Oct 29th 2023, 09:49, by Masruroh, BASRA (Berita Anak Surabaya)
Saat ini mahasiswa jenjang S1 atau D4 tidak wajib membuat skripsi untuk lulus. Ini berdasarkan aturan baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Meski baru diluncurkan, namun aturan ini bukanlah hal baru bagi beberapa perguruan tinggi. Pasalnya, sejumlah perguruan tinggi telah menerapkan konversi prestasi, jurnal bereputasi hingga proyek ilmiah sebagai pengganti skripsi untuk syarat kelulusan.
Universitas Airlangga (Unair) merupakan salah satu universitas yang turut menerapkan metode lulus tanpa skripsi. Dan cerita mahasiswa lulus kuliah tanpa skripsi ini datang dari Nidya Almira Xavier Herda Putri, mahasiswi Fakultas Psikologi Unair angkatan 2018. Nidya lulus kuliah dengan konversi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Karsa Cipta.
Menurut Nidya, konversi skripsi dengan PKM merupakan hal baru yang menantang. Bagi Nidya, penelitian PKM sama sulitnya dengan penelitian skripsi.
"Saya merasa bahwa konversi skripsi dengan PKM adalah salah satu privilege yang saya miliki untuk merasakan pengalaman 'skripsi yang levelnya di-upgrade'. Maksudnya, saya merasa bahwa apa yang saya kerjakan selama PKM kurang lebih sama dengan apa yang seharusnya saya lakukan ketika mengerjakan skripsi," ujar gadis asal Serang, Banten, ini saat dihubungi Basra, (28/10).
Nidya menuturkan, penyusunan PKM sama seperti skripsi. Dari mulai pembuatan proposal berisi latar belakang hingga metode, bimbingan dengan dosen, hingga ke sidang dan penyusunan laporan akhir.
"Bedanya, di PKM ini saya bahkan dapat 'bimbingan eksklusif' dengan tim pembina dalam bentuk monitoring dan evaluasi bulanan, bantuan dana dari pemerintah, dan bisa merasakan langsung rasanya sidang di hadapan para reviewer dari luar daerah," terangnya.
Ada pun PKM yang disusun Nidya adalah merancang aplikasi self care berbasis kecerdasan buatan sebagai upaya menurunkan risiko depresi bagi remaja yang ia beri nama SEJATI.
Nidya mengaku, merancang aplikasi self care karena keprihatinannya terhadap remaja yang tak memiliki tempat curhat saat sedang dilanda masalah.
"Tidak ada tempat curhat yang membuat remaja itu nyaman untuk bercerita. Padahal masa remaja itu bisa dibilang sedang krisis identitas, nah kalau dia tidak bisa merelease apa yang menjadi kegundahannya bisa berisiko depresi," paparnya.
Nidya melanjutkan, depresi adalah gangguan mental dengan prevalensi tertinggi di Indonesia, terutama untuk kelompok remaja. Ia berharap aplikasi buatannya dapat terus dikembangkan sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh remaja.
Nidya mengungkapkan, prototype aplikasi self care dengan fitur-fitur yang sudah lengkap itu telah melewati uji coba oleh beberapa orang dengan kriteria yang sudah ditentukan dan disesuaikan.
Dirancang sejak tahun 2020, aplikasi self care telah mendapatkan pendanaan dari Ditjen Diktiristek, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud) di tahun 2021.
"Aplikasi ini terdiri dari fitur berupa rekomendasi aktivitas self care, artikel kesehatan mental, mood tracker, serta ENO Chatbot, fitur utama kecerdasan buatan yang dapat mendengarkan cerita dari pengguna," jelas Nidya.
"ENO jadi fitur utama karena harapannya chatbot ini bisa jadi teman cerita bagi para penggunanya. Sehingga, mereka bisa merasa didengarkan kapanpun dan di mana pun. Jangka panjangnya, saya juga berharap aplikasi ini bisa mengurangi stigma kesehatan mental di Indonesia," sambungnya.
Nidya juga berharap agar program konversi skripsi seperti yang dilakukannya dapat menjadi tonggak bagi iklim kebebasan akademik di lingkungan kampus.
"Semoga para mahasiswa bisa fokus pada pengalaman yang lebih praktis dan memberi mereka ruang untuk mengembangkan diri dalam bentuk apa pun. Tentu, tanpa mengurangi esensi dan manfaat yang akan mereka dapat," pungkas gadis yang diwisuda pada Agustus 2023 lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar