Aug 27th 2024, 07:17, by Sufyan Syafii, Sufyan Syafii
Bung Hatta. Foto: AFP
Kisah ini mungkin saja sudah banyak ditemukan pada beberapa tulisan. Hanya saja, ruang waktu sejarah selalu berkembang. Menawarkan data dan fakta yang terus terbaharukan oleh sudut pandang berbeda. Tentu saja, zaman yang berubah itu memberi celah bagi sejarah untuk senantiasa melakukan apa yang disebut oleh Stephane Levesque (2008) sebagai kontekstualisasi sejarah.
Adalah Bung Hatta (1902-1980), sosok penting dalam Dwitunggal Negara Indonesia bersama Soekarno. Telah berhasil bersama para tokoh bangsa lainnya membawa negara kita merdeka, melewati hari-hari penjajahan yang pedih, kehidupan penuh tekanan dan terhina. Memberi cahaya harapan bagi sepanjang wilayah yang masyarakatnya pernah hidup dalam subversi bangsa lainnya.
Sebelum lebih jauh, penulis merasa penggunaan nama Hatta pada tulisan ini lebih banyak berdiksi dengan Bung Hatta. Hal ini sebagai penunjukan akan nama besarnya pada ingatan banyak orang.
Bung Hatta, dengan nama asli Mohammad Attar ini, tidak saja ikon dalam memutarbalikkan roda pemerintahan Indonesia yang berdaulat, tapi sosoknya yang bersahaja, telah meninggalkan banyak keteladanan hidup. Namanya masih terus abadi, bersamaan dengan nilai-nilai luhur pemikiran dan karyanya, serta laku hidup yang terus digali dan diikuti.
Tatkala sudah melewati masa kritis penjajahan, dan negara pun sudah diakui merdeka de facto dan de jure , Bung Hatta masih terus aktif dalam pemerintahan era Soekarno sebagai wakil presiden. Ia memberi masukan, cara pandang, hingga terlibat aktif pada sidang-sidang internasional menumpahkan kebanggaan terhadap sebuah negara yang baru lahir ini di depan wajah dunia.
Dengan predikat terkemuka, perjuangan yang tiada henti, serta jasa yang tiada terkira kepada negara, sudah selayaknya Bung Hatta memiliki hak privilege dari negara yang telah ia dirikan ini. Namun tidak demikian yang terjadi.
Banyak cerita kesederhanaan dapat kita telusuri misalnya dari Iding Wangsa Widjaja, mantan orang terdekat Bung Hatta. Saking dekatnya, Iding sempat diangkat menjadi sekretaris semasa Bung Hatta menjadi Wakil Presiden Indonesia. Karenanya, Wangsa dianggap loyalis Bung Hatta.
Iding yang awalnya diangkat Bung Hatta sejak 6 Maret 1943, sebagai pegawai Pusat Tenaga Rakyat (Putera) terus menemani perjuangan Bung Hatta dalam berbagai posisi maupun keadaan, hingga sang Pahlawan Proklamator meninggal dunia.
Setelah Bung Hatta berpulang, Iding banyak menuangkan pengalaman hidupnya bersama orang nomor dua negara itu. Misalnya merangkum Kumpulan pidato dari tahun 1942-1949 Mohammad Hatta (1981), Bunga Rampai Nilai-Nilai Perjuangan Perintis Kemerdekaan di DKI Jakarta (1985), dan lainnya. Kedekatan dan salah satu 'sumber primer Bung Hatta' ini pun turut ditulis biografinya oleh Departemen Sosial kala itu dengan judul Autobiografi I. Wangsa Wijaya Selaku Perintis Kemerdekaan (1986).
Di antara serpihan ingatan Iding Wangsa Widjaya adalah ketika Bung Hatta hendak berangkat haji pada 1952. Sebagai wakil presiden, Bung Hatta punya kesempatan besar untuk mendapatkan pelayanan khusus sebab hak negara sudah 'berada di genggamannya'. Bung Hatta juga akrab dengan kolega-kolega penting di pemerintahan Arab Saudi. Untuk niatan haji bersama istri dan dua saudarinya adalah perkara mudah.
Gayung bersambut, ketika itu Bung Karno pun sudah menawarkan pesawat terbang khusus yang biayanya sudah dapat ditanggung negara. Alih-alih diterima, Bung Hatta malah menolak. Bung Hatta menyampaikan ingin pergi haji sebagai rakyat biasa, bukan sebagai wakil presiden. Ia pun mengikuti rombongan haji bersama gerombolan rakyat lainnya. Pun lagi-lagi bukan uang negara atau ada keterkaitan dengan negara, Bung Hatta menunaikan rukun Islam kelima itu dari hasil honorarium penerbitan beberapa bukunya.
Jika ditelaah, ingatan Iding dan sikap Bung Hatta ini memang penuh keteladanan. Sebab pada tahun 1952, Indonesia baru saja mendirikan perusahaan pelayaran PT. Pelayaran Muslim sebagai satu-satunya Panitia Haji dan diberlakukan sistem quotum (kuota) serta pertama kali diberlakukan transportasi haji udara. Adapun sebelumnya, pada 1951, terdapat Keppres Nomor 53 Tahun 1951, berisikan penghentian keterlibatan pihak swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji dan mengambil alih seluruh penyelenggaraan haji oleh pemerintah.
Artinya, dengan dibukanya satu pintu pelayanan haji oleh pemerintah (Kementerian Agama kala itu), juga dimulainya pola transportasi udara, maka kemungkinan adanya persiapan pembludakan (bahkan chaos) bisa saja terjadi. Jika tawaran menggunakan pesawat khusus diterima Bung Hatta, maka akan muncul syakwasangka para jemaah lainnya terhadap sikap yang diambilnya.
Bergabungnya Bung Hatta pada pelaksanaan haji bersama gerombolan jemaah umum setidaknya mampu menjadi momentumnya untuk melihat proses pelaksanaan secara langsung, walaupun ia sebenarnya bisa saja duduk dengan fasilitas khusus dan mendapat informasi dari bawahannya. Bung Hatta juga sepertinya memperkirakan kebutuhan finansial selama pelaksanaannya, sebab ia membawa beberapa anggota keluarga di tengah kehidupan yang sederhana.
Di tengah kehidupan bernegara, pada kisah ini, Bung Hatta mengingatkan kita sebuah pandangan ahli tentang apa yang dinamakan sebagai Political Sense and Sensibility. Kebutuhan negara tidak saja berkutat pada langkah-langkah politik serta kebijakan berbasis sidang dan rapat, tapi juga kemampuan berkomunikasi dengan cara yang lebih ampuh: sensitivitas melihat keadaan umum.
Tentu saja tidak instan dan mudah, Gramsi dalam The Modern Prince (1930) pun juga jauh hari mewanti-wanti, bahwa komunikasi seorang pemimpin itu seringkali tidak mudah. Karena perasaan orang di bawahnya tidak dapat diketahui dan tidak dapat dikomunikasikan dengan bahasa. Haruslah sebuah cara, yakni kemampuan penggunaan 'bahasa khusus' dan abstrak yang berisikan perilaku biasa dan penuh perasaan. Sebab, 'bahasa' itu juga dipahami oleh rakyatnya.
Bung Hatta tidak saja sedang menasihati kita, tapi juga memberi pengingat kepada penerusnya. Bahwa kemampuan dalam merasakan keadaan rakyatnya, adalah syarat profetik menjadi seorang pemimpin. Pemimpin memang bukan sekadar aktor politik, tapi aktor politik yang sering muncul di media adalah bagian dari pemimpin.
Sayangnya, kini sudah masuk era digital, di mana glamoritas dengan mudah dilihat oleh para pengangguran yang sedang kesulitan kerja, pekerja lepas yang napasnya kembang kempis, para guru honorer yang hidupnya berkecukupan, hingga nyawa-nyawa yang melayang karena putus asa terjerat pinjaman online.
Kiranya, seperti apa gerangan perasaan Bung Hatta saat ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar