Apr 2nd 2023, 14:16, by chevy ning suyudi, chevy ning suyudi
Pertandingan sepak bola yang dilakoni Timnas Garuda (sebutan Timnas Indonesia) selalu menjadi tontonan yang menarik buat semua rakyat Indonesia. Sepak terjang mereka di lapangan, semangat pantang menyerah, dan kemampuan individu pemain membuat pelatih timnas negara lain perlu strategi khusus untuk menaklukkannya.
Tidak hanya tackling-tackling keras seperti yang sering dilakukan pemain Vietnam, bahkan permainan lampu laser juga pernah dipakai oleh penonton Malaysia untuk mengacaukan konsentrasi skuad timnas Garuda.
Indonesia punya pelatih berlabel piala dunia dari Korsel, Shin Tae Yong, yang berhasil meracik Timnas menjadi kuat untuk masa depan. Sederet pemain muda berprestasi muncul satu per satu. Tidak sedikit dari mereka yang berkarier di kompetisi luar negeri, yang terbaru adalah Marselino Ferdinan akan bergabung dengan klub asal Belgia, KMSK Dainze. Klub sepak bola tersebut berlaga di liga Belgian First Division B, atau level kedua kompetisi sepak bola di Belgia.
Tak kalah perkasanya adalah dukungan dari pemain ke-12 yaitu suporter timnas yang selalu bikin merinding lawan. Heroiknya sorak sorai para suporter Indonesia sanggup meredam bahkan menjatuhkan mental pemain lawan.
Media Malaysia sempat memberikan pujian untuk suporter Indonesia, dengan memberikan pernyataan, "semangat macam ini seharusnya bisa menjadi sebuah contoh, bukan cuma untuk Malaysia tapi juga di Asia Tenggara."
Gempita sepak bola Indonesia tidak hanya terdengar di dalam stadion saat pertandingan saja. Sudah sering pemain di luar lapangan ikut menjadi aktor dalam drama-drama sepak bola nasional. Bahkan beberapa kepala daerah juga bergabung menjadi pemain luar lapangan, ada Gubernur Bali dan Jateng yang sukses membuat FIFA mencabut perhelatan akbar piala dunia U-20 di Indonesia.
Bulan Januari semua kepala daerah tempat penyelenggaraan pertandingan menyatakan siap melaksanakan kompetisi Piala Dunia U-20. Tiba-tiba di bulan Maret beberapa kepala daerah menyatakan penolakan, dengan alasan yang berbeda. Gubernur Bali menolak dengan alasan keamanan, karena ada risiko timbulkan gangguan keamanan di Bali. Sementara Gubernur Jateng menolak karena alasan idealisme politik luar negeri.
Pemain luar lapangan selama ini masih menjadi momok bagi timnas. Alih-alih memberikan dukungan, mereka justru lebih sering melakukan sliding tackle yang mematikan. Menyeret sepak bola dalam lingkaran kepentingan politik.
Masih belum hilang dari ingatan, ketika PSSI pada bulan Januari lalu menghentikan kompetisi Liga 2 dan Liga 3. Keputusan ini jelas memukul hati banyak orang. Pemain, pelatih, pengurus, hingga pelaku bisnis sepak bola akan terimbas kehilangan pekerjaan.
Berkumpulnya pemain dan suporter saat hajatan di stadion menarik perhatian para pejabat dan politikus. Sepak bola sudah menembus komunitas tanpa batas, tua muda, kaya miskin, laki perempuan semua kompak menangis, gembira, bersorak, dan berdoa. Selain pelibatan massa yang banyak juga perputaran uang yang sangat besar yang menjadi incaran para pemain luar lapangan.
Untuk mengurai pemain luar lapangan bisa tengok ke belakang, yaitu para mantan ketua PSSI yang berlatar belakang militer, polisi, dan politisi. Orang-orang yang secara personal terlatih dan sangat kuat untuk disiplin dan tegas menjalankan "perintah". Dari sini, mau tidak mau kita harus rela menyembunyikan mimpi sepak bola Indonesia yang profesional.
Sepak bola kita selalu penuh dengan drama, alur ceritanya sengaja dibuat cepat dan banyak menyisipkan kontroversi-kontroversi sehingga membuat penasaran banyak orang. Drama seperti itu yang sangat populer dan laku di pasaran. Sehingga para cukong kekuasaan begitu antusias untuk menguasainya. Permainan timnas Garuda masih sebatas enak ditonton saja, terbukti minimnya prestasi timnas yang tidak memiliki banyak koleksi trofi juara.
Cerita drama yang sempat heboh mulai dari mafia wasit di tahun 1996, ada 40 wasit yang menjadi terdakwa dalam kasus match fixing. Kemudian ada kasus surat kaleng piala AFF 2010, yang mengaku sebagai Eli Cohen (nama seorang agen mossad, dinas rahasia Israel).
Kasus tersebut berujung pembekuan aktivitas PSSI oleh Menpora saat itu. Lalu berurutan drama dualisme kompetisi, dualisme pengurus, dan pembekuan PSSI oleh FIFA dan AFC karena adanya intervensi pemerintah dalam penyelesaian konflik di tubuh PSSI.
Dengan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia U-20 akan menambah koleksi sanksi dari FIFA kepada PSSI. Prestasi jalan di tempat, tapi sanksi bisa bertambah lagi. Ulah pemain luar lapangan memuluskan kepentingan politiknya lewat sepak bola, pertanda bahwa Pemerintah masih belum mau melepas PSSI menjadi organisasi yang profesional. PSSI masih terlalu seksi sebagai tunggangan politik, pesonanya jadi daya pikat para pejabat dan pekerja politik.
Harapan ke depannya sepak bola Indonesia tidak lagi sebagai gerobak kepentingan politik, namun justru menjadi juragan yang independen dan profesional yang sanggup memberikan kontribusi besar secara finansial untuk daerah yang menjadi basecamp klub-klub profesional. Pemerintah daerah akhirnya mendapatkan keuntungan fiskal untuk pembangunan daerahnya.
Seharusnya PSSI bisa membuat konsep kompetisi sebagai penggerak roda ekonomi bagi daerah yang menjadi tempat pertandingan liga sepak bola. Ketergantungan secara pendapatan akan membuat daerah tidak kuasa menolak untuk dijadikan tempat pertandingan maupun basecamp klub-klub profesional.
Jika sepak bola bisa menjadi penguat ekonomi daerah, maka pemerintah daerah akan berupaya untuk menjaga keamanan di setiap pertandingan. Sebaliknya jika daerah hanya sebatas ketempatan hajatan dan supplier pemain timnas saja, maka mustahil Indonesia akan punya prestasi.
Saat ini pusaran keuntungan ekonomi dari sepak bola belum bisa dirasakan oleh daerah, masih menjadi dominasi "orang pusat". Keserakahan itulah yang pada ujungnya membuat kepala daerah tidak menganggap ada keuntungan lain sepak bola untuk pembangunan daerahnya.
PSSI bisa mulai mengajak investor untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah membangun atau memperbaiki stadion agar sesuai dengan standar keamanan, lalu pengelolaan pertandingan juga dibenahi agar suporter fanatik masing-masing tim dapat berada dalam atmosfer pertandingan yang nyaman. Jadikan sepak bola adalah potensi pendapatan untuk daerah, bukan sebagai beban dan ketakutan terjadinya kerusuhan.
PSSI harus bisa menjegal semua pemain luar lapangan yang mencoba melakukan prank politik. Mereka hanya mendulang popularitas dari sepak bola, tanpa mau ikut berkeringat mencetak gol demi gol ke gawang timnas negara lain untuk menjadi juara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar