Search This Blog

MBG sebagai Instrumen Kebijakan Industri Peternakan

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
MBG sebagai Instrumen Kebijakan Industri Peternakan
Nov 3rd 2025, 12:00 by Panji Sofyan

Sumber: https://www.unicef.org/indonesia
Sumber: https://www.unicef.org/indonesia

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah ditetapkan sebagai agenda prioritas nasional. Tujuannya sangat bagus yaitu menjadi garda terdepan dalam perang melawan stunting, menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 angka stunting masih berada di 19,8%. Logika dasarnya adalah intervensi langsung protein hewani, seperti susu, telur, dan daging, kepada puluhan juta anak sekolah.

Namun, di balik niat mulia itu, terbentang sebuah pertaruhan fundamental bagi sektor industri peternakan. Bagi kami di dunia peternakan, MBG adalah pedang bermata dua. Program ini akan menciptakan permintaan (demand) protein hewani terbesar dalam sejarah Indonesia. Pertanyaan kritisnya sederhana namun menentukan: protein itu akan berasal dari mana?

Jika MBG hanya dipandang sebagai program sosial karitatif, maka akan berpotensi menjadi bumerang. Jika logikanya sebatas pengadaan barang dan jasa yang mencari harga termurah, program ini justru bisa menghancurkan fondasi ketahanan pangan kita.

Inilah mengapa MBG tidak boleh sekadar menjadi program sosial, tetapi harus didesain sebagai instrumen kebijakan yang paling tajam untuk mereformasi industri peternakan nasional.

Jebakan Efisiensi dan Fakta Impor

Mari kita jujur melihat wajah peternakan kita. Faktanya, data Sensus Pertanian 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengkonfirmasi bahwa struktur usaha peternakan kita didominasi oleh usaha perorangan skala kecil, mencapai lebih dari 98% untuk sapi potong. Mereka adalah pahlawan ketahanan pangan yang setiap hari berjuang melawan volatilitas harga pakan dan fluktuasi Nilai Tukar Petani (NTP) subsektor peternakan yang seringkali tertekan di bawah angka impas 100.

Di sisi lain, kebutuhan protein nasional kita masih ditopang oleh impor. Untuk susu, data Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) menunjukkan produksi lokal hanya mampu memenuhi sekitar 22% kebutuhan nasional. Sisanya, Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 melaporkan sekitar 78% susu adalah impor, mayoritas dalam bentuk susu bubuk. Untuk daging sapi, data BPS menunjukkan impor kita bisa mencapai ratusan ribu ton per tahun untuk menambal defisit.

Sekarang, bayangkan program MBG dieksekusi dengan logika "efisiensi". Untuk memenuhi kebutuhan jutaan porsi setiap hari, tender pengadaan tentu akan mencari pemasok besar yang bisa memberi harga terendah. Siapa pemenangnya? Bisa dipastikan adalah importir besar dan industri integrasi vertikal raksasa.

Jika ini terjadi, peternak rakyat hanya akan menjadi penonton. Program gizi yang didanai triliunan rupiah ironisnya akan mematikan produsen pangan lokal. Kita mungkin berhasil mencapai target SDG 2.2 (mengakhiri malnutrisi), namun pada saat yang sama kita membunuh SDG 2.3 (meningkatkan pendapatan produsen skala kecil).

Mendesain Ulang MBG: Dari Hulu ke Hilir

Ilustrasi paket makanan MBG. Foto: Shutterstock
Ilustrasi paket makanan MBG. Foto: Shutterstock

Agar tidak menjadi bencana, MBG harus bertransformasi dari program hilir menjadi katalisator di hulu. Ada tiga langkah strategis yang mutlak diperlukan.

Pertama, reformasi skema pengadaan (procurement). Pemerintah harus berani menerapkan kebijakan afirmatif. Alokasikan kuota wajib serap dari peternak lokal. Jangan adu peternak rakyat yang rapuh dalam tender yang sama dengan importir bermodal triliunan. Pengadaan harus berbasis zonasi untuk menyerap produksi terdekat, memotong biaya logistik, dan menjamin kesegaran produk.

Kedua, menjadikan koperasi sebagai agregator utama. Kelemahan peternak rakyat adalah skala usaha yang kecil dan tercerai-berai. MBG harus "memaksa" mereka berkonsolidasi. Pemerintah tidak boleh membeli dari individu, melainkan membeli dari koperasi peternak yang telah direvitalisasi. Dengan adanya jaminan pasar (off-taker) pasti dari MBG, koperasi akan memiliki daya tawar untuk mengakses pakan murah dan modal perbankan.

Ketiga, investasi infrastruktur, bukan hanya pangan. Sebagian anggaran MBG harus dialokasikan untuk membangun infrastruktur pendukung di sentra produksi. Kita tidak hanya butuh susu, kita butuh mini cold storage di tingkat koperasi. Kita tidak hanya butuh daging, kita butuh Rumah Potong Hewan (RPH) modern yang higienis dan bersertifikat.

Kedaulatan, Bukan Sekadar Kenyang

Program Makan Bergizi Gratis adalah sebuah momentum emas. Kesuksesan program ini seharusnya tidak diukur hanya dari angka stunting yang turun atau perut siswa yang kenyang.

Kesuksesan sejati MBG adalah ketika program ini juga mampu membuat peternak sapi perah tersenyum karena susunya terserap pasti, peternak ayam petelur berdaulat atas harga telurnya, dan peternak sapi potong tidak lagi dipermainkan rantai pasok. MBG harus menjadi instrumen kebijakan untuk membangun kedaulatan pangan, bukan sekadar menciptakan ketergantungan baru pada impor.

Media files:
01k5xmhaa9njj0h872f8ckjmtn.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar