Search This Blog

Cikande: Ketika Cesium menjadi Jembatan antara Kelalaian dan Derita Masyarakat

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Cikande: Ketika Cesium menjadi Jembatan antara Kelalaian dan Derita Masyarakat
Nov 7th 2025, 14:00 by Purbayakti Kusuma Wijayanto

Cikande yang muram pasca tragedi Cesium-137. Slag logam berserakan, simbol dari limbah industri yang tak terawasi. Pohon layu lesu, seolah ikut merasakan paparan yang tak kasat mata. (Dokumen Pribadi)
Cikande yang muram pasca tragedi Cesium-137. Slag logam berserakan, simbol dari limbah industri yang tak terawasi. Pohon layu lesu, seolah ikut merasakan paparan yang tak kasat mata. (Dokumen Pribadi)

Cesium-137 akan menjadi sejarah tak terlupakan bagi masyarakat Cikande. Tanggal 2 Oktober 2025, di bawah langit mendung, petugas berseragam hazmat menandai rumah-rumah dengan simbol bahaya radiasi. Aroma logam dan ketakutan menyatu dalam udara. Bukan perang, bukan bencana alam, melainkan paparan radioaktif Cesium-137 yang mencapai 875 ribu kali batas aman.

Sejak itu, 91 warga direlokasi, 22 pabrik terkontaminasi, dan puluhan anak kehilangan ruang bermainnya. Namun lebih dari itu, tragedi ini membuka luka lama, tentang pengawasan publik yang lemah, diplomasi industri yang tak beretika, dan bagaimana tubuh manusia menjadi korban dari sistem yang tak transparan.

Jejak Awal Kelalaian Sistemik

Kasus ini tidak muncul tiba-tiba. Pada Agustus 2025, FGD Amerika Serikat menemukan bahwa udang beku dari Indonesia mengandung Cesium-137. Investigasi mengarah pada PT Peter Metal Technology (PMT) yang menggunakan slag logam bekas sebagai bahan baku.

Slag itu, limbah peleburan logam dari luar negeri, masuk tanpa pengawasan ketat. Greenpeace menyebutnya sebagai "kecerobohan sistemik dalam pengawasan impor logam". Di sinilah Cesium dan Cikande bertemu; bukan dengan cinta, melainkan dalam kelalaian.

Suara Tubuh dan Jejak Trauma

Stiker peringatan bertuliskan "Radiasi Bahaya" dengan tulisan tangan "11,5 mikrosievert per jam" terlihat di tiang listrik di sebelah Kawasan Industri Modern Cikande, di Sukatani, Provinsi Banten, Senin (13/10/2025). Foto: Yasuyoshi Chiba/AFP
Stiker peringatan bertuliskan "Radiasi Bahaya" dengan tulisan tangan "11,5 mikrosievert per jam" terlihat di tiang listrik di sebelah Kawasan Industri Modern Cikande, di Sukatani, Provinsi Banten, Senin (13/10/2025). Foto: Yasuyoshi Chiba/AFP

Di tengah zona merah, seorang ibu berkata, "Anak saya demam terus. Saya tidak tahu apakah ini karena radiasi atau karena takut." Perkataan ini bukan sekadar keluhan, melainkan potret psikologis dari trauma ekologis.

Seorang relawan dekontaminasi menulis di jurnalnya, "Tanah ini tak berbau, tapi tubuh kami tahu ada yang salah." Di sinilah metafora menjadi nyata. Cesium-137 bukan hanya zat, melainkan simbol dari sistem yang tak peduli pada kehidupan.

Seperti tubuh yang menyimpan luka tanpa bekas, Cikande kini menyimpan jejak ketakutan yang tak terlihat. Dan seperti diplomasi yang tak pernah diumumkan, warga bertahan dengan cara yang sunyi. Mengungsi tanpa kepastian, menata ulang ruang hidup, dan menggantung doa di pintu rumah yang tak lagi mereka tempati.

Ketika Negara Datang Terlambat

Konflik utama bukan antara warga dan zat radioaktif, melainkan antara publik dan institusi. Menteri Lingkungan Hidup mengakui ada "keteledoran perusahaan". Namun, siapa yang mengawasi perusahaan itu? Di mana posisi Bapeten, BRIN, dan KLH sebelum kasus ini meledak? Ini menyiratkan kekecewaan publik terhadap negara yang seharusnya hadir lebih awal.

Lemahnya sistem pengawasan terhadap limbah industri yang berujung pada trauma ekologis. (Dokumen Pribadi)
Lemahnya sistem pengawasan terhadap limbah industri yang berujung pada trauma ekologis. (Dokumen Pribadi)

Secara psikologis, warga mengalami "trauma ekologis", kondisi di mana lingkungan yang seharusnya aman menjadi sumber ketakutan. Teori dari Jay Lifton tentang survivor syndrome relevan di sini. Warga merasa selamat, tapi tidak utuh.

Di sisi lain, pemerintah bergerak cepat melalui penyidikan oleh Bareskrim, pemetaan zona merah, dan dekontaminasi. Namun, gerak cepat ini terasa seperti penyesalan yang datangnya terlambat; seperti cinta yang baru disadari setelah kehilangan.

Membaca Luka, Dua Lapisan Krisis

Lemahnya Sistem Pengawasan

Tragedi Cikande bukan sekadar soal zat radioaktif, melainkan juga sistem pengawasan yang rapuh. Regulasi, seperti UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan PP Nomor 29 Tahun 2008 tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir, belum mampu menjawab kompleksitas arus limbah industri global. Ketika slag logam masuk tanpa deteksi radiasi, itu menandai kegagalan kebijakan dalam melindungi ruang hidup warga.

Dari sisi manajemen publik, absennya sistem informasi terpadu antar lembaga pengawas menunjukkan lemahnya kapasitas birokrasi dalam mengelola risiko secara proaktif. Tidak ada dashboard nasional yang memantau pergerakan bahan berbahaya lintas sektor secara real-time. Padahal, prinsip good governance menuntut pengambilan keputusan berbasis data, transparansi proses, dan partisipasi publik. Tanpa sistem yang terintegrasi, pengawasan berubah menjadi tindakan reaktif yang hanya bergerak setelah krisis terjadi.

Anggota Tim Khusus Pelaksana mengukur tingkat paparan radiasi terhadap temuan yang tercemar Cesium-137 (Cs-137) saat dekontaminasi di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (2/10/2025). Foto: Angga Budhiyanto/ANTARA FOTO
Anggota Tim Khusus Pelaksana mengukur tingkat paparan radiasi terhadap temuan yang tercemar Cesium-137 (Cs-137) saat dekontaminasi di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (2/10/2025). Foto: Angga Budhiyanto/ANTARA FOTO

Akuntabilitas pun kabur. Ketika slag radioaktif masuk dan tersebar, siapa yang harus bertanggung jawab? Perusahaan, tentu. Namun, bagaimana dengan lembaga negara yang seharusnya mengawasi? Dalam etika administrasi publik, tanggung jawab bukan hanya soal menjatuhkan sanksi, melainkan juga keberanian institusi untuk mengakui kesalahan sistemik dan memperbaikinya secara terbuka.

Trauma Ekologis dan Moral Etika Publik

Trauma ekologis bukan hanya soal kesehatan, melainkan juga kepercayaan. Ketika warga tak percaya pada air, tanah, dan udara, negara kehilangan fondasi moral.

Etika publik menuntut negara hadir sebelum bencana, bukan setelahnya. Seharusnya negara hadir untuk mencegah, bukannya mengobati karena luka itu sudah terlanjur menganga. Dalam teori Administrasi Etis, negara harus menjadi guardian of life; penjaga kehidupan, bukan sekadar penyedia layanan.

Kasus Cisande menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya menjadi penjaga. Ia masih menjadi pengamat yang datang setelah luka menganga.

Solusi: Menjahit Ulang Kepercayaan Publik

Personel Gegana Brimob Polri melakukan dekontaminasi terhadap kendaraan yang terkontaminasi cemaran Cesium-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Selasa (7/10/2025). Foto: Angga Budhiyanto/ ANTARA FOTO
Personel Gegana Brimob Polri melakukan dekontaminasi terhadap kendaraan yang terkontaminasi cemaran Cesium-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Selasa (7/10/2025). Foto: Angga Budhiyanto/ ANTARA FOTO

Reformasi Sistem Pengawasan

Perlu adanya integrasi sistem pengawasan lintas lembaga. KLH, Bapeten, BRIN, dan Bea Cukai harus memiliki dashboard bersama untuk memantau limbah industri. Sistem ini harus real-time dan dilengkapi dengan notifikasi otomatis, audit digital, dan akses publik terbatas untuk menjamin transparansi.

Kedua, perlu audit berkala secara ketat terhadap perusahaan yang menggunakan bahan baku limbah. Audit ini harus dilakukan secara berkala, melibatkan masyarakat sipil, media, dan pakar independen. Hasil audit harus dipublikasikan secara terbuka agar publik bisa ikut mengawasi.

Ketiga, perlu ada sistem peringatan dini berbasis data lingkungan yang bisa mendeteksi anomali sebelum paparan terjadi. Dalam manajemen publik, hal ini disebut sebagai predictive governance, pemerintahan yang mampu mencegah, bukan hanya menanggulangi.

Keempat, perlu revisi regulasi impor slag logam dan bahan berisiko tinggi. Setiap bahan harus diuji radiasi sebelum masuk, bukan setelah digunakan. Proses ini harus menjadi bagian dari protokol bea cukai, bukan prosedur tambahan yang bisa dilewati. Setiap slag harus diuji radiasi sebelum masuk, bukan setelah digunakan.

Kelima, perlu ada daftar bahan berisiko yang diperbarui secara berkala dan disinkronkan dengan standar internasional.

Pemulihan Sosial dan Psikologis

Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq (kedua kiri) meninjau kendaraan yang terkontaminasi cemaran Cesium-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Selasa (7/10/2025). Foto: Angga Budhiyanto/ ANTARA FOTO
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq (kedua kiri) meninjau kendaraan yang terkontaminasi cemaran Cesium-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Selasa (7/10/2025). Foto: Angga Budhiyanto/ ANTARA FOTO

Pertama, perlu program pemulihan psikologis bagi warga terdampak. Konseling, ruang bermain anak, dan kampanye edukasi harus dilakukan secara intensif.

Kedua, perlu kompensasi dan jaminan kesehatan jangka panjang. Warga yang terpapar harus mendapat prioritas dalam BPJS dan layanan kesehatan.

Ketiga, perlu narasi publik yang membangun harapan. Media perlu mengangkat kisah warga, bukan hanya data. Karena dalam tragedi, suara manusia adalah cahaya.

Di antara Debu, ada Harapan yang tak boleh Padam

Tanggal 2 Oktober akan dikenang bukan sebagai hari bencana, melainkan sebagai hari kesadaran. Bahwa tubuh manusia tak boleh menjadi korban dari sistem yang lalai; bahwa pengawasan bukan sekadar prosedur, melainkan janji negara untuk menjaga kehidupan.

Kita belajar bahwa tragedi bisa menjadi titik balik jika direspons dengan keberanian dan kejujuran. Seperti lukisan Basoeki yang menyimpan jejak diplomasi, tanah Cikande kini menyimpan jejak advokasi.

Kita pun harus bertahan sebagai publik yang peduli. Kita harus menuntut sistem yang lebih transparan, lebih manusiawi, dan lebih berpihak pada keselamatan. Bila negara hadir untuk melindungi, perlindungan itu harus hadir sebelum bahaya datang, bukan setelahnya.

Media files:
01k94k6zvp9rs81yskjrbjt0v0.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar