Ilustrasi foto di museum manusia purba sangiran memperlihatkan kehidupan manusia purba. Doc Pribadi
Kita semua pernah merasakan ketidaknyamanan ketika mendengar gagasan bahwa manusia berbagi nenek moyang dengan kera. Ada semacam resistensi batiniah yang timbul karena pandangan ini dianggap merendahkan martabat manusia. Padahal, fakta ilmiah menunjukkan bahwa manusia dan simpanse memiliki kesamaan genom hingga 98%. Dalam bahasa biologi molekuler, itu bukan sekadar kebetulan melainkan bukti kuat bahwa kehidupan di bumi memiliki asal-usul yang sama.
Pemikiran kreasionisme yang meyakini bahwa manusia diciptakan secara terpisah dari spesies lain, memang lebih mudah diterima oleh banyak orang karena memberi kenyamanan psikologis. Ia membuat kita merasa istimewa dan "berbeda" dari makhluk lainnya. Namun, sains justru bekerja di wilayah yang tidak selalu membuat kita nyaman. Ilmu pengetahuan berkembang karena keberanian untuk mempertanyakan, bukan karena keinginan untuk menenangkan diri. Seperti kata Carl Sagan (salah satu tokoh yang paling berpengaruh di bidang sains abad 20), "Sains tidak hanya sebuah kumpulan pengetahuan, melainkan cara berpikir."
Sebagai mahasiswa doktoral di bidang biologi, ketertarikan saya pada ilmu evolusi bukanlah pada perdebatan ideologis antara kreasionisme dan darwinisme, tetapi pada keindahan logika biologis di balik proses seleksi alam. Evolusi bukan tentang manusia berasal dari kera, melainkan tentang bagaimana seluruh makhluk hidup—termasuk manusia—berbagi sejarah genetik yang panjang dan kompleks.
Bahasa Molekuler dari Kehidupan
Kita dapat memandang evolusi sebagai cerita besar yang ditulis dalam bahasa DNA. Setiap makhluk hidup membawa "naskah kehidupan" yang disusun dari empat huruf genetik: A, T, G, dan C. Kombinasi keempat basa ini membentuk miliaran kode dalam genom setiap organisme. Ketika DNA direplikasi—melalui enzim helikase dan polimerase—terkadang terjadi kesalahan kecil, yaitu mutasi. Dalam jangka waktu yang sangat panjang, akumulasi mutasi inilah yang menggerakkan roda evolusi.
Ambil contoh beruang kutub. Dalam masa zaman es jutaan tahun lalu, sebagian beruang coklat mengalami mutasi gen yang mengubah pigmen warna bulunya menjadi lebih pucat (putih). Mutasi ini, secara kebetulan, memberikan keuntungan adaptif: mereka lebih mudah bersembunyi di hamparan salju saat berburu. Beruang putih ini bertahan dan bereproduksi lebih banyak, mewariskan gen yang sama kepada keturunannya. Itulah seleksi alam dalam kerja nyata: survival of the fittest. Dalam ribuan tahun, dua populasi beruang itu akhirnya terpisah dan berevolusi menjadi dua spesies berbeda. Populasi tidak "berubah seketika," tetapi secara perlahan beradaptasi terhadap lingkungannya. Maka, evolusi tidak berbicara tentang seekor hewan yang tiba-tiba berubah bentuk, melainkan tentang populasi yang berubah secara bertahap karena tekanan lingkungan dan mutasi genetik.
Antara Fakta dan Mitos
Sebagian orang masih menganggap evolusi hanyalah "teori"—seolah teori dalam sains berarti pendapat spekulatif. Padahal, dalam terminologi ilmiah, teori adalah kesimpulan yang telah teruji berulang-ulang (law like regularity) oleh data dan observasi. Seperti halnya teori gravitasi, teori evolusi adalah kerangka penjelas yang telah dibuktikan lewat fosil, anatomi perbandingan, biogeografi, dan kini diperkuat oleh data genomik. Kita mungkin tidak dapat "melihat" evolusi dalam rentang satu generasi manusia, tetapi kita dapat menyaksikan buktinya dalam perubahan resistensi bakteri terhadap antibiotik, dalam variasi genetik spesies di pulau-pulau terpencil, hingga dalam temuan fosil transisional seperti Archaeopteryx yang menjembatani reptil dan burung. Sayangnya, miskonsepsi tentang evolusi masih sering muncul, terutama di ruang publik dan pendidikan. Buku pelajaran sering kali menyebut "teori evolusi" tanpa menjelaskan konteks ilmiahnya, seolah evolusi adalah gagasan yang belum pasti. Akibatnya, banyak siswa memandangnya dengan curiga, bukan sebagai bagian dari pengetahuan ilmiah yang kokoh.
Sejarah Penelitian Manusia Purba di Indonesia. Doc Pribadi
Evolusi yang Terus Berjalan
Faktanya, evolusi tidak berhenti. Ia terus berlangsung dalam diri setiap organisme hidup di bumi, termasuk manusia. Virus yang bermutasi, tanaman yang beradaptasi terhadap perubahan iklim, atau manusia modern yang memiliki variasi genetik—semuanya adalah manifestasi nyata dari proses evolusi yang sedang berlangsung. Ilmu evolusi bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa depan. Mungkin sudah saatnya kita tidak lagi menyebut "teori evolusi" seolah ia masih dalam tahap spekulatif. Evolusi adalah fakta ilmiah yang telah terbukti lintas disiplin dan waktu. Yang terus berkembang adalah teori-teori pendukungnya—tentang bagaimana mekanisme spesiasi terjadi, bagaimana kesamaan leluhur terbentuk, atau bagaimana variasi genetik berperan dalam adaptasi.
Museum Manusia Purba Sangiran yang dikenal sebagai 'The Homeland of Java Man' Doc Pribadi
Nenek Moyang dari Sangiran
Ilmu evolusi mengajarkan kita satu hal penting: bahwa kehidupan adalah hasil dari proses panjang, acak, namun penuh keteraturan alami. Ia menuntut kerendahan hati untuk menerima bahwa manusia bukan pusat dari semesta, melainkan bagian dari jaringan kehidupan yang luas dan saling bergantung. Di tengah dunia yang sering kali terbelah oleh ideologi, memahami sains seperti evolusi menjadi latihan berpikir kritis dan keberanian intelektual. Sains tidak meminta kita untuk percaya tanpa bukti, tetapi untuk terus mencari bukti bahkan ketika keyakinan pribadi merasa terusik.
Sebagaimana diungkapkan Richard Dawkins, "Evolusi bukan hanya menjelaskan asal-usul kehidupan, tetapi juga memberi kita pemahaman mendalam tentang tempat kita di alam semesta." Dan pada akhirnya, bukankah justru di situlah letak keindahan sains—ia mengajarkan kita untuk tidak malu mengakui ketidaktahuan, melainkan bangga dalam usaha tanpa henti mencari tahu? Bukti mengenai keberadaan missing link ini justru sangat dekat dengan kita, di tanah Jawa.
Museum Manusia Purba Sangiran yang dikenal sebagai 'The Homeland of Java Man' menjadi salah satu situs arkeologi paling penting di dunia. Di sinilah, pada awal abad ke-20, Eugene Dubois menemukan fosil Pithecanthropus erectus (yang kini diklasifikasikan sebagai Homo erectus), spesies peralihan antara kera dan manusia modern.
Temuan tersebut menjadi tonggak penting dalam memahami perjalanan evolusi manusia di Asia, sekaligus bukti nyata bahwa perubahan bentuk tubuh, volume otak, dan kemampuan berpikir manusia terjadi melalui proses yang sangat panjang dan bertahap. Koleksi fosil di Sangiran yang mencakup lebih dari 13.000 temuan purba memperlihatkan mozaik evolusi yang luar biasa—menunjukkan bahwa manusia tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui proses seleksi dan adaptasi jutaan tahun.
Museum Sangiran bukan sekadar situs purbakala, melainkan saksi bisu bahwa sains tak pernah berbohong—hanya sering diabaikan. Di balik tanah liat dan batu kapur itu tersimpan bukti bahwa manusia lahir dari proses panjang yang tidak bisa disangkal oleh waktu maupun keyakinan. Dalam filsafat ilmu, kebenaran bukanlah dogma, melainkan keberanian untuk terus mencari.
Sangiran mengingatkan kita bahwa sains dan iman tidak bertentangan; keduanya bertemu di ruang kesadaran bahwa kehidupan ini terlalu menakjubkan untuk disederhanakan oleh keangkuhan berpikir pendek. Dari Sangiran, kita tidak sekadar menemukan fosil, tetapi menemukan diri kita sendiri. Setiap serpihan tulang yang tersisa di tanah Jawa adalah potongan dari kisah besar tentang keberanian alam semesta menciptakan kehidupan yang terus berevolusi.
Di hadapan bukti ilmiah itu, manusia seharusnya lebih rendah hati: kita bukan makhluk yang muncul tiba-tiba, melainkan hasil perjalanan panjang seleksi, adaptasi, dan kebetulan yang ajaib. Sangiran mengajarkan bahwa memahami asal-usul bukan untuk merendahkan kemanusiaan, tetapi untuk memuliakannya—sebab hanya dengan mengenali dari mana kita datang, kita bisa menentukan ke mana kita akan melangkah.
Ahmad Sadam Husein, mahasiswa Program Doktor Biologi, Universitas Gadjah Mada. Doc Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar