Search This Blog

Toleransi Beragama di Bali: Kisah Damai Muslim dan Hindu di Saren Jawa

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Toleransi Beragama di Bali: Kisah Damai Muslim dan Hindu di Saren Jawa
May 29th 2025, 16:00 by Supardi

Umat Islam melaksanakan Shalat Idul Fitri 1 Syawal 1444 H di Lapangan Puputan Margarana, Denpasar, Bali, Jumat (21/4/2023). Foto: Nyoman Hendra Wibowo/ANTARA FOTO
Umat Islam melaksanakan Shalat Idul Fitri 1 Syawal 1444 H di Lapangan Puputan Margarana, Denpasar, Bali, Jumat (21/4/2023). Foto: Nyoman Hendra Wibowo/ANTARA FOTO

Toleransi beragama di Bali bukan sekadar slogan. Di sebuah desa kecil bernama Saren Jawa, Kabupaten Karangasem, dua pemeluk agama besar—Islam dan Hindu—hidup berdampingan dalam harmoni yang jarang disorot media. Di tengah stereotip Bali sebagai pulau Hindu, desa ini menghadirkan wajah lain: wajah damai yang dibangun lewat saling percaya, saling bantu, dan saling hadir, bahkan dalam ritual keagamaan.

Komunitas Muslim di Saren bukanlah pendatang baru. Mereka telah tinggal di wilayah ini sejak abad ke-14. Jejak sejarah mencatat peran tokoh Islam bernama Raden Jalil, yang dimakamkan di kompleks desa. Menariknya, makam beliau dikelilingi gapura bercorak Hindu—simbol nyata hubungan lintas iman yang telah berlangsung ratusan tahun.

Komunitas Muslim di Bali sering dianggap sebagai kelompok minoritas, namun kehadiran mereka di Karangasem justru menegaskan bahwa pluralisme bukan hal baru di pulau ini. Sejak masa kerajaan, umat Muslim telah menjadi bagian penting dari jaringan sosial dan budaya Bali Timur—berperan sebagai penghubung perdagangan, penyebar ajaran, hingga penjaga warisan Islam lokal. Keberadaan mereka menyatu dalam tatanan adat, bukan berada di luar pagar kebudayaan Bali.

Satu tradisi yang membuktikan kedekatan itu adalah pembacaan Burdah—puji-pujian kepada Nabi Muhammad—oleh warga Muslim saat seorang Pedanda atau tokoh spiritual Hindu meninggal dunia.

"Ketika ada prosesi pemakaman petinggi umat Hindu, kami datang berkunjung dan membacakan Burdah. Mereka pun memainkan seni cekepung,"
Syukur Yahya, tokoh muda Muslim Saren, dalam laporan riset.

Tradisi ini telah berlangsung sejak 1980-an dan diwariskan lintas generasi. Tradisi pembacaan Burdah sendiri bukan sekadar seremoni spiritual. Ia telah menjadi simbol keterhubungan emosional antarumat beragama. Ketika warga Muslim membacakan Burdah di rumah duka tokoh Hindu, mereka tidak hanya mengungkapkan belasungkawa. Lebih dari itu, mereka menunjukkan rasa kepemilikan dan solidaritas atas peristiwa sakral komunitas lain. Ini bukan sekadar "ikut hadir"—ini tentang menghayati kesedihan yang sama, tentang berbagi ruang spiritual meski lintas iman.

Masjid Al Hikmah di Denpasar yang bergaya arsitektur Bali. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Masjid Al Hikmah di Denpasar yang bergaya arsitektur Bali. Foto: Denita BR Matondang/kumparan

Dalam kehidupan sehari-hari, toleransi ini hadir dalam bentuk yang sangat nyata. Warga Muslim menggunakan bahasa Bali, ikut dalam struktur sosial banjar, dan turut membantu saat ada upacara adat Hindu. Sebaliknya, umat Hindu tak ragu hadir di masjid saat hari raya Islam dan ikut membantu dalam hajatan keagamaan. Hubungan seperti ini bukan sekadar basa-basi—ini adalah bukti dari relasi sosial yang matang dan berakar kuat.

Kita sering lupa bahwa kerukunan tidak dibentuk dari slogan atau imbauan moral. Ia lahir dari kehadiran dalam momen-momen paling manusiawi: kematian, pernikahan, kelahiran, dan kesedihan. Di sanalah batas-batas keyakinan melebur dalam kemanusiaan. Dan dari situlah benih toleransi yang sejati tumbuh. Saren Jawa adalah contoh hidup bahwa kerukunan bukan utopia, tapi bisa dibentuk dari kebiasaan saling hadir dan saling menguatkan.

Namun, keharmonisan ini pernah diuji. Tragedi Bom Bali 2002 menimbulkan kecemasan dan kecurigaan di banyak tempat. Tapi di Saren, warga tak memilih diam atau saling menjauh. Sebaliknya, mereka memperkuat komunikasi dan menjaga ruang interaksi tetap terbuka. Mereka sadar, ledakan itu bukan representasi iman siapa pun.

Penelitian sosial mencatat bahwa konflik antaragama di Indonesia lebih sering dipicu oleh gesekan sosial mikro, bukan perbedaan teologis. Karena itu, model kehidupan lintas iman seperti di Saren sangat penting untuk dilestarikan dan ditiru. Di tengah masyarakat yang makin mudah terpolarisasi, praktik moderasi semacam ini menjadi oase.

Hubungan antarumat di Saren bukan hanya soal bertoleransi. Ini adalah bentuk kolaborasi iman—hadir dalam suka dan duka, dalam doa dan budaya. Mereka tak kehilangan identitas masing-masing, justru menemukan jati diri bersama lewat perjumpaan.

Saren Jawa adalah cermin kecil dari Indonesia yang ideal. Di tengah gempuran narasi mayoritas-minoritas dan kontestasi keagamaan di ruang publik, desa ini menunjukkan bahwa kerukunan bukan mitos, tapi hasil dari keberanian untuk mendengar dan menghargai yang berbeda.

Bali memang identik dengan Hindu, dan itu tak salah. Tapi Bali juga punya wajah lain—wajah damai yang hidup di kampung-kampung seperti Saren. Toleransi beragama di Saren Jawa bukanlah mimpi. Ia nyata, berjalan puluhan tahun, dan diwariskan terus oleh mereka yang percaya bahwa damai lebih penting daripada menang sendiri.

Media files:
01gygsptr9pzxwn55vdmdpmhvx.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar