Jul 11th 2023, 11:22, by Fariza Rizky Ananda, kumparanBISNIS
Pengesahan RUU Kesehatan akan diputuskan pada Rapat Paripurna DPR RI ke-29 Masa Sidang V Tahun 2022-2023 hari ini, Selasa (11/7). Beleid ini masih diprotes oleh publik, terutama para tenaga kesehatan, salah satunya terkait penghapusan alokasi anggaran (mandatory spending) kesehatan di APBN sebesar 5 persen.
Praktisi Kesehatan Masyarakat, Wildan Kurniawan, menyebutkan penghapusan mandatory spending kesehatan dari APBN tidak tepat bahkan jika alasannya untuk memperbaiki inefisiensi anggaran program kesehatan.
Menurut Wildan, penganggaran berbasis kinerja dan money follow program yang dicetuskan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di omnibus law tersebut bahkan sudah dilakukan sejak tahun 2014.
"Jadi apa yang baru? Hasilnya gimana? Semua tau hasilnya. Berarti kuncinya bukan salah di mandatory spending. Tapi inefisiensi. Inefisiensi di sini terjadi karena modal uang yang ada tidak bisa direalisasikan menjadi outcome kesehatan yang bagus," ujarnya melalui cuitan di akun Twitter @wrkurniawan_ dikutip Selasa (11/7).
Dengan begitu, dia menilai penghapusan mandatory spending tidak tepat lantaran yang perlu diperbaiki oleh pemerintah adalah efisiensi program kesehatan itu sendiri mulai dari perencanaan, eksekusi, hingga monitoring dan evaluasinya.
"Dalam perencanaan anggaran kesehatan, tidak akan terlepas dari situasi politik pemerintah dan legislatif. Dihapusnya kepastian hukum ini menghambat tercapainya rekomendasi rasio anggaran kesehatan atau bahkan menurunkan anggaran," jelasnya.
Selain itu, lanjut Wildan, penghapusan mandatory spending akan melemahkan status quo kewajiban pemerintah untuk menjamin ketersediaan layanan kesehatan. Sebab, mandatory spending adalah bentuk komitmen politik pemerintah kepada masyarakat.
Hal ini mengingat meskipun ada mandatory spending 5 persen, anggaran kesehatan Indonesia terbilang masih sangat kecil hanya 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini belum sesuai dengan ketentuan belanja kesehatan oleh World Health Organization (WHO) sebesar 4-5 persen dari PDB.
"Penghapusan mandatory spending ini dalam jangka panjang juga berisiko memperburuk outcome kesehatan dan mengganggu ketahanan nasional," sambung Wildan.
Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai dampak penghapusan mandatory spending kesehatan di APBN akan sangat luas. Salah satunya, tidak ada jaminan anggaran untuk program prioritas kesehatan.
"Misalnya untuk stunting menjadi anggaran yang nilainya tidak sebesar saat ini, padahal masih banyak daerah-daerah prevalensi stunting yang tinggi. Kemudian juga pembenahan faskes terutama di daerah terpencil dan terluar," jelasnya.
Bhima melanjutkan, penganggaran kesehatan berbasis kinerja juga tidak menjamin kualitas dari penganggaran kesehatan akan jauh lebih baik, daripada mandatory spending yang saat ini dinilai tidak dibelanjakan dengan efisien.
"Kalau masalah yang ada saat ini banyak belanja birokrasi, banyak belanja yang tidak relevan dengan program utama, kan ada fungsi BPK untuk melakukan audit dan melakukan tindak lanjut untuk memperbaiki kualitas belanja kesehatan," imbuhnya.
Selain itu, dia juga khawatir kebijakan ini bukan bertujuan memperbaiki anggaran kesehatan tapi lebih kepada upaya memperkecil kontribusi anggaran kesehatan terhadap peningkatan defisit APBN yang sudah tidak boleh lebih dari 3 persen.
"Ini kan aneh, mandatory spending kesehatannya dicabut tapi proyek membutuhkan anggaran besar seperti IKN dan infrastruktur mendapatkan porsi yang sangat besar dalam APBN, saya kira ini tidak fair," tegas Bhima.
Terakhir, Bhima menyebutkan tidak adanya jaminan anggaran kesehatan di APBN juga mengindikasikan kondisi liberalisasi dan komersialisasi sektor kesehatan, di mana swasta akan berperan lebih besar sehingga akses kesehatan bagi masyarakat kecil semakin menyusut.
"Pencabutan mandatory spending ini khawatir juga porsi anggaran kesehatan dari total APBN tidak mencapai 5 persen dan itu artinya akan terjadi liberalisasi dana kesehatan yang lebih banyak mengandalkan peran dari swasta atau komersialisasi di sektor kesehatan," pungkasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar