Malaysia memberikan pembebasan pajak penjualan mobil baru sampai 100 persen, untuk dorong industri otomotif. Foto: thestar.com.my
Penjualan mobil di Malaysia perlahan tapi pasti semakin mengejar Indonesia. Pada 2024, Malaysia Automotive Association (MAA) melaporkan penjualan sebanyak 816,747 unit atau naik 2,1 persen dibanding tahun sebelumnya.
Capaian itu menyalip Thailand, menjadikan Malaysia sebagai pasar kedua terbesar di regional Asia Tenggara. Pada tahun yang sama penjualan di Thailand 572.675 unit atau turun 26,18 persen.
Sedangkan Indonesia harus pasang kuda-kuda, sebab penjualannya beda tipis dengan Malaysia, yang pada tahun lalu mencetak angka 865.723 unit, terkoreksi 5,9 persen dari 2023.
Booth Suzuki di GIIAS Semarang 2024. Foto: Suzuki
Sementara secara kumulatif year to date 2025, penjualan mobil Indonesia dan Malaysia hanya terpaut 4 persen. Indonesia sebanyak 256.368 unit dan Malaysia 245.869 unit.
Pembebasan pajak yang masih berlangsung
Usut punya usut, salah satu dorongan melonjaknya penyerapan kendaraan roda empat di Malaysia adalah insentif berupa pembebasan pajak penjualan mobil baru.
"Kami bertanya-tanya bagaimana Malaysia dengen penduduk 30 jutaan bisa menjual mobil sebanyak itu? Dari informasi yang kami dapat dari rekan di sana, mereka tetap mempertahankan kebijakan insentif sejak pandemi, belum dicabut," ungkap Kukuh dalam Diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) di Kantor Kemenperin, Jakarta, Senin (19/5/2025).
Malaysia memberikan pembebasan pajak penjualan mobil baru sampai 100 persen, untuk dorong industri otomotif. Foto: thestar.com.my
Saat pandemi berlangsung pada 2020, pemerintah Malaysia berupaya cepat menyelematkan industri otomotifnya. Makanya pada medio 2020, pemerintah mengeluarkan stimulus keringanan pajak mobil baru.
Ketentuannya untuk rakitan lokal pembebasannya 100 persen, sedangkan diimpor utuh 50 persen. Perlu diketahui, setiap mobil yang akan dijual di Malaysia akan dikenakan pajak 10 persen, dihitung dari dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor yang disetujui pemerintah.
Lebih dari itu pemerintah Malaysia juga punya peta jalan pengembangan industri otomotif di sana, melalui kebijakan National Automotive Policy (NAP2020), menargetkan sektor otomotif berkontribusi terhadap GDP sebesar 10 persen pada 2030.
Toyota Avanza dan Innova Zenix di GIIAS 2023. Foto: Aditya Pratama Niagara/kumparan
Kemudian target agresifnya adalah menjdi pemimpin regional se-ASEAN untuk sektor otomotif, melalui New Industrial Master Plan atau NIMP 2023. Upaya yang dilakukan adalah dengan sejumlah insentif guna ekspansi lokal dalam pengembangan manufaktur, hingga efisiensi rantai pasok.
"Kalau dihitung pajak tahunan mobil seperti Avanza di Malaysia tidak sampai Rp 1 juta, sedangkan di Indonesia bisa Rp 6 juta. Kalau beban itu dikurangi tentu bisa meningkatkan daya beli," tambahnya.
Yang terjadi di Indonesia
Indonesia sejatinya juga mengadopsi kebijakan yang sama pada awal 2021, dengan memangkas Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) produk lokal dengan local purchase yang tinggi.
Hasilnya ada bounce back pada 2021, kemudian berdampak lagi pada peningkatan penjualan di 2022 mencapai di atas 1 juta unit, lantaran insentif yang sama diperpanjang namun dengan penyesuaian. Setelahnya tak ada insentif lagi hingga akhirnya setiap tahun penjualan mobil di Indonesia terus alami penurunan sampai April 2025.
Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Riyanto menambahkan, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Dikenakan tambahan pajak opsen
"Sudah jatuh tertimpa tangga. Jadi industri otomotif resesi. Karena ada opsen, bukannya diberikan pertolongan tapi tertimpa tangga. Kalau dilihat (insentif saat pandemi) penjualan langsung naik, itu menjadi penting," katanya di kesempatan yang sama.
Pengunjung melihat mobil Toyota Yaris GR Sport di Cabang Auto2000 Tebet Saharjo, Jakarta, Rabu (7/12). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
"Tapi insentif menjadi trigger mendorong pasar lagi. Seperti Malaysia kebijakannya nggak dicabut, sehingga penjualannya terus meningkat. Kita uga mungkin perlu melihat lagi struktur pajak kendaraan di Indonesia," tambahnya.
Dalam kajiannya, kenaikan harga mobil akibat pengenaan opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), berpotensi meningkatkan beban publik, yang efek dominonya adalah penurunan penjualan mobil pada 2025 menyentuh angka 815 ribuan unit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar