Search This Blog

1983: Jatuhnya Junta Militer dan Jalan Terjal Argentina menuju Demokratisasi

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
1983: Jatuhnya Junta Militer dan Jalan Terjal Argentina menuju Demokratisasi
Nov 22nd 2025, 09:00 by Fasha Catur

Keluarga dari korban penghilangan paksa pada Guerra Sucia mengadakan aksi protes besar-besaran atas nasib keluarganya yang hilang atau dibunuh (Sumber: Getty Images).
Keluarga dari korban penghilangan paksa pada Guerra Sucia mengadakan aksi protes besar-besaran atas nasib keluarganya yang hilang atau dibunuh (Sumber: Getty Images).

Argentina—dikenal sebagai negara yang besar dan strategis di wilayah Amerika Selatan—menghasilkan talenta-talenta berbakat dalam dunia sepakbola yang dikenal dunia, salah satu ikon terpopulernya adalah Lionel Messi. Akan tetapi, prestasi Argentina tidak sementereng itu di konteks politik dan ekonomi.

Di bawah kepemimpinan Javier Milei (seorang Libertarian tulen), Argentina—yang pada abad ke-19 menjadi kekuatan besar di benua Amerika—mulai mengalami perbaikan secara perlahan, dari posisi semula yang cukup terseok-seok untuk mengembalikan stabilitas ekonomi dan membentuk kepemimpinan politik yang kokoh.

Kondisi pada hari ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang Argentina modern, terutama di era Peronisme (periode kepemimpinan Juan Peron dan istrinya Isabel Peron), serta periode berdarah rezim militer pasca Peron dikudeta.

Senjakala Junta Militer

Tahun 1983 adalah tahun penting bagi Argentina karena negeri Tango mengalami masa-masa krusial yang akan menentukan masa depan demokrasi di negara tersebut. Ketika itu, rezim militer yang berkuasa tidak dapat menjamin stabilitas setelah meninggalnya pemimpin utama mereka dan terlambatnya perbaikan berarti di berbagai sektor publik. Ketidakpuasan kepada rezim militer mulai memuncak pada awal dekade 80-an.

Ketika masa kekuasaan Jorge Rafael Videla berakhir, tampuk kepemimpinan rezim militer beralih ke tangan Roberto Eduardo Viola pada tahun 1981. Masa kepemimpinannya hanya bertahan sekitar 8 bulan saja; saat itu rezim militer mulai mengalami instabilitas dalam politik domestik akibat ketidakpuasan rakyat yang semakin memuncak. (The New York Times, 1994).

Ilustrasi simulasi perang Foto: Pathdoc/fotolia
Ilustrasi simulasi perang Foto: Pathdoc/fotolia

Guerra sucia (1974-1983)—atau yang dikenal sebagai Dirty War—merenggut banyak sekali korban jiwa, sekitar 22.000 hingga 30.000 orang Argentina diperkirakan tewas atau menghilang akibat operasi tersebut.

Guerra sucia merupakan bagian dari Operation Condor yang dijalankan oleh Amerika Serikat melalui badan intelijen-nya—Central intelligence Agency (CIA)—untuk menghancurkan gerakan-gerakan sayap kiri di Amerika Latin. (The National Security Archive, 2006).

Kondisi ekonomi Argentina yang tidak stabil pada masa-masa tersebut juga memantik ketidakpuasan terhadap rezim militer. Pada periode 1975 hingga 1990, Argentina mengalami hiperinflasi hingga mencapai 300% per tahunnya secara rata-rata. Ketika memasuki dekade tahun 80-an, krisis ekonomi semakin parah, setelah Banco de Intercambio Regional (BIR)—salah satu bank besar di Argentina—mengalami kegagalan dan berdampak kepada krisis finansial besar.

Kegagalan tersebut mendorong likuidasi 71 institusi finansial di Argentina dalam jangka waktu dua tahun setelahnya. Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Lorenzo Sigaut yang ditunjuk oleh Viola membuat mata uang Peso terdevaluasi dan ekonomi Argentina mengalami resesi yang cukup parah pada tahun 1981. Hal ini membuat posisi Viola semakin terdesak sebagai presiden.

Selain itu, angkatan bersenjata juga mengalami konflik internal. Eduardo Massera—mantan panglima angkatan laut yang menjadi aktor dari kudeta terhadap Isabel Peron bersama Jorge Rafael Videla dan Orlando Ramon Agosti—mulai mencari ruang politik untuk dirinya sendiri. Massera diturunkan dari jabatannya, baik sebagai panglima angkatan laut maupun sebagai bagian dari junta militer Argentina pada tahun 1978 dan terbang ke Romania pada tahun 1981.

Ilustrasi tahanan. Foto: Shutter stock
Ilustrasi tahanan. Foto: Shutter stock

Massera saat itu membocorkan data mengenai tahanan-tahanan politik yang ditahan di kamp konsentrasi secara paksa dan menekan posisi Viola sebagai presiden. Arus utama dari pendukung junta militer tentunya sangat menentang upaya yang dilakukan oleh Massera.

Dengan posisinya yang semakin terdesak, ruang gerak untuk manuver politik semakin terbatas bagi Viola. Pertengahan bulan Desember tahun 1981 menjadi masa akhir dari kekuasaan Viola, setelah Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Leopoldo Galtieri, melancarkan kudeta dan menggulingkan kekuasaan Viola. Galtieri secara resmi mengabarkan bahwa kondisi kesehatan Viola tidak memadai untuk menjalankan pemerintahan. (The New York Times, 1994).

Setelah naik ke tampuk kekuasaan—sebagai cara untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang tidak stabil—Galtieri dengan cepat menunjuk Roberto Alemann sebagai Menteri Ekonomi untuk segera mengatasi krisis. Alemann memangkas pengeluaran, mulai menjual industri milik pemerintah (dengan hanya sedikit keberhasilan), memberlakukan kebijakan moneter yang ketat, dan memerintahkan pembekuan gaji (di tengah inflasi 130%).

Selain itu, Galtieri juga menerapkan reformasi politik secara terbatas dan memungkinkan adanya kebebasan berpendapat. Demonstrasi anti junta dan seruan untuk kembali kepada demokrasi mulai menjadi hal yang lumrah ketika itu.

Pada bulan April 1982, Galtieri sudah empat bulan menjabat sebagai presiden. Akan tetapi, popularitasnya masih sangat rendah. Sebagai bentuk pengalihan dari masalah politik domestik, Galtieri mengarahkan perhatian rakyat Argentina kepada urusan luar negeri dengan memulai Perang Falkland/Malvinas. Pada tanggal 2 April 1982, atas perintahnya, angkatan bersenjata Argentina mulai menginvasi teritori Inggris di Pulau Falkland. Argentina menamainya sebagai Isle de Malvinas atau Pulau Malvinas.

Ilustrasi demo. Foto: Nadia Wijaya/kumparan
Ilustrasi demo. Foto: Nadia Wijaya/kumparan

Secara singkat, demonstrasi yang awalnya berfokus untuk menentang junta militer berubah menjadi demonstrasi patriotik untuk mendukung Argentina di Perang Falkland. Konflik tersebut memakan waktu 74 hari dan berakhir dengan kekalahan bagi Argentina. Konflik ini mengorbankan 649 orang yang tewas di pihak Argentina, sedangkan sekitar 255 orang tewas dari pihak Inggris.

Kekalahan dalam Perang Falkland adalah puncak dari krisis politik Argentina. Leopoldo Galtieri menjadi orang yang paling disalahkan karena menginisiasi perang tersebut dan berakhir dengan hasil yang memalukan.

Kalahnya Argentina di perang tersebut melemahkan legitimasi dari rezim militer. Tak lama kemudian, Galtieri mundur dari kekuasaannya pada bulan Juni tahun 1982 dan digantikan oleh Menteri Dalam Negeri, Alfredo Oscar Saint Jean, sebagai presiden interim Argentina. Alfredo hanya menjabat sebentar; lalu pada awal bulan Juli, Reynaldo Bignone naik menjadi presiden terakhir dari junta militer Argentina sebelum menuju ke arah demokratisasi.

Masa Transisi menuju Demokrasi

Gerakan protes dan perlawanan terhadap rezim militer di Argentina sejatinya sudah menunjukkan eksistensi sejak akhir dekade 70-an dan awal dekade 80; hilangnya aktivis-aktivis politik dalam Guerra Sucia (1974-1983) menjadi pemantik besar dari gerakan-gerakan protes terhadap junta.

Ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang semakin tidak stabil dibawah rezim militer, membuat gerakan protes dan perlawanan semakin besar. Puncak dari gerakan protes tersebut meledak pada bulan Desember 1982. Setelah Argentina kalah dalam Perang Falkland (1982), hal ini semakin membuka jalan untuk menuju demokratisasi di Argentina.

Aksi protes besar-besaran menentang junta militer (Sumber: Getty Images).
Aksi protes besar-besaran menentang junta militer (Sumber: Getty Images).

Bertentangan dengan keinginan jenderal-jenderal di rezim militer, Reynaldo Bignone—yang ditunjuk oleh junta sebagai caretaker pasca turunnya Galtieri—memutuskan untuk mempersiapkan pemilu demokratis pertama sejak tahun 1973.

Tahun 1983 ditandai dengan kembalinya demokrasi di Argentina; periode transisi ini terbilang cukup mulus. Dengan mewarisi kondisi perekonomian yang tidak stabil, Bignone mulai menginisiasi liberalisasi ekonomi sekaligus dengan liberalisasi politik, yang ditandai oleh pemulihan hak secara terbatas untuk berkumpul serta menjamin kebebasan berpendapat.

Dinamika pra-pemilu 1983 diwarnai oleh pemogokan besar-besaran yang dipimpin oleh Ketua Federasi Buruh CGT, Saul Ubaldini. Pembekuan upah selama enam tahun, yang disebabkan oleh krisis ekonomi, membuat kelas-kelas pekerja menderita; selain itu, industri juga mengalami kerugian akibat kebijakan tersebut.

Gelombang-gelombang pemogokan dipengaruhi pula oleh liberalisasi politik yang diinisiasi Bignone, sehingga federasi-federasi buruh memiliki ruang untuk berekspresi tanpa takut untuk direpresi secara keras seperti di periode sebelumnya. (Poneman, 1987; Share, 1987).

Gerakan-gerakan pemogokan ini memicu reaksi keras dari kalangan rezim militer yang tergolong sebagai kelompok hardliner atau garis keras. Laksamana Jorge Anaya—bagian dari kelompok garis keras di tubuh angkatan bersenjata—memutuskan untuk maju dalam pemilihan tahun 1983 dan merupakan kandidat pertama dari pemilihan umum tersebut.

Bendera Argentina. Foto: Shutter Stock
Bendera Argentina. Foto: Shutter Stock

Keputusannya untuk maju dikutuk oleh gerakan-gerakan protes, sehingga muncul cemooh yang populer di kalangan masyarakat, yaitu Anaya canalla atau Anaya iblis. Tak lama kemudian, Bignone segera menggagalkan keputusannya tersebut.

Pemilu pada tahun 1983 diselenggarakan secara langsung, sehingga rakyat dapat memilih langsung calonnya, baik itu presiden, gubernur, wali kota, ataupun anggota legislatif. Partisipasi pada pemilu tersebut terbilang sangat tinggi dengan 85,6% pemilih memberikan suaranya dalam pemungutan suara.

Pemilihan umum tersebut dimenangkan oleh Raúl Alfonsín dari partai yang berhaluan sosial demokrat Unión Cívica Radical (UCR) atas kandidat Ítalo Lúder dari partai berhaluan Peronisme. Partido Justicialista (PJ) dengan persentase perolehan suara 51,75% berbanding 40,6%. (Poneman, 1987; Share, 1987).

Hasil yang cukup mengejutkan karena memutus dominasi panjang Peronisme di politik Argentina. Melalui proses ini, Argentina memasuki babak baru dalam sejarahnya dengan menginstalasi kembali sistem demokrasi untuk menggantikan rezim militer yang brutal dan bertangan besi.

Meskipun begitu, pascademokratisasi, Argentina tidak dapat dikatakan sepenuhnya stabil. Demokrasi setelah junta militer dipenuhi dengan gejolak, fenomena yang umum dijumpai di negara-negara dunia ketiga. Sebuah tantangan besar bagi sistem demokrasi yang pada hari ini posisinya semakin terancam oleh kebangkitan populisme sayap kanan dan kerapuhan struktural dalam sistem demokrasi.

Media files:
01k56yz8z3cm3dt89pj691chvj.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar