Ilustrasi pekerja yang berkaitan di sektor ekonomi digital. Foto: Getty Images
Fenomena gig economy atau pekerjaan tanpa ikatan kerja dan biasanya berdasarkan pesanan atau proyek, seperti ojek online, kurir paket, hingga freelancer, menjadi salah satu alternatif sumber penghasilan masyarakat saat ini.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad mengatakan saat ini gig economy memang berpengaruh besar dan bisa jadi alternatif penghasilan bagi sebagian orang. Gig economy juga dinilai bisa mendorong daya beli masyarakat.
"Gig economy nyatanya memang ada pengaruhnya besar ya. Karena kan bagian dari informal sektor ya, misalnya freelancer digital, kemudian transportasi online. Katakanlah pekerjaan yang sifatnya jangka pendek, tapi bisa menghasilkan keuangan begitu. Memang perannya penting," ujar Tauhid kepada kumparan, Minggu (2/11).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 mencapai 5,12 persen (year-on-year), ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,97 persen dan investasi yang tumbuh kuat 6,99 persen.
Namun demikian, Tauhid melihat ada beberapa kerentanan gig economy. "Pertama rentan terhadap pendapatan yang stabil, jaminan sosial yang rendah maupun sangat berisiko terhadap banyak hal (seperti) daya beli, inflasi yang tinggi. Saya kira relevan hasil survei (KedaiKOPI)," tutur Tauhid.
Berdasarkan survei KedaiKOPI, gig economy menjadi sumber baru penghasilan masyarakat. Namun, fenomena ini juga rentan. Sebanyak 80,4 persen dari 932 responden menilai gig economy memiliki pendapatan yang tidak stabil. Lalu kesulitan untuk menabung sebanyak 76,9 persen, penurunan daya beli masyarakat sebanyak 74 persen, tidak adanya jaminan pensiun 71 persen, kemampuan berbelanja langsung ke mal menjadi terbatas 66,2 persen serta tidak mendapatkan perlindungan asuransi atau BPJS 59,9 persen.
Di sisi lain, responden juga menilai dunia kerja formal saat ini menghadapi banyak masalah. Keterbatasan lapangan kerja formal dirasakan oleh 75,9 persen responden, sementara 80,2 persen mengeluhkan adanya batasan usia dalam mencari kerja. Selain itu, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal masih menjadi isu besar (64,2 persen), kenaikan upah dinilai tidak sebanding dengan kebutuhan hidup (58 persen), serta adanya keterbatasan akses pekerja untuk mengembangkan keahlian (49,6 persen).
Aktivitas ojek online di kawasan Stasiun Palmerah, Jakarta, Selasa (1/7). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Tauhid juga mengakui meski gig economy memiliki beberapa kerentanan, namun sektor formal belum bisa diandalkan sepenuhnya. "Tapi kan masalahnya gig economy tadi dia sebagai jembatan ketika sektor formal terbatas begitu. Dalam data Badan Pusat Statistik kan formal kita baru sekitar 40an persen ya, 56-57 persen sektor informal dan gig economy berada di situ," imbuhnya.
Gig Economu Bisa Diandalkan, Namun Harus Dibarengi Investasi
Tauhid melihat pekerjaan nonformal atau gig economy ini bisa diandalkan, namun dengan catatan harus dibarengi dengan pengetahuan untuk berinvestasi. Tujuannya agar bisa membuat pendapatan yang didapat dari gig economy bisa berkelanjutan. Sebab pekerjaan ini tidak bisa dipastikan akan terus menghasilkan.
"Sebenarnya bisa, ketika dia mendapatkan finansial dari misalnya kerja remote di luar, dia juga harus melengkapi literasi keuangan, dia harus berani ke investasi, harus belajar, misalnya saya sekian persen misalnya beli emas, sekian persen di SBN dan sebagainya," jelasnya.
Tauhid mengatakan, membeludaknya pendaftar CPNS ataupun Rekrutmen Bersama BUMN (RBB) menjadi salah satu bukti banyak orang yang masih mempercayai pekerjaan formal lebih menjanjikan ketimbang informal.
Berdasarkan laman Badan Kepegawaian Negara (BKN) pelamar seleksi CPNS tahun 2024 mencapai 3.963.832 orang, sementara formasi yang dibuka hanya 2.319.712 termasuk CPNS dan PPPK.
Kemudian RBB 2025 yang diminati 1,4 juta orang, padahal jumlah lowongan kerja hanya pada angka lebih dari 2.000 di 107 perusahaan BUMN dan anak usahanya.
"Masih (relevan dengan data pendaftar CPNS dan RBB), ya yang paling bagus di ekonomi suatu negara sektor formalnya harus jauh lebih banyak dibandingkan informal. Karena punya jenjang karir yang bagus, pendapatan yang relatif stabil, punya jaminan sosial dan minim terhadap gejolak kenaikan harga dan sebagainya," jelasnya.
Ekonom sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan hasil survei dari KedaiKOPI tersebut memberi peringatan keras adanya kerentanan ekonomi rumah tangga yang datang dari sumber penghasilan gig economy.
Ilustrassi freelance. Foto: Shutter Stock
Sebanyak 80,4 persen dari 932 responden menilai gig economy memiliki pendapatan yang tidak stabil, diikuti oleh kesulitan untuk menabung (76,9 persen), penurunan daya beli masyarakat (74 persen), tidak adanya jaminan pensiun (71 persen), serta tidak mendapatkan perlindungan asuransi atau BPJS (59,9 persen).
"Kombinasi ini menandai ekosistem kerja yang membuat keluarga sulit membangun bantalan finansial dan menata masa depan dengan tenang," katanya.
Dia juga mengakui ledakan gig economy mengubah peta pendapatan rumah tangga dan pola konsumsi nasional. Misalnya dengan ada 66,2 persen responden yang percaya gig economy membuat adanya keterbatasan belanja langsung ke mal, maka pada akhirnya akan berpengaruh pada penurunan daya beli.
Sementara pada saat yang sama di tingkat pasar kerja, ketidakpastian di gig economy bersinggungan dengan hambatan di sektor formal batasan usia dan kelangkaan lowongan
"Sehingga mobilitas karier melemah, produktivitas sulit naik, dan efek pengganda konsumsi mengecil. Dampaknya tidak hanya mikro pada rumah tangga, tetapi juga makro pada laju pertumbuhan yang bergantung pada konsumsi dan stabilitas pendapatan," jelasnya.
Dalam kondisi ini, Syafruddin melihat perlunya langkah korektif seperti benefit portable, tabungan dan pensiun mikro otomatis, serta pelatihan yang terhubung langsung ke lowongan. Tujuannya a agar fleksibilitas kerja tidak berubah menjadi lingkaran kerentanan yang menghimpit kesejahteraan keluarga.
Senada dengan Tauhid, Syafruddin juga melihat dengan adanya survei ini, maka bisa menjadi gambaran persepsi kuat di masyarakat tentang pekerjaan formal yang terasa lebih menjanjikan dibanding pekerjaan informal.
"Pekerjaan formal dianggap memberi jangkar stabilitas dan akses perlindungan yang lebih jelas, meski membutuhkan pembenahan serius di rekrutmen, pelatihan, dan struktur upah agar benar-benar mampu menjadi penopang kesejahteraan keluarga," imbuhnya.
Pekerja melintasi pedestrian saat jam pulang kerja di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (10/10/2025). Foto: Darryl Ramadhan/kumparan
Syafruddin melihat salah satu fenomena masih diminatinya pekerjaan umum adalah membeludaknya pendaftar job fair atau pameran lowongan kerja di Bekasi, Jawa Barat pada Mei 2025 lalu yang diserbu pelamar hingga ada peserta yang kelelahan pingsan.
"Lonjakan pelamar di Bekasi hingga ada yang jatuh sakit mencerminkan tekanan nyata di pasar kerja dan memperkuat sinyal dari survei. Publik mengejar pekerjaan formal karena mencari jangkar stabilitas (seperti) kontrak, upah tetap, dan perlindungan di saat persepsi risiko gig economy sangat tinggi," terangnya.
Meski begitu, Syafruddin menegaskan angka pendaftar job fair perlu dikaji konteksnya baik dari lokasi dan skala acara, kualitas perusahaan peserta, waktu pelaksanaan, insentif hadir, serta duplikasi pelamar lintas acara dapat membesar-besarkan minat.
Kemudian untuk membaca sinyal dengan lebih valid mengenai banyaknya peminat pekerjaan formal bisa dilihat dari data gabungan pendaftar job fair dengan indikator lain seperti trafik aplikasi lowongan formal di portal kerja, rasio pelamar–formasi di CPNS/BUMN, tingkat retensi pekerja formal, pertumbuhan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, dan konversi pelatihan–penempatan kerja.
"Bila seluruh indikator bergerak searah, kesimpulan bahwa publik memandang jalur formal lebih aman akan berdiri lebih kuat dan sejalan dengan hierarki kekhawatiran yang terekam dalam survei," tutupnya.
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan jumlah tenaga kerja peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan terpantau fluktuatif.
Dimulai dari Januari 2025 sebanyak 42,6 juta tenaga kerja, lalu menurun pada Februari, Maret, April, Mei menjadi masing-masing 41,38 juta, 40,19 juta, 39,7 juta, 39.05 juta tenaga kerja. Baru kemudian meningkat pada Juni dan Juli 2025 masing-masing 39,35 juta dan 39,95 juta tenaga kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar