Search This Blog

Dari Sore menuju Oscar: Mimpi yang Perlu Ekosistem

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Dari Sore menuju Oscar: Mimpi yang Perlu Ekosistem
Nov 14th 2025, 09:00 by Nurrohman Efendi

Ilustrasi Produksi sinetron dan film. Foto: Evgeny Atamanenko/Shutterstock
Ilustrasi Produksi sinetron dan film. Foto: Evgeny Atamanenko/Shutterstock

Kabar baik datang dari dunia sinema nasional. Tiga film Indonesia resmi melaju dalam tahap awal seleksi Oscar ke-98 yang akan digelar pada 15 Maret 2026 di Los Angeles, Amerika Serikat. Selain film panjang Sore: Istri dari Masa Depan karya Yandy Laurens untuk kategori "Best International Feature Film", dua film pendek Daly City karya Nick Hartanto dan Little Rebels Cinema Club karya Khozy Rizal yang melaju ke tahap screening room untuk kategori "Best Live Action Short Film" memperkuat representasi Indonesia di ajang bergengsi tersebut.

Langkah ini bukan sekadar simbol prestasi, melainkan cermin dari keberanian sineas muda Indonesia untuk bersuara di panggung global. Mereka membawa cerita, bahasa visual, dan kehangatan lokal yang diolah menjadi narasi universal. Namun di balik sorotan itu, ada refleksi penting: Bagaimana memastikan pencapaian ini tidak berhenti sebagai momentum, tetapi menjadi fondasi dari sistem perfilman yang berkelanjutan?

Sore dan Cahaya dari Timur

Film Sore: Istri dari Masa Depan menandai keberanian baru dalam peta sinema Indonesia. Yandy Laurens tidak bermain aman dengan drama realis seperti yang sering dipilih sineas festival, tetapi menawarkan fiksi ilmiah romantis bertema perjalanan waktu, genre yang masih jarang disentuh di industri lokal.

Film ini tidak hanya tampil dengan visual elegan, tetapi juga memiliki kekuatan emosional yang dekat dengan penonton muda. Dengan latar lintas negara, produksi profesional, dan sambutan publik yang luas (lebih dari tiga juta penonton di bioskop), Sore memperlihatkan bahwa film Indonesia kini mampu berpikir secara global tanpa kehilangan akar budaya.

Aktor Dion Wiyoko bersama artis Sheila Dara saat konferensi pers launching poster dan trailer film Sore di Epicentrum, Jakarta, Kamis, (22/05/2025). Foto: Agus Apriyanto
Aktor Dion Wiyoko bersama artis Sheila Dara saat konferensi pers launching poster dan trailer film Sore di Epicentrum, Jakarta, Kamis, (22/05/2025). Foto: Agus Apriyanto

Pemerintah menyebut pencapaian Sore dan dua film pendek lain sebagai bukti bahwa narasi anak bangsa mulai mendapat tempat dalam percakapan global. Film, dalam konteks ini, bukan sekadar hiburan, melainkan juga wujud diplomasi budaya. Pernyataan tersebut penting, sebab menandai perubahan cara pandang, film tidak lagi dipandang sebatas industri kreatif, tetapi juga instrumen kebudayaan yang membentuk citra bangsa di mata dunia.

Dari Apresiasi menuju Afirmasi

Dalam dua dekade terakhir, pemerintah sebenarnya telah membuka ruang bagi pertumbuhan industri film, kemudahan izin, dukungan festival, dan promosi lewat lembaga kebudayaan luar negeri. Namun untuk bersaing di ranah global seperti Oscar, dibutuhkan pendekatan yang lebih terarah dan berkelanjutan.

Dukungan negara perlu diperkuat dalam bentuk program pendampingan dan promosi internasional yang terstruktur. Banyak negara lain memiliki dana khusus untuk kampanye film nasional di ajang penghargaan dunia, mencakup promosi media, konsultan festival, hingga strategi distribusi global.

Indonesia memiliki potensi besar untuk mengikuti langkah itu, dengan dukungan kebijakan lintas sektor yang bersinergi, antara kebudayaan, ekonomi dan kreatif, pariwisata, promosi, perdagangan, dan diplomasi. Dengan demikian, film tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari strategi kultural bangsa.

Konferensi pers peluncuran trailer dan poster film Sore Istri dari Masa Depan di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Konferensi pers peluncuran trailer dan poster film Sore Istri dari Masa Depan di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan

Kegagalan di masa lampau merupakan pelajaran penting untuk terus maju dan berbenah. Keberhasilan Sore dan dua film pendek tadi hingga tahap saat ini, membuktikan bahwa talenta dan gagasan sudah ada. Yang dibutuhkan sekarang adalah sistem yang menopang dan memperluas daya jangkau karya-karya tersebut.

Dari Kreativitas menuju Profesionalisme

Ekosistem perfilman nasional telah berkembang pesat. Sineas muda, rumah produksi independen, dan digital platform membuka ruang baru bagi cerita Indonesia. Namun, agar film nasional benar-benar kompetitif di pasar global, industri harus berani melangkah ke fase berikutnya, profesionalisasi dan perencanaan jangka panjang.

Produksi film global tidak hanya diukur dari kualitas artistik, tetapi juga kesiapan manajerial, mulai dari penulisan naskah yang matang, perencanaan kampanye festival, hingga strategi pemasaran lintas negara.

Sore bisa menjadi pelajaran berharga. Kolaborasi lintas rumah produksi, pengambilan gambar di luar negeri, dan jaringan distribusi internasional memperlihatkan arah baru sinema Indonesia, terbuka, kolaboratif, dan terhubung dengan dunia. Langkah seperti ini perlu menjadi kebiasaan industri, bukan pengecualian.

Ilustrasi menonton bioskop Foto: Shutterstock
Ilustrasi menonton bioskop Foto: Shutterstock

Selain itu, penting juga membangun lembaga riset dan arsip sinema nasional agar pembuat film baru tidak memulai dari nol, tetapi memiliki referensi dan sejarah yang bisa mereka teruskan.

Dari Euforia menuju Apresiasi

Tidak ada industri film besar tanpa penonton yang aktif dan kritis. Dukungan publik terhadap Sore menunjukkan bahwa penonton Indonesia sudah lebih terbuka terhadap karya lokal yang berkualitas. Namun, apresiasi tidak boleh berhenti di angka penonton.

Kita perlu budaya menonton yang lebih sehat, memilih tontonan legal, memberi ruang bagi diskusi publik, dan mendorong literasi film di sekolah serta komunitas. Dengan begitu, publik tidak hanya menikmati, tetapi juga memahami film sebagai cermin nilai dan pengalaman sosial.

Ketika publik cerdas dalam menilai karya, produser akan berani bereksperimen dan sineas akan terdorong melampaui batas konvensi.

Ilustrasi piala oscar. Foto: StockProduction/Shutterstock
Ilustrasi piala oscar. Foto: StockProduction/Shutterstock

Tiga film perwakilan Indonesia di ajang Oscar ke-98 bukan sekadar prestasi, melainkan sinyal bahwa daya imajinasi bangsa mulai mendapat pengakuan dunia. Namun, harapan tanpa sistem hanyalah kebetulan yang berulang.

Kita membutuhkan kebijakan yang berpihak pada film, industri yang disiplin dan profesional, serta masyarakat yang konsisten memberi dukungan. Film adalah wajah bangsa; ia mencerminkan cara kita memahami diri, menarasikan masa depan, dan berbicara kepada dunia.

Oscar bukan tujuan akhir. Ia hanyalah panggung di mana kita menakar sejauh mana kualitas imajinasi bangsa dihargai dunia. Ke depan, tantangan kita tidak hanya mengirim film ke Oscar, tetapi juga membangun ekosistem sinema Indonesia yang berdaya tahan, berkelanjutan, dan berpengaruh secara global.

Dari Sore, Daly City, dan Little Rebels Cinema Club, kita belajar satu hal, bahwa mimpi Indonesia untuk bersinar di dunia bukan mustahil, asal kita berani membangun ekosistem yang membuatnya mungkin.

Media files:
01jvxfqqxmmrzt53rk3yez4pef.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar