Drama internal PBNU semakin mengkristal setelah dipastikan Pleno PBNU digelar pada 9-10 Desember 2025 di Hotel Sultan Jakarta. Ini bukan pleno biasa. Untuk pertama kalinya pleno digelar oleh kubu Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar tanpa melibatkan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, dua figur yang sama-sama dipilih oleh Muktamar dan sama-sama memegang legitimasi tertinggi organisasi.
Publik Nahdliyin pun Bertanya: Ada Apa Sebenarnya?
Risalah Syuriyah, balasan konsolidasi Tanfidziyah, pergantian Sekjen, hingga pleno sepihak kini menjadi mata rantai dinamika yang makin menegang. PBNU—yang selama ini menjadi jangkar keteduhan umat—justru sedang bergerak di pusaran konflik antar-elite. Padahal, satu hal harus selalu diingat: NU terlalu besar untuk menjadi arena perebutan ego.
Dari sisi Hukum Tata Negara, persoalan ini bukan sekadar saling klaim kewenangan. Mengacu pada teori Hans Kelsen, inti legitimasi terletak pada forum pemberi mandat, bukan pada pejabat yang sedang duduk. Rais Aam tidak mendapat mandat dari Ketua Umum, begitu pun sebaliknya. Keduanya mendapat mandat dari Muktamar. Karena itu, keduanya setara dalam legitimasi.
Artinya jelas: selama Muktamar belum mencabut mandat Ketua Umum, tidak ada organ di bawah Muktamar yang dapat membatalkan legitimasi Ketua Umum. Jika pleno mengambil keputusan strategis tanpa Ketua Umum, konflik bukan selesai, melainkan justru menghasilkan krisis legitimasi baru.
Dari sisi politik, pola perebutan pengaruh ini mirip konflik elite. Syuriyah membawa legitimasi moral-keulamaan dan Tanfidziyah membawa legitimasi legal-organisatoris. Dua legitimasi sama kuat, tapi saling meniadakan. NU tidak sedang berjalan dalam logika prosedur, melainkan logika manuver kekuasaan. Dan ketika kekuasaan menjadi bahasa utama, kebijaksanaan ulama kehilangan panggungnya.
NU bukan organisasi sekuler. NU hidup melalui etika maqāṣid al syarī'ah, tujuan syariat dalam melindungi kemaslahatan umat dan mencegah kerusakan sosial. Itu sebabnya kaidah ushul fiqh Dar'ul mafāsid muqaddamun 'alā jalbil maṣāliḥ menegaskan bahwa menghindari mudarat lebih utama daripada meraih kemaslahatan.
Kaidah Taṣarruful imām 'alā r-ra'iyyah manūṭun bil-maṣlaḥah mengikat setiap pemimpin agar keputusan hanya sah sejauh membawa keteduhan jemaah.
Dengan standar itu, tindakan apa pun—entah risalah, konsolidasi balasan, pergantian pejabat, atau pleno sepihak—tak punya legitimasi moral bila menambah keresahan jemaah, meskipun bisa dibenarkan secara administratif.
Konflik PBNU hari ini memunculkan pertanyaan yang tidak sekadar legal, tapi moral: Siapa yang paling berani mengalah demi menjaga NU tetap teduh?
NU pernah melewati dinamika besar di masa lalu, bahkan lebih keras. Namun, NU selamat karena ulama memilih musyawarah, bukan saling menjatuhkan. Tradisi itu tidak boleh hilang.
Karena itu, jalan paling bermartabat tidak memperkeras benturan, tetapi mengembalikan penyelesaian ke mekanisme tertinggi: Majelis Tahkim dan Muktamar. Di ruang itulah NU menjaga hukum, keteduhan, sekaligus martabat.
Pada akhirnya, konflik ini bukan soal siapa yang menang, melainkan soal siapa yang menjaga NU tetap menenangkan. Ulama diingat bukan karena suaranya paling keras, melainkan karena hatinya paling lapang untuk mengalah demi umat. Dan NU akan tetap besar bukan karena elitenya mampu saling membungkam, melainkan karena elitenya mampu menundukkan ego; demi jemaah, demi marwah ulama, dan demi NU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar