Peter Carey yang 'hidup' dengan Pangeran Diponegoro masih menggebu saat menjelaskan perjuangan salah satu pemimpin terbesar Perang Jawa Itu. Dengan suara parau, Peter menyebut sang pangeran adalah martabat bangsa Indonesia.
Berpolah seperti guru, sejarawan asal Inggris itu, mengungkap magis Perang Jawa dan peran sentral Pangeran Diponegoro.
Mengawali ceramahnya, Peter membuka dengan mengupas sedikit tulisannya 'Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1795-1855'.
"Berusaha menegakkan martabatnya dengan jalan yang tak diduga orang-orang Belanda yang menghinanya. Dia memimpin pasukan untuk melawan Belanda di Perang Jawa pada 1825 yang berlangsung sekitar lima tahun dan amat memusingkan Belanda," kata Peter dalam diskusi di Perpustakaan Nasional soal 200 Perang Jawa, dikutip Senin (28/7).
Saat itu Pangeran Diponegoro dipermalukan oleh para pejabat Belanda. Assiten Residen, Henri Chavalier mengatakan ia meniduri selir Diponegoro lalu dikembalikannya.
Pangeran Diponegoro pun membantah. Katanya, ia tak memelihara selir, di saat itu Henri memukul kepala Diponegoro.
Salah satu versi cerita Pangeran Diponegoro di Leiden Foto: Daniel Chrisendo/kumparan
Itu hanyalah awal dari sketsa perang Jawa.
Perang Jawa yang dikobarkannya selama 5 tahun mengakibatkan keuangan Hindia Belanda goncang. Peter dalam bukunya menjelaskan, salah satu akibat dari hal itu adalah wilayah selatan Belanda yang berbatasan dengan Prancis pun memisahkan diri. Lalu ia kini dikenal menjadi Belgia.
"Jadi memang Diponegoro tidak menang, tapi dia membuat satu Suri tauladan yang sekarang kita akan selami 200 tahun ini," ujar Peter yang sudah meneliti Pangeran Diponegoro sejak 1975 itu.
Dalam karyanya, Peter Carey menjelaskan, kurang lebih ada 108 kiai, 31 haji, 15 syekh, 12 penghulu Keraton Yogyakarta, dan 4 kiai-guru (mursyid tarekat) yang turut berperang bersama Diponegoro.
"Yang paling terkenal tentu saja Kiai Mojo, ideolog Perang Jawa yang banyak disebut sebagai penasihat spiritual-intelektual sang pangeran."
Diskusi 200 Perang Jawa di Perpusnas. Foto: Wisnu Prasetiyo/kumparan
Dukungan dari para ulama datang karena sejak kecil Diponegoro sering mengunjungi berbagai pesantren di wilayah Yogyakarta, serta ditempa secara spiritual oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng, yang dikenal salehah.
Sementara itu, sejarawan dan pengajar dari Universitas Negeri Yogyakarta, dr Eka Ningtyas mengatakan, Perang Jawa bukan sekadar perlawanan 5 tahun yang berakhir kekalahan.
"Perang Jawa atau banyak dikenal juga dengan sebutan perang di Diponegoro meletus sebagai bentuk jawaban rakyat terhadap ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan kelaliman kaum kolonial Hindia Belanda," kata Eka.
"Perlawanan selama lima tahun yang nyaris tanpa henti itu mengobarkan semangat membara."
Pangeran Diponegoro menyadarkan seluruh lapisan masyarakat. Bukan hanya ulama, militer, tapi juga petani dan rakyat kecil lainnya.
"Seluruh lapisan masyarakat yang sadar akan harga dirinya dan harga diri bangsanya baik itu kaum petani, para santri, prajurit, hingga kaum bangsawan," kata Eka.
Pada 11 November 1829, Pangeran Diponegoro nyaris tertangkap oleh pasukan gerak cepat yang dipimpin oleh Mayor AV Michiels di daerah Pegunungan Gowong, barat daya Kedu.
Pangeran Diponegoro terpaksa terjun ke jurang dan setelah itu tidak terlihat di mana pun, seolah ditelan bumi.
"Meski akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap akibat siasat licik penjajah kemudian diasingkan ke Manado tekadnya untuk menegakkan martabat tak lekang sampai sekarang," tutup Eka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar