menganggap kariernya hanya sebatas guru atau kepala sekolah. (Shutterstock)
Masalah utama muncul karena banyak mahasiswa MPI tidak memahami arah keilmuannya dan menganggap kariernya hanya sebatas guru atau kepala sekolah. (Shutterstock)

Masalah pertama dimulai dari internal mahasiswa itu sendiri. Banyak di antara mereka yang masuk ke Program Studi Manajemen Pendidikan Islam tanpa pemahaman mendalam tentang arah dan karakter keilmuan yang mereka pilih. Persepsi mereka tentang masa depan karier sering kali sangat sempit, terbatas pada dua pilihan utama: menjadi guru atau menjadi kepala sekolah. Padahal, hakikat keilmuan MPI justru dirancang untuk melahirkan profesional yang mampu mengelola lembaga pendidikan, bukan sekadar mengajar di dalamnya.

Ironi ini menunjukkan adanya kesenjangan informasi dan orientasi karier di tingkat mahasiswa, bahkan sejak awal perkuliahan. Tidak sedikit mahasiswa yang memilih MPI karena "terlanjur diterima", bukan karena benar-benar memahami potensi bidang ini. Alhasil, selama masa studi, sebagian dari mereka menjalani perkuliahan tanpa arah karier yang jelas, sekadar menuntaskan kewajiban akademik tanpa memiliki visi profesional yang matang.

Kebingungan tersebut kian diperparah oleh persepsi yang mengakar kuat di masyarakat. Label "Pendidikan Islam" dalam nama program studi secara otomatis menciptakan asosiasi yang sempit di benak publik, termasuk di kalangan pemberi lowongan kerja. Banyak yang menyamakan lulusan MPI dengan lulusan Pendidikan Agama Islam (PAI), yang orientasinya jelas: menjadi guru agama di sekolah atau madrasah. Padahal, ruang lingkup MPI jauh lebih luas, mencakup manajemen lembaga pendidikan, tata kelola SDM pendidikan, perencanaan kurikulum, pengembangan mutu, hingga supervisi pendidikan berbasis nilai-nilai Islam.

Namun persepsi publik yang belum berubah membuat potensi lulusan MPI kerap tidak terbaca. Bahkan di lingkungan akademik sekalipun, masih ditemukan pandangan yang memandang MPI hanya sebagai "PAI versi manajemen". Kondisi ini menimbulkan dilema identitas, karena lulusan MPI sulit menempatkan diri di antara persepsi masyarakat dan kompetensi yang sesungguhnya mereka miliki.

Terjepit di Arena Persaingan

Ketika lulusan MPI melangkah ke dunia pencarian kerja, mereka menemukan diri mereka berada dalam medan pertempuran multi-front yang jauh lebih keras daripada yang dibayangkan di bangku kuliah. Keahlian spesifik mereka "manajerial dengan basis nilai-nilai Islam" seharusnya menjadi keunggulan kompetitif yang khas. Namun, justru label "Pendidikan Islam" itulah yang sering kali berbalik menjadi batu sandungan. Alih-alih dianggap sebagai profesional dengan perspektif manajemen yang berlandaskan etika dan spiritualitas, mereka kerap dicap terlalu "spesifik" untuk dunia industri yang menuntut fleksibilitas dan orientasi pragmatis.

Di sektor publik, perjuangan mereka semakin berat. Dalam berbagai formasi fungsional umum, baik untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), lulusan MPI sering kali harus bersaing secara langsung dengan lulusan Administrasi Publik, Manajemen Sumber Daya Manusia, atau Administrasi Pendidikan dari kampus umum.

Persaingan ini tidak berjalan di medan yang setara. Kualifikasi para pesaing mereka dianggap lebih "universal" dan sesuai dengan kriteria jabatan yang tidak secara eksplisit mencantumkan spesifikasi keislaman atau lembaga pendidikan Islam. Sementara itu, kurikulum MPI yang sangat berorientasi pada manajemen lembaga pendidikan keagamaan membuat kompetensi mereka tampak "terlalu sempit" di mata panitia seleksi. Padahal, kemampuan mereka dalam hal perencanaan strategis, pengelolaan sumber daya manusia, dan evaluasi mutu pendidikan sama sekali tidak kalah. Namun, sistem rekrutmen formal yang masih kaku dalam memaknai nomenklatur keilmuan sering kali mengabaikan substansi tersebut.

Di pasar kerja yang lebih luas, di luar ekosistem lembaga Islam, kebingungan tersebut menjelma menjadi bentuk keraguan yang konkret. Karakteristik keilmuan MPI sering kali dipertanyakan oleh dunia industri dan sektor publik. Bagi perusahaan, lembaga pemerintahan, atau organisasi umum, lulusan MPI dianggap bukan sarjana Manajemen murni karena basis kurikulumnya berorientasi pada dunia pendidikan dan berlandaskan nilai keislaman. Namun di sisi lain, mereka juga tidak sepenuhnya diakui sebagai lulusan Keguruan murni karena fokus studinya tidak diarahkan untuk mengajar.

Akibatnya, posisi mereka menjadi tanggung, seperti berdiri di antara dua ranah keilmuan yang sama-sama tidak sepenuhnya menerima. Dalam wawancara kerja, hal ini sering tercermin dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang menggugurkan potensi, seperti "Jadi, Anda guru atau manajer?" atau "MPI itu sama dengan administrasi pendidikan, ya?" Pertanyaan semacam ini menggambarkan bahwa identitas keilmuan MPI masih belum menemukan legitimasi sosial yang kuat, dan para lulusannya masih berjuang untuk membuktikan nilai dan relevansi ilmunya di tengah pasar kerja yang menuntut kejelasan kompetensi.

Sementara itu, di habitat utama mereka sendiri, yakni lembaga pendidikan Islam. Persaingan tidak kalah sengit dan bahkan lebih rumit secara struktural. Lulusan MPI harus bersaing tidak hanya dengan sesama alumni dari program yang sama, tetapi juga dengan lulusan Administrasi Pendidikan (AP), Manajemen Pendidikan (MP), dan bahkan jurusan-jurusan lain di fakultas Tarbiyah seperti Pendidikan Agama Islam (PAI).

Banyak sekolah dan madrasah yang masih mengandalkan tenaga internal atau guru senior untuk mengisi posisi manajerial, tanpa mempertimbangkan kualifikasi akademik di bidang manajemen pendidikan. Akibatnya, lulusan MPI sering kali hanya menjadi pelengkap atau "opsi cadangan", bukan pilihan utama. Lebih pelik lagi, banyak lembaga pendidikan Islam yang belum sepenuhnya memiliki struktur profesional dalam manajemen, sehingga posisi manajer pendidikan masih dianggap sekadar bagian administratif, bukan jabatan strategis. Dalam situasi semacam ini, keahlian yang seharusnya menjadi khas lulusan MPI justru tidak mendapatkan ruang aktualisasi yang layak. Mereka seolah menjadi penonton di rumah sendiri, menyaksikan peran yang seharusnya mereka isi diambil oleh orang lain yang mungkin bahkan tidak memahami teori manajemen pendidikan Islam yang menjadi disiplin ilmu mereka.

Dilema Peran dan Jalur Karier yang Buntu

Bagi mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan, tantangan baru muncul di tempat kerja. Seorang lulusan MPI seharusnya fokus pada fungsi manajerial. Mereka dididik untuk mengelola kurikulum, menangani administrasi kesiswaan, atau mengurus sarana dan prasarana. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Banyak dari mereka dibebani dengan tugas tambahan mengajar di kelas, seringkali untuk sekadar memenuhi jam mengajar agar struktur organisasi terlihat efisien.

Hal ini menciptakan dilema. Di satu sisi, mereka dididik sebagai tenaga kependidikan (Tendik) atau manajer. Di sisi lain, sistem birokrasi pendidikan di Indonesia, terutama terkait insentif, lebih berpihak pada tenaga pendidik (Guru). Jalur karier, tunjangan profesi, dan skema sertifikasi jauh lebih jelas dan lebih menguntungkan bagi mereka yang berstatus guru. Akibatnya, banyak lulusan MPI terpaksa mengambil peran ganda, mengorbankan fokus manajerial mereka demi mendapatkan pengakuan dan kesejahteraan yang lebih layak melalui jalur keguruan.

Kepala Kemenag Kota Solok memimpin upacara Hari Guru Nasional ke-79 di MTsN 1 Kota Solok (infopublik.solokkota.go.id)
Kepala Kemenag Kota Solok memimpin upacara Hari Guru Nasional ke-79 di MTsN 1 Kota Solok (infopublik.solokkota.go.id)

Proses pencarian kerja itu sendiri mencerminkan kesulitan ini. Data tracer study menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan: mayoritas lulusan MPI, lebih dari 60 persen, baru mendapatkan pekerjaan setelah mereka lulus. Ini menunjukkan bahwa proses transisi dari kampus ke dunia kerja tidak instan dan penuh tantangan.

Bahkan ketika sudah bekerja, jenjang karier mereka seringkali datar. Banyak yang memulai sebagai Staf Tata Usaha atau Staf Kurikulum, dan posisi mereka tidak beranjak naik selama bertahun-tahun. Harapan untuk promosi terbatas pada posisi seperti Kepala Tata Usaha, Wakil Kepala Sekolah, atau Kepala Sekolah, di mana jumlah posisi tersebut sangat terbatas dan persaingannya sangat tinggi.

Tembok Patronase

Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor dikenal sebagai salah satu lembaga dengan sistem manajemen terbaik di Indonesia, di mana kepemimpinannya menekankan prinsip kolektif-kolegial yang berlandaskan kebersamaan dan musyawarah, (gontor.ac.id)
Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor dikenal sebagai salah satu lembaga dengan sistem manajemen terbaik di Indonesia, di mana kepemimpinannya menekankan prinsip kolektif-kolegial yang berlandaskan kebersamaan dan musyawarah, (gontor.ac.id)

Masalah terbesar mungkin tidak terletak pada kompetensi lulusan MPI, tetapi pada kultur unik lembaga pendidikan Islam itu sendiri. Banyak lembaga, khususnya yayasan atau pesantren, didirikan dan dimiliki oleh keluarga tertentu atau figur Kyai yang sentral. Dalam struktur seperti ini, logika manajemen modern seringkali harus tunduk pada hubungan kekeluargaan dan loyalitas pribadi.

Keputusan strategis, pengelolaan keuangan, dan rekrutmen sumber daya manusia tidak jarang didasarkan pada analisis kebutuhan atau meritokrasi. Sebaliknya, keputusan lebih sering diambil berdasarkan siapa yang dianggap paling loyal atau siapa yang memiliki hubungan darah dengan pendiri.

Lulusan MPI, yang datang sebagai "orang luar" profesional dengan bekal teori manajemen, menghadapi kesulitan besar untuk menembus lingkaran inti pengambil keputusan ini. Posisi-posisi strategis, seperti Kepala Madrasah atau Manajer Pesantren, seringkali diprioritaskan untuk "kader internal" yang telah lama mengabdi atau, lebih umum lagi, untuk "dzurriyah" (keluarga pendiri). Kader internal dan keluarga ini mungkin tidak memiliki kompetensi manajerial sekuat lulusan MPI, namun mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga di mata pimpinan puncak: kepercayaan dan legitimasi kultural.

Dibutuhkan Tapi Tidak Dihargai

Jika lulusan MPI berhasil melewati semua rintangan itu dan mendapatkan pekerjaan, mereka dihadapkan pada kenyataan ekonomi yang suram. Sejumlah tracer study secara konsisten menunjukkan bahwa mayoritas, bahkan lebih dari 50 persen, lulusan MPI yang telah bekerja mendapatkan penghasilan di bawah standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Fakta ini sangat ironis. Penyebab utamanya adalah target pasar kerja mereka, yaitu lembaga pendidikan Islam swasta atau pesantren, yang banyak di antaranya memiliki keterbatasan finansial. Lembaga-lembaga ini belum mampu memberikan gaji yang sesuai standar, meskipun mereka sangat membutuhkan keahlian manajerial.

Ada pula kesenjangan geografis yang tajam. Lembaga di kota besar (urban) mungkin lebih mapan, memiliki sumber daya lebih baik, dan lebih terbuka pada manajemen modern. Persaingan di sini sangat ketat, tetapi gajinya mungkin lebih layak. Sebaliknya, lembaga di daerah pedesaan atau 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) justru sangat membutuhkan keahlian mereka untuk membenahi manajemen. Namun, lulusan MPI yang memilih mengabdi di sini harus menghadapi tantangan ganda: masalah manajerial yang luar biasa berat sekaligus apresiasi finansial yang sangat minim.

Kesenjangan Kurikulum dan Resistensi Kultural

Kritik yang adil dan konstruktif juga perlu diarahkan ke dalam rumahnya sendiri: proses pendidikan di perguruan tinggi. Program Studi Manajemen Pendidikan Islam di banyak kampus masih terjebak pada pola pembelajaran konvensional yang belum benar-benar menjawab kebutuhan zaman. Padahal, di era digital dan disrupsi informasi seperti sekarang, lembaga pendidikan Islam membutuhkan sosok manajer yang tidak hanya paham teori, tetapi juga adaptif terhadap perubahan teknologi dan budaya organisasi modern.

Bimtek (bimbingan teknis) atau workshop berperan penting dalam memperkuat tata kelola digital pendidikan. (usu.ac.id)
Bimtek (bimbingan teknis) atau workshop berperan penting dalam memperkuat tata kelola digital pendidikan. (usu.ac.id)

Dunia pendidikan hari ini bergerak ke arah digitalisasi total: sistem informasi akademik berbasis cloud, administrasi daring, manajemen data siswa yang terintegrasi, hingga sistem e-learning yang berkelanjutan. Namun, ironisnya, sebagian lulusan MPI justru gagap ketika dihadapkan pada tuntutan tersebut. Banyak laporan dan temuan dari lapangan menyebutkan bahwa mereka belum memiliki keterampilan praktis dalam pengelolaan sistem digital, baik di tingkat sekolah maupun madrasah. Penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang seharusnya menjadi kompetensi dasar justru masih dianggap pelengkap, bukan keharusan.

Kelemahan ini sebagian besar disebabkan oleh desain kurikulum yang belum seimbang antara teori dan praktik. Dalam banyak kasus, mata kuliah di program MPI terlalu berat pada dimensi filosofis dan konseptual, membahas teori manajemen klasik, nilai-nilai pendidikan Islam, dan pendekatan normatif terhadap kepemimpinan. Aspek-aspek itu memang penting, namun tidak cukup ketika lulusan dihadapkan pada realitas lapangan yang menuntut kemampuan operasional.

Mahasiswa seharusnya juga dibekali dengan keterampilan teknis-administratif yang sesuai dengan kebutuhan manajemen pendidikan modern. Misalnya, pemahaman mendalam tentang aplikasi wajib kementerian seperti DAPODIK (Data Pokok Pendidikan), EMIS (Education Management Information System), dan SISPENA (Sistem Penilaian Akreditasi). Begitu pula dengan kemampuan audit keuangan yayasan, teknik penyusunan laporan pertanggungjawaban (LPJ), serta strategi manajemen konflik sumber daya manusia yang sering muncul dalam struktur sekolah berbasis yayasan.

EMIS merupakan suatu sistem pendataan pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Agama (emis.kemenag.go.id)
EMIS merupakan suatu sistem pendataan pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Agama (emis.kemenag.go.id)

Kurangnya pelatihan intensif pada aspek-aspek tersebut membuat lulusan MPI tampak unggul di atas kertas, tetapi kesulitan menyesuaikan diri dengan ritme kerja di lapangan. Selain itu, penguatan aspek pengembangan diri, etika profesional, kemampuan komunikasi interpersonal, dan kerja tim juga sering diabaikan. Padahal, manajer pendidikan yang efektif bukan hanya yang mampu mengatur sistem, tetapi juga mampu membangun hubungan dan memotivasi orang-orang di dalamnya.

Ketika lulusan yang secara teoritis mumpuni ini akhirnya mencoba menerapkan ilmunya di lembaga pendidikan, mereka sering membentur tembok yang lebih keras: resistensi kultural. Dunia pendidikan Islam di Indonesia masih banyak yang beroperasi dengan sistem tradisional, di mana nilai kekeluargaan, senioritas, dan kebiasaan lama menjadi faktor penentu dalam pengambilan keputusan.

Para lulusan MPI yang membawa semangat efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi sering kali dipandang sebagai ancaman terhadap kenyamanan status quo. Guru-guru senior atau pengurus yayasan yang telah bekerja puluhan tahun cenderung enggan diatur oleh sistem manajemen baru berbasis data atau teknologi. Bagi mereka, pendekatan yang "terlalu administratif" dianggap tidak sesuai dengan kultur lembaga Islam yang mengedepankan rasa kekeluargaan.

Dalam kondisi seperti ini, kemampuan teknis saja tidak cukup. Lulusan MPI harus memiliki kecerdasan kepemimpinan yang matang untuk menavigasi perubahan tersebut dengan bijak. Mengubah kultur birokrasi yang telah mengakar selama bertahun-tahun, meskipun jelas tidak efisien, memerlukan kombinasi antara kesabaran, diplomasi, dan kemampuan komunikasi strategis. Tantangan ini sering kali tidak disiapkan dalam bangku kuliah, padahal di lapangan, justru inilah ujian sebenarnya dari seorang manajer pendidikan Islam, bukan hanya mengelola sistem, tetapi juga mengelola manusia dan tradisi yang hidup di dalamnya.

Terkurung dalam Jaringan Sendiri

Selama masa kuliah, mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam hidup dalam ekosistem yang sangat khas. Kurikulum yang mereka jalani dan lingkungan sosial yang mereka tempati secara alami membangun jaringan yang kuat di dalam lingkaran pendidikan Islam. Mereka berinteraksi dengan dosen-dosen yang umumnya juga aktif di Kementerian Agama, mengenal birokrat keagamaan di tingkat daerah, berkolaborasi dengan organisasi masyarakat Islam, dan menjalin relasi dengan jaringan pesantren, madrasah, serta yayasan pendidikan berbasis keislaman.

Dalam pengembangan profesional di sektor pendidikan Islam, jaringan ini adalah aset besar. Ia menciptakan sense of belonging, membangun identitas, dan memperluas peluang kerja dalam ranah keislaman. Namun, di sisi lain, kekuatan jaringan ini juga membawa konsekuensi yang tidak kecil. Ia berpotensi menjadi semacam tempurung kultural yang menutup akses terhadap peluang di luar ekosistem tersebut. Dengan kata lain, koneksi yang terlalu kuat di lingkungan sendiri justru membuat banyak lulusan MPI tidak terbiasa berpikir lintas sektor dan lintas paradigma.

Akibatnya, ketika mereka mencoba menembus dunia profesional yang lebih luas, mereka sering menemui tembok pembatas yang sulit ditembus. Misalnya, saat ingin berkarier di dunia korporat sebagai staf pelatihan dan pengembangan (Training and Development) atau di bidang Human Resource Development (HRD), mereka sering dianggap tidak memiliki orientasi bisnis dan pengalaman korporasi yang memadai. Ketika melamar ke lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) yang bergerak di bidang pendidikan umum, nama program studi "Manajemen Pendidikan Islam" saja sudah cukup menimbulkan keraguan di meja rekrutmen.

Ikatan Guru Indonesia (IGI) menggelar Capacity Building Mitra Pendidikan Indonesia (MPI) bertema
Ikatan Guru Indonesia (IGI) menggelar Capacity Building Mitra Pendidikan Indonesia (MPI) bertema "Integrasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi dalam Pembelajaran untuk Mendukung Penguatan Literasi dan Numerasi" pada Jumat (26/9) di The Sultan Hotel & Residence, Jakarta. (igi.or.id)

Pihak pemberi kerja cenderung menilai kompetensi mereka terlalu sektoral dan tidak fleksibel. Bahkan ketika mencoba bersaing dalam seleksi di instansi publik di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), posisi mereka kembali lemah karena formasi-formasi tersebut lebih memprioritaskan lulusan Administrasi Pendidikan umum. Alhasil, kemampuan manajerial yang mereka miliki, yang sebenarnya dapat diaplikasikan secara universal, sering kali tertutup oleh batas-batas formal nomenklatur dan stereotip akademik. Kondisi ini membuat lulusan MPI seperti kehilangan ruang untuk mengekspresikan potensi lintas sektoralnya, terperangkap dalam kotak sempit yang mereka bangun sendiri tanpa disadari.

Pada akhirnya, lulusan MPI berada dalam posisi yang pelik dan penuh kontradiksi. Mereka adalah spesialis yang pasar kerjanya justru sempit. Di dalam ruang yang terbatas itu pun, persaingan tidak hanya keras, tetapi juga diwarnai oleh kultur patronase, sistem rekrutmen yang tertutup, dan realitas gaji yang sering kali tidak sepadan dengan beban kerja. Banyak yang akhirnya bekerja di bawah yayasan pendidikan dengan status tidak tetap, gaji di bawah standar, serta peran yang tumpang tindih, kadang menjadi guru, kadang menjadi staf administrasi, dan sesekali diminta membantu manajemen keuangan atau kegiatan sosial lembaga.

Dalam situasi seperti ini, idealisme untuk menjadi "manajer profesional lembaga pendidikan Islam" mudah sekali luntur dihadapkan pada tekanan ekonomi dan realitas birokrasi pendidikan yang masih jauh dari profesional. Tanpa adanya pembaruan kurikulum yang lebih adaptif di tingkat universitas, yang menyeimbangkan antara teori, keterampilan digital, dan pengalaman industri, serta reformasi tata kelola yang lebih modern di tingkat yayasan pendidikan, cita-cita untuk mencetak manajer andal di lembaga pendidikan Islam akan tetap menjadi slogan yang menggantung. Janji itu mungkin terus, tetapi di lapangan, ia masih terjebak sebagai paradoks yang belum menemukan jawabannya.

Media files:
01k8sk3kxeahr0spn7wp8be3gb.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar