Oct 14th 2023, 11:59, by Yefita Lahagu, Yefita Lahagu
Pemilu serentak tahun 2024 tinggal menghitung hari, berbagai kejutan dan dansa politik menghiasi panggung berita nasional kita. Ketertarikan masyarakat terhadap politik semakin tinggi, mulai dari partisipasi anak muda yang semakin banyak hingga bacaleg dengan latar belakang yang berbeda-beda mulai dari seniman, komedian, chef, jurnalis, juga akademisi.
Tentu sebagai negara demokrasi, semua orang berhak untuk memilih dan dipilih, berhak untuk memajukan dirinya dalam membangun bangsa dan negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Namun, critical question-nya adalah apakah proses sekarang ini mumpuni untuk menghasilkan kinerja legislatif yang lebih baik? Mari kita bedah satu persatu.
Tugas, Fungsi, dan Wewenang DPR
Terdapat tiga fungsi utama DPR yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang seharusnya dijalankan sebagai bagian dari representasi rakyat. Namun jika diuraikan dengan ringkas maka tugas DPR atas tiga fungsi di atas adalah:
Menyusun, membahas dan menyetujui RUU
Menyetujui APBN yang diajukan Presiden
Mengawasi pelaksanaan UU, kebijakan pemerintah serta APBN
Wewenang lain yang tidak kalah penting adalah menyerap aspirasi rakyat, memberi persetujuan perang, menyetujui pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi yudisial, memilih anggota BPK, menyetujui calon hakim agung, memilih hakim konstitusi, melakukan fit and proper test terhadap panglima TNI, Kapolri dan pejabat publik lainnya.
Melihat tugas, fungsi, serta wewenangnya yang sangat besar dan krusial terhadap arah sebuah bangsa sewajarnya kita menaruh harapan yang sangat besar. Bahwa orang yang terpilih untuk menduduki jabatan legislatif adalah seseorang yang mumpuni secara intelektual, berpengalaman dan memiliki sifat negarawan untuk menyampaikan aspirasi rakyat.
Lalu, faktanya bagaimana?
Kinerja DPR
Beberapa bulan yang lalu hasil survei litbang Kompas yang dirilis pada bulan Mei 2023 menyebutkan bahwa 76,2 persen warga tidak puas dengan kinerja anggota DPR dan akan lebih selektif untuk memilih calon legislatif di pemilu tahun 2024 nanti.
Ini menjadi warning yang cukup serius terhadap kualitas wakil rakyat kita di DPR yang berbanding terbalik dengan harapan besar masyarakat untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Jika dibedah lebih jauh, komposisi pendidikan anggota DPR terpilih periode 2019-2024 cukup variatif di mana anggota DPR lulusan SMA berjumlah 56 orang (9,7 persen), lulusan D3 sebanyak 6 orang (1 persen), lulusan D4/S1 sebanyak 198 (34,4 persen), lulusan S2 sebanyak 210 orang (36,5 persen) dan lulusan S3 berjumlah 53 anggota (9,2 persen).
Bahkan meskipun 15 persen dari total anggota legislatif merupakan lulusan jurusan hukum, lulusan S2 mendominasi pun tidak berdampak signifikan terhadap perbaikan kinerja legislatif.
Saya jadi bertanya-tanya, kenapa bisa demikian? Hipotesis saya adalah proses pencalonan anggota legislatif yang tidak proper atau kesempatan dan kemampuan untuk sekolah yang lebih tinggi tidak selalu berbanding lurus.
Syarat Calon Legislatif (Caleg)
Jika melihat ke belakang perihal syarat calon legislatif (caleg) menurut UU Pemilu nomor 8 tahun 2012 dan Peraturan KPU Nomor 19/PL.01.4-PU/05/2023 mengisyaratkan minimal umur 21 tahun, warga negara Indonesia, pendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas (SMA) dan tidak pernah dipidana dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara serta dicalonkan oleh partai politik.
See? Tidak ada assessment yang proper untuk menjadi calon anggota DPR. Sistem ini hanya mengandalkan kesukaan figur oleh publik tanpa uji kelayakan yang proper. Apakah iya kita terus-menerus mengandalkan keterpilihan atas dasar kesukaan publik pada figur tanpa uji kelayakan?
Saya mau menekankan di sini bahwa tidak harus kualifikasi sarjana atau berpendidikan tinggi karena kesempatan dan kemampuan untuk sekolah yang lebih tinggi tidak selalu berbanding lurus.
Seyogyanya syarat utama mendaftar sebagai caleg ke KPU itu harus memiliki sertifikat lulus assessment uji intelektual, pemahaman tentang politik nasional, wawasan kebangsaan, pemahaman anggaran dan berani melakukan pembuktian terbalik atas harta kekayaannya. Hasilnya harus di-publish kepada masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.
Tetapi apakah sistem kita berani melakukannya?
Sebuah Kritik
Mengingat tugas, fungsi dan wewenang DPR yang sangat besar seyogyanya perlu assessment ketat dan proporsional terhadap tugas dan fungsi yang akan diemban.
Sementara di lain sisi saya setuju bahwa keterpilihan anggota DPR yang terhormat ini menurut Prof. Mahfud MD "karena pintar dongeng saja". Lalu kemudian melakukan fit and proper test terhadap calon pejabat publik seperti calon hakim agung, panglima TNI, kapolri dan pejabat publik lainnya yang sudah memiliki kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi dibanding mereka.
Tidak jarang dicecar layaknya mahasiswa yang baru menyelesaikan tugas akhir, belum lagi jika lobi politik di panggung belakang kurang beres maka akan dicecar habis-habisan atau bahkan tidak akan diloloskan. Lalu apa yang kita harapkan dari hasil seperti ini?
Di luar sana kita menyaksikan dan membiarkan kesesatan logika ini berjalan terus sementara kita menerima dan mewajarkan proses recruitment aparatur sipil negara (ASN) harus dilakukan dengan profesional. Padahal ASN bekerja sebagai pelaku teknis atas undang-undang dan kebijakan sementara pembuat kebijakan sendiri belum teruji kapabilitasnya.
Sampai saat ini saya tidak menemukan jawaban atas kesesatan logika berpikir dari sistem ini di mana seorang yang memiliki kualifikasi pendidikan dan pengalaman yang mumpuni harus diuji oleh mereka yang memiliki kualifikasi pendidikan/pengalaman di bawahnya yang bahkan jika dilihat dari proses terpilihnya pun tidak melalui uji kelayakan dan assessment yang proper.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar