Ilustrasi orang miskin di India. Foto: AFP/Pedro Ugarte
Sebuah artikel yang berjudul "Mahalnya Biaya Membesarkan Anak" dari tirto.id mengestimasi bahwa di Jakarta diperlukan setidaknya Rp3,17 miliar untuk membesarkan seorang anak hingga umur 21 tahun.
Meminjam logika yang sama dengan bantuan AI Deepseek, setidaknya di Sulawesi Barat diperlukan 500 juta rupiah atau mendekati 2 juta rupiah per bulan per anak. Biaya ini tentu bervariasi untuk setiap keluarga, termasuk jumlah anak yang dimiliki.
Terdapat kontradiksi antara status ekonomi keluarga (kaya, menengah, dan miskin) dan jumlah anak yang dimiliki. Wanita dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi berkaitan dengan kemungkinan lebih kecil untuk memiliki lebih dari dua anak. Perempuan dengan tingkat ekonomi menengah memiliki probabilitas 7,1% lebih rendah untuk memiliki lebih dari dua anak dibandingkan wanita dari kelompok miskin (Munthe dkk, 2024).
Keluarga kelompok ekonomi menengah ke atas cenderung memiliki anak yang lebih sedikit. Salah satu faktornya adalah umur kawin pertama yang lebih tinggi, entah karena menempuh pendidikan tinggi atau karena bekerja di sektor formal. Di sisi lain, tidak jarang ditemukan keluarga kelompok miskin di Sulawesi Barat yang memiliki banyak anak dengan jarak yang kelahiran antar anak yang berdekatan.
Lalu, mengapa keluarga dari keluarga miskin cenderung memiliki banyak anak di saat biaya membesarkan anak "mahal"?
Biaya Peluang atau Oportunitas Waktu Ibu
Teori mikroekonomi fertilitas menjelaskan bahwa setiap keluarga menghitung biaya dan manfaat dalam penentuan ukuran keluarga yang diinginkan. Di Negara berkembang, dalam memutuskan apakah akan menambah anak atau tidak, para orang tua diasumsikan membandingkan antara manfaat ekonomi dan biaya pribadi, di mana manfaat ekonomi diharapkan diperoleh dari mempekerjakan anak (biasanya di ladang) dan sumber dukungan keuangan nantinya bagi mereka di hari tua (Todaro & Smith, 2009).
Salah satu unsur dari biaya tadi adalah biaya peluang/oportunitas waktu ibu, yang mengacu pada kemungkinan pendapatan yang seharusnya diperoleh oleh seorang ibu jika ia tidak harus tinggal dirumah dan mengurus anak.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi seseorang, terutama bagi perempuan. Semakin tinggi pendidikan seseorang perempuan--misal lulusan S1/S2--maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal akan lebih terbuka. Pendidikan yang lebih tinggi berarti peluang pendapatan yang yang lebih besar dibandingkan perempuan dengan lulusan SD atau SMP.
Implikasi dari pernyataan di atas terhadap perilaku fertilitas adalah
Semakin tinggi nilai waktu yang dimiliki seorang perempuan (higher potensi female time) yang disebabkan oleh tingginya potensi pendapatan atau tambahan pendapatan yang bisa didapatkan di pasar kerja akan membuat perempuan memasuki pasar kerja, dan mengurangi waktu mereka untuk melahirkan, mengasuh, atau membesarkan anak sehingga mengakibatkan angka fertilitas mengalami penurunan (Pranata, 2015).
Pada keluarga miskin, manfaat ekonomi menambah anak lebih besar dibanding biaya peluang/oportunitas waktu ibu, sehingga menambah anak "lebih menguntungkan" secara ekonomi. Dalam sudut pandang ini, semakin banyak anak berarti semakin banyak yang bisa menjadi pekerja anak, entah di ladang atau perkebunan kelapa sawit (Mawan, 2023), atau menjadi pengamen/manusia silver/badut yang terkadang kita temui di lampu lalu lintas. Apabila keluarga memiliki fertilitas tinggi, hal ini juga dapat memperbesar peluang dan jumlah pencari kerja tanpa meningkatkan lapangan kerja. Sehingga, menambah serta memiliki anak banyak adalah pilihan rasional bagi keluarga miskin.
Rata-rata Lama Sekolah Perempuan
Grafik Perbandingan RLS Perempuan dan TFR
Grafik perbandingan rata-rata lama sekolah perempuan dan TFR di atas secara visual mendukung teori mikroekonomi fertilitas. Dengan meningkatnya tingkat pendidikan perempuan, biaya peluang / oportunitas waktu ibu menjadi lebih tinggi. Kondisi ini membuat keputusan menambah anak terasa "sangat mahal". Keluarga menengah ke atas akan memilih jumlah anak yang lebih sedikit, membelanjakan pendapatan pada barang konsumsi lain. Hal ini memungkinkan keluarga tersebut fokus pada kualitas anak, alih-alih kuantitas.
Di sisi lain, di daerah dengan tingkat pendidikan perempuan yang lebih rendah, keluarga miskin cenderung memiliki anak lebih banyak karena manfaat ekonomi yang diperoleh dari anak-anak tersebut lebih besar dibandingkan dengan biaya peluang/oportunitas waktu ibu. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan perempuan tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga berkontribusi pada penurunan tingkat fertilitas, yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi beban ekonomi keluarga dan mendorong pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Sebagai penutup, kami mengutip:
Pembangunan ekonomi mungkin tidak dapat dipandang sebagai "kontrasepsi terbaik" tetapi pembangunan sosial-khususnya pendidikan dan lapangan kerja bagi perempuan-sesungguhnya dapat menjadi kontrasepsi yang sangat efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar