Menko Polhukam Mahfud MD membuka data bahwa ada temuan dari PPATK soal pencucian uang mencapai Rp 189 triliun yang dilaporkan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Laporan tersebut disampaikan pada 2017 dan 2020.
Mahfud mengatakan, dari hasil analisis PPATK, ada dugaan pencucian uang cukai melibatkan 15 entitas. Namun, laporan PPATK itu, diubah dari cukai menjadi laporan pajak. Tidak dijelaskan siapa yang mengubah laporan tersebut.
"Itu adalah dugaan pencucian uang cukai dengan 15 entitas. Tapi apa laporannya? Menjadi pajak. Sehingga kita diteliti, oh iya ini perusahaannya banyak pajaknya, padahal ini cukai. Apa itu? Emas," kata Mahfud dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, Rabu (29/3).
Mahfud mengatakan, impor emas batangan ini mahal, sehingga harus dikenai cukai. Namun, dalam temuan PPATK, laporan impor emas itu diubah menjadi seolah-olah emas mentah. Padahal, emas itu merupakan emas batangan jadi.
"Diperiksa PPATK, diselidiki. Gimana, kamu kan emasnya emas jadi kok bilang emas mentah?" kata Mahfud.
Dalam penelusuran kepada pihak terkait, PPATK mendapat jawaban bahwa emas itu mentah, diolah di Surabaya. Namun setelah ditelusuri, hal tersebut fiktif.
"Dicari di Surabaya enggak ada, dan itu menyangkut uang miliaran. Laporan itu diberikan tahun 2017. Oleh PPATK. Bukan 2020. 2017 diberikan, tidak pakai surat tapi diserahkan oleh Ketua PPATK langsung kepada Kemenkeu yang diwakili Dirjen Bea Cukai, Irjen kemenkeu, dan sebagainya," kata Mahfud.
Namun kendalanya, dugaan pencucian uang yang seharusnya kena cukai emas jadi tetapi jadi emas mentah, itu tak kunjung diusut. Sehingga, pihak PPATK kembali mengirimkan lagi datanya pada 2020. Tetapi tetap tidak sampai ke Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan. Barulah saat ini informasi tersebut terbuka jelas.
"Dua tahun enggak muncul. Tahun 2020 dikirim lagi, enggak sampai lagi ke Bu Srimul. Jadi bertanya lagi ketika kami jelaskan itu," kata Mahfud.
"Yang kasus 189 itu, adalah itu untuk 15 entitas tapi hanya dikeluarkan satu entitas. Padahal di laporan kami 15, lalu diambil satu, ini sudah selesai pajak katanya. Nanti dicek," sambungnya.
Ketua PPATK Ivan Yustiavandana kemudian menjelaskan soal temuan transaksi mencurigakan hingga Rp 189 triliun tersebut. Dia menyebut, transaksi itu terkait kepabeanan, fasilitas impor. Sehingga dalam hal ini, penyelidiknya adalah Bea Cukai.
Berangkat dari situ, PPATK melaporkan temuannya ke Kemenkeu. Laporan pertama disampaikan pada 2017, dengan subjek terlapor yang sama. Nilainya saat itu masih Rp 180 triliun. Itu merupakan data dari tahun 2014-2016.
Kemudian, PPATK melakukan pemeriksaan ulang pada 2017-2019. Laporannya disampaikan oleh PPATK pada 2020 dengan nilai transaksi Rp 189 triliun.
"Sehingga kalau mau digabung, angkanya Rp 180 T plus Rp 189 T," kata Ivan dalam kesempatan yang sama.
Ivan menyebut, pemeriksaan ulang pada 2017-2019 dilakukan karena subjek mengubah pola transaksi dengan mengubah entitas.
"Tadinya dia aktif di satu daerah, dia pindah ke tempat lain. Tadinya dia pakai nama tertentu, kemudian pakai nama lain. Sehingga kami berasumsi yang kemudian sama dengan faktanya, yang bersangkutan paham bahwa sudah ada pemeriksaan dari PPATK sehingga mengganti entitas subjeknya," kata Ivan.
Meski demikian, keduanya tak membeberkan siapa pihak yang melakukan transaksi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar