Search This Blog

Makna Penundaan EUDR Bagi Indonesia

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Makna Penundaan EUDR Bagi Indonesia
Dec 9th 2024, 17:31, by Tim kumparan, kumparanNEWS

Hamparan kebun sawit di Siak, Riau. Dari pohon sawit inilah berbagai macam olahan minyak sawit dihasilkan dan berkualitas ekspor. Foto: Rizky Lutfiansyah/kumparan
Hamparan kebun sawit di Siak, Riau. Dari pohon sawit inilah berbagai macam olahan minyak sawit dihasilkan dan berkualitas ekspor. Foto: Rizky Lutfiansyah/kumparan

Desember ini menjadi bulan yang cukup penting bagi Indonesia. Kemungkinan besar ekspor beberapa komoditas utama seperti sawit dan kawan-kawannya ke Uni Eropa masih terus melenggang tanpa banyak hambatan sampai akhir tahun depan.

Namun setelah itu, tidak tertutup kemungkinan sudah harus bisa dibuktikan bahwa komoditas dimaksud secara ilmiah tidak terkait dengan deforestasi.

Angin sejuk pengunduran waktu pelaksanaan EUDR (European Union Deforestation Free Regulation) selama 12 bulan ke depan, mendapatkan tanggapan beragam.

Pemerintah Indonesia dan beberapa negara produsen komoditas yang terdiri dari minyak sawit, kayu, karet, kakao, kopi, kedelai dan ternak, menyambut baik rancangan keputusan yang kini telah disodorkan oleh Komisi Uni Eropa.

Itu artinya, selama 12 bulan ke depan, ekspor berbagai komoditas itu ke UE bisa dilaksanakan menggunakan aturan main yang selama ini berlaku.

Namun tidak sedikit dari masyarakat sipil kita yang menyayangkan penundaan tersebut. Bukan maksud mereka agar komoditas kita tertolak di Eropa, namun mereka berkilah bahwa pemaksaan aturan yang lebih awal, justru bisa membuat Indonesia dan bangsa-bangsa lain bisa menginjak rem deforestasi dalam-dalam demi pelestarian alam.

Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA FOTO
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA FOTO

Banyak ahli berpendapat, penundaan itu tidak akan bisa dinegosiasikan lagi. Artinya pihak Uni Eropa hanya perlu persiapan teknis (setahun) untuk pelaksanaan di lapangan, di sisi lain negara eksportir perlu lebih sigap untuk menyediakan aneka dokumen pelik yang memastikan bahwa produk dimaksud tidak terkait dengan deforestasi.

Di sinilah ketertelusuran (traceability) dan ketentuan lainnya harus bisa membuktikan secara ilmiah tidak adanya sangkut-paut antara komoditas dan degradasi hutan yang merupakan paru-paru dunia.

Meskipun begitu, aura kemenangan pun kadang tidak bisa disembunyikan oleh sebagian pemerintah negara pengekspor berbagai komoditas tersebut.

Mereka mungkin sedikit merasa jemawa karena telah mampu "menaklukkan" raksasa peradaban dunia, Eropa. Yang mereka lupa, bahwa sebenarnya Uni Eropa hanya sekadar mengulur waktu untuk kemudian akan tegas memberlakukan EUDR di maksud tanpa pandang bulu di akhir tahun depan.

UU yang sudah disiapkan sejak 2022 tersebut adalah sebuah keputusan politis atas pertimbangan yang sangat dalam.

Persiapan Menuju Deforestasi

Salah satu negara yang bisa mungkin akan mengalami kerumitan dalam menghadapi implementasi EUDR akhir tahun depan antara lain Indonesia.

Bukan hanya para petaninya yang masih berpendidikan relatif rendah sehingga tidak mampu mengumpulkan semua persyaratan yang demikian banyak, namun juga karena sampai saat ini tumpang tindih lahan (sawit) dengan kawasan hutan tidak mudah diurai.

Sudah banyak ide-ide untuk menyelesaikannya, namun hasil yang nyata masih perlu ditunggu bersama.

Tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan yang luasnya lebih dari 3 juta hektare ini lebih merupakan masalah yang semestinya bisa diurai oleh pemerintah.

Jika dikatakan bahwa sawit Indonesia tahun ini dapat menyumbang kisaran Rp 750 triliun, maka sejatinya tidak ada kata yang lebih tepat kecuali segera mengambil kebijakan yang jelas mana wilayah hutan mana wilayah sawit.

Maklum sajalah, sebagian yang diklaim kawasan hutan itu ternyata berupa desa berpenghuni dan perkebunan yang sudah ada sebelum kawasan itu ditetapkan. Bagus juga kalau kemudian dilakukan "pemutihan" dengan cara yang baik dan bijak sesuai aturan yang berlaku.

Yang jelas, tidak ada istilah mundur-mundur lagi, sebab satu tahun penundaan EUDR itu tidak akan lama.

Ilustrasi perkebunan sawit. Foto: Shutterstock
Ilustrasi perkebunan sawit. Foto: Shutterstock

Sebagaimana diketahui, salah satu alasan Indonesia untuk menolak EUDR adalah karena hal tersebut diperkirakan akan banyak merugikan petani. Bagaimana tidak, rata-rata petani kita berpendidikan menengah dan tidak melek terhadap isu-isu yang bersifat internasional.

Bagi mereka, hasil produk mereka laku dengan harga bagus di pasaran sudah merupakan berkah tersendiri. Meski demikian, saat ini petani sawit mulai banyak yang paham tentang hal-hal terkait dengan isu internasional tentang sawit.

Mulai Desember ini, semestinya sudah bisa dipastikan roadmap sawit Indonesia yang terkait dengan ketertelusuran dan hal-hal lain yang menyangkut EUDR ataupun kemungkin-kemungkinan desakan negara importir lainnya.

Roadmap itu hendaknya sudah melalui sebuah kajian yang sangat mendalam sehingga hampir bisa dipastikan dapat terlaksana dengan SDM dan sistem yang ada.

Undang semua ahli tentang sawit termasuk perusahaan-perusahaan serta perwakilan petani yang tergabung dalam koperasi untuk menyumbang pendapat bagi kesinambungan industri sawit Indonesia.

Belajar dari penerapan kebijakan peremajaan sawit rakyat (PSR) yang relatif terseok-seok, persiapan menghadapi pasar internasional setahun ke depan tidak bisa dianggap enteng dan sepele.

Semua stakeholder harus memiliki komitmen kuat untuk tidak neko-neko dalam menjalankan roadmap yang kiranya sudah disiapkan tersebut.

Dr. M Aji Surya, pemerhati sawit nasional. Foto: Dok. Pribadi
Dr. M Aji Surya, pemerhati sawit nasional. Foto: Dok. Pribadi

Waktu setahun akan terbang begitu saja manakala tidak ada komitmen dari semua pihak untuk melaksanakannya. Kita tidak ingin, tahun depan isinya kembali negosiasi dengan berbagai dalih, padahal aslinya karena kita tidak siap.

Kita tetap saja akan menego hal-hal yang musykil pelaksanaanya di lapangan. Namun untuk hal-hal prinsip yang bisa telah menjadi pemahaman bersama, sebaiknya sudah tidak diangkat di meja perundingan.

Salah satu contoh yang paling jelas, sebaiknya dihindari pembukaan hutan secara besar-besaran untuk keperluan perkebunan sawit atau komoditas lain yang telah dicanangkan oleh EUDR.

Manakala ini terjadi, maka akan meningkatkan tensi dengan Uni Eropa atau bahkan juga dengan negara-negara yang punya concern terhadap lingkungan. Selain itu, negosiasi yang akan terjadi pun dipastikan akan alot sekali.

Negara-negara pengekspor komoditas yang termaktub dalam EUDR tersebut akan memanfaatkan waktu setahun ke depan untuk berlomba-lomba mempersiapkan diri.

Malaysia misalnya, diyakini akan segera membuat persiapan yang demikian rapi sehingga tidak akan mengalami masalah saat berhadapan dengan Uni Eropa. Bila kita tidak ikut berlomba-lomba mempersiapkan diri, persiapkan untuk bernegosiasi seorang diri.

Oleh: Dr. M Aji Surya, pemerhati sawit nasional

Media files:
01jb1vt9qcgmt6sk377cmjrsyd.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar