Search This Blog

Di Balik Harga Pangan: Kuasa MNC dan Aturan Global

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Di Balik Harga Pangan: Kuasa MNC dan Aturan Global
Nov 21st 2025, 11:00 by Rafisa Rona Dillaputri

Ilustrasi MNCs. Source: unsplash
Ilustrasi MNCs. Source: unsplash

Di balik naik turunnya harga beras, gandum, dan kedelai, ada satu fakta yang jarang dibicarakan: harga pangan dunia sebenarnya bisa digerakkan oleh segelintir korporasi raksasa. Mereka mengendalikan perdagangan komoditas utama; dari benih sampai logistik dan memengaruhi harga yang akhirnya kita bayar di pasar.

Banyak orang mengira harga pangan adalah soal cuaca, gagal panen, atau permintaan pasar. Nyatanya, yang memegang kendali justru perusahaan multinasional yang menguasai mayoritas rantai pasok global. Mereka punya modal, teknologi, dan yang paling penting data yang tak dimiliki pemerintah maupun petani kecil.

Dominasi MNCs: Dari Benih sampai Harga Pasar

Ilustrasi petani mengumpulkan beras. Foto: Shutterstock
Ilustrasi petani mengumpulkan beras. Foto: Shutterstock

Selama bertahun-tahun, beberapa perusahaan agribisnis besar mengonsolidasikan kekuatannya. Benih tertentu hanya bisa dibeli dari mereka. Pupuk dan pestisida juga dikuasai kelompok yang sama. Sampai akhirnya, petani di banyak negara berkembang harus membeli input dari perusahaan yang itu-itu saja.

Tak berhenti di produksi, korporasi besar juga menguasai perdagangan global. Mereka tahu stok tiap negara, memprediksi panen, dan membaca tren konsumsi dunia. Informasi seperti ini berubah menjadi kekuatan. Ketika mereka mengira pasokan bakal turun, pasar global langsung merespons dengan kenaikan harga, bahkan sebelum krisis benar-benar terjadi.

Pada titik inilah, pasar pangan bukan lagi benar-benar "pasar bebas". Ia bergerak mengikuti kepentingan pemain besar.

WTO Agriculture: Aturan Global yang Tidak Ramah Negara Berkembang

Buruh tani menanam padi di area persawahan Tamarunang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (16/6/2022). Foto: Arnas Padda/ANTARA FOTO
Buruh tani menanam padi di area persawahan Tamarunang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (16/6/2022). Foto: Arnas Padda/ANTARA FOTO

Dunia punya aturan perdagangan pangan melalui Agreement on Agriculture (AoA) di bawah WTO. Secara ideal, perjanjian ini ingin memastikan semua negara bermain di lapangan yang sama. Namun, realitasnya jauh dari itu.

Negara maju tetap memberi subsidi besar pada petaninya, sementara negara berkembang diminta membuka pasar dan mengurangi perlindungan domestik. Akibatnya, produk pangan dari negara maju yang seharusnya lebih mahal bisa masuk ke pasar negara berkembang dengan harga rendah.

Perusahaan multinasional memanfaatkan aturan WTO untuk memperluas pengaruhnya. Mereka bebas masuk, membeli lahan, memasok input, hingga mendominasi standar pangan lokal. Banyak negara akhirnya sulit mengambil kebijakan pangan yang benar-benar berpihak pada petani kecil.

Dependency Baru: Ketergantungan yang Sulit Diputus

Ilustrasi pupuk. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi pupuk. Foto: Shutter Stock

Ketika benih impor jadi satu-satunya pilihan, pupuk naik harga, dan standar perdagangan ditentukan pemain global, negara berkembang masuk dalam pola ketergantungan baru. Ini disebut dependency dalam studi pembangunan: situasi ketika negara terjebak pada struktur yang membuatnya selalu bergantung.

Indonesia pernah merasakannya ketika harga gandum dunia naik. Padahal, Indonesia bukan produsen gandum, melainkan sistem pangan kita sudah telanjur terhubung dan bergantung pada pasar asing. Sedikit guncangan saja di pasar internasional, harga mi instan di rak minimarket bisa ikut naik.

Ketergantungan semacam ini membuat negara sulit mencapai kedaulatan pangan. Bahkan, ketika produksi beras dalam negeri stabil, ancaman tetap datang dari komoditas lain yang kita impor.

Saat Ketahanan Pangan Ditentukan Politik Global

Warga membawa beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang dibeli dari Dinas Ketahanan Pangan Dan Pertanian Kota Samarinda di Kelurahan Loa Bakung, Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (27/8/2025). Foto: M. Risyal Hidyat/ANTARA
Warga membawa beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang dibeli dari Dinas Ketahanan Pangan Dan Pertanian Kota Samarinda di Kelurahan Loa Bakung, Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (27/8/2025). Foto: M. Risyal Hidyat/ANTARA

Di tengah dominasi korporasi besar, ketahanan pangan bukan lagi sekadar persoalan "apakah kita mampu memproduksi cukup makanan". Pertanyaannya berubah: "Apakah kita punya kendali atas sistem pangan kita sendiri?" Itulah tantangan terbesar.

Negara perlu memperkuat benih lokal, mengatur akuisisi lahan oleh korporasi besar, melindungi petani kecil, dan memastikan transparansi harga. Bukan untuk menutup diri dari perdagangan global, tetapi agar kita tidak sepenuhnya dikendalikan pasar internasional yang tidak selalu adil.

Karena pada akhirnya, masa depan ketahanan pangan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh berapa hektare sawah yang kita miliki, tetapi juga oleh siapa yang mengendalikan rantai pangan dunia.

Media files:
01kaaxyx8cw4c2ada3t774r2c5.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar