Aug 6th 2024, 07:06, by Tim Manado Bacirita, Manado Bacirita
Ilustrasi babi
MANADO - Para peternak babi di Sulawesi Utara (Sulut), mengaku sedih dengan narasi yang menyebutkan jika lonjakan harga daging babi yang mencapai Rp 130 ribu per kilogram, disebabkan oleh para peternak yang memainkan harga pasar.
Padahal menurut mereka, lonjakan harga tersebut terjadi karena faktor ketersediaan ternak babi yang terus merosot. Bahkan, sejumlah peternakan tak lagi memiliki induk babi di kandang mereka, sehingga stok daging babi benar-benar dalam kondisi minim.
Letje, salah satu peternak babi asal Kecamatan Singkil, Kota Manado, menyebutkan jika peternakan babi tidak sedang baik-baik saja semenjak ada virus African Swine Fever (ASF) yang mulai menjangkiti ternak babi di Sulawesi Utara (Sulut) pada November 2023.
Dia mengaku, sejak adanya ASF itu, ternak miliknya banyak yang mati. Bahkan, induk babi miliknya juga ikut terserang virus yang menyebabkan kini dia tak lagi memiliki stok babi untuk dijual.
"Di sini (Singkil) ada lebih dari 20 peternak babi, tapi pas November banyak yang gulung tikar karena ternak terserang penyakit. Kandang banyak yang kosong. Kalau saya total 12 ekor mati, sekarang tinggal delapan ekor tapi belum bisa dijual karena lima masih muda dan sisanya induk," ujar Letje.
Letje mengaku, saat ASF menyerang, para peternak sama sekali tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah karena syarat dari pemerintah harus dibuatkan kelompok peternak terlebih dahulu.
Senada disampaikan Federina, peternak babi lainnya. Dia mengaku, sejak akhir November 2023, dia harus menjual babi yang dipelihara dengan harga murah, karena takut bisa terserang virus ASF sehingga ternak mati mendadak dan justru tak bisa dijual.
"Sekarang belum ada lagi di kandang, karena modal saya belum cukup. Apalagi, untuk membeli bibit yang muda, itu lonjakan harganya capai 4 kali lipat. Jadi, mau kumpul modal dulu," kata Federina kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar