Aug 15th 2023, 21:14, by Sigit Setiawan, Peneliti BRIN, Sigit Setiawan, Peneliti BRIN
Transformasi suatu negara menjadi negara berpenghasilan tinggi tidaklah datang serta-merta, melainkan melalui kebijakan nasional yang terarah, terukur, dan konsisten.
Sebagai antitesis terhadap teori comparative advantage David Ricardo, Stiglitz (2010) dan Reinert (2007) menyampaikan pentingnya suatu negara memikirkan dan memfokuskan diri pada kebijakan yang mendorong keunggulan komparatif nasional jangka panjang, yang memberikan banyak nilai tambah dan efek pengganda ke dalam perekonomian nasional.
Keunggulan berbasis komoditas atau bahan baku adalah keunggulan komparatif jangka pendek. Negara yang mengambil spesialisasi pada keunggulan berbasis komoditas dengan menyediakan bahan mentah kepada negara-negara lain di dunia cepat atau lambat akan mencapai titik terjadinya diminishing return.
The law of diminishing return menyatakan bahwa jika satu faktor produksi telah diproduksi oleh alam (seperti di pertanian, perikanan, dan pertambangan)—pada titik tertentu penambahan lebih banyak modal dan atau lebih banyak tenaga kerja akan menghasilkan return yang lebih kecil untuk setiap unit modal atau tenaga kerja yang ditambahkan.
Untuk menjadi negara berpendapatan tinggi di masa depan seperti halnya Jepang dan Korea Selatan, Indonesia harus melakukan kebijakan hilirisasi atau transformasi kegiatan produksi dan ekspornya dari ekonomi berbasis komoditas sumber daya alam menjadi ekonomi berbasis komoditas hasil industri pengolahan (manufaktur).
Bersandar pada keunggulan pada industri pengolahan (manufaktur) menjadikan suatu negara memiliki keunggulan komparatif jangka panjang. Belajar dari pengalaman historis negara-negara maju di Eropa, Amerika, maupun Asia Timur, kunci sukses negara-negara tersebut terletak pada kebijakan nasionalnya mendorong sektor pengolahan (manufaktur).
Hilirisasi Industri Era Modern, Dimulai Dari Inggris
Baik sekali bagi negara-negara berkembang—termasuk Indonesia—untuk belajar dari sejarah hilirisasi dari Inggris. Pada awal perekonomiannya, Inggris bersandar pada industri berbasis komoditas.
Namun, kemudian intervensi kebijakan hilirisasi dari raja Inggris menyebabkannya kini bertumpu pada sektor pengolahan (manufaktur). Kesuksesan Inggris ini telah ditiru oleh negara-negara Eropa seperti Jerman dan Prancis, kemudian Amerika Serikat dan negara-negara Asia Timur yaitu Jepang dan Korea Selatan.
Kebalikannya adalah Mongolia dan Peru. Industri Mongolia lenyap pada awal tahun 1990-an. Demikian pula dengan Peru yang mengalami deindustrialisasi dan penurunan upah riil pada periode 1950-1997 karena mengandalkan pada keunggulan komparatif berbasis sumber daya alam (Roca, S., dan Simabuko, L., 2004).
Inggris merupakan model dan contoh negara yang sukses bertransformasi dari negara kaya bahan baku namun miskin pendapatan menjadi negara berpendapatan tinggi.
Kebijakan Raja Henry VII dari Inggris dan keluarga pewaris takhtanya—kebijakan tersebut dikenal dengan nama Tudor Plan—membuatnya dikenang dalam sejarah sebagai pelopor pembangunan hilirisasi industri di Inggris.
Pada saat ia mulai naik tahta pada tahun 1485, Inggris masih merupakan negara miskin. Inggris dengan kelimpahan sumber bahan baku wol yang dimilikinya, mengekspor komoditas tersebut dengan harga murah ke berbagai negara di benua Eropa.
Produk jadi tekstil terbuat dari wol tersebut kemudian diekspor dengan harga mahal dari kota-kota perdagangan di benua Eropa ke berbagai negara, termasuk ke Inggris si negara asal bahan bakunya.
Kota-kota di Eropa sebagai basis produksi tekstil dari wol seperti Burgundy (Prancis), dan kota-kota yang memperdagangkan produk jadi tekstil wol seperti Rotterdam dan Amsterdam (Belanda), Venice dan Florence (Italia) tumbuh menjadi kota yang makmur. Sebaliknya, Inggris tetap miskin.
Sadar akan kenyataan tersebut, Henry VII yang menghabiskan waktu kecil dan remajanya di Burgundy (Prancis) berinisiatif mengubah kebijakan negaranya. Henry VII merumuskan satu paket kebijakan ekonomi yang cakupannya luas, yang kemudian dilanjutkan oleh para penerus takhtanya.
Langkah pertama dan terpenting adalah mengurangi tingkat daya saing produsen tekstil asing melalui kebijakan pengenaan pajak ekspor atas bahan baku wol dari Inggris. Seiring dengan harga wol yang semakin mahal, akibatnya biaya produksi pemrosesan produk jadi wol oleh produsen tekstil asing juga menjadi lebih mahal.
Selanjutnya, langkah kedua adalah peningkatan daya saing industri wol yang baru berdiri di Inggris melalui insentif fiskal (bisa pembebasan pajak atau pemberian subsidi) untuk satu periode waktu tertentu, dan pemberian hak monopoli untuk cakupan geografis dan periode waktu tertentu.
Langkah ketiga adalah kebijakan insentif untuk menarik para ahli produksi wol dan investor asing, khususnya dari Belanda dan Italia, untuk bermigrasi ke Inggris.
Kebijakan Henry VII melalui Tudor Plan menyebabkan kapasitas industri pengolahan wol Inggris terus tumbuh, hingga akhirnya mampu mengolah semua bahan baku wol yang dihasilkan di Inggris. Pada sekitar tahun 1585, di jaman ratu Elizabeth I, Inggris melarang bahan baku wol diekspor ke luar Inggris.
Sejak itu, Inggris telah berubah dari negara pertanian miskin menjadi negara pengekspor tunggal produk tekstil dari wol ke benua Eropa melalui industrialisasi wol.
Sedangkan industri tekstil wol dan kota-kota perdagangan di benua Eropa yang sebelumnya sukses memproduksi dan mengekspor produk jadi wol, menjadi tidak mampu bersaing dengan Inggris dan berakhir dengan kebangkrutan.
Belajar Dari Korea Selatan
Contoh terkini tentang keberhasilan suatu negara menjadi negara berpendapatan tinggi adalah Korea Selatan—negara yang di tahun 1960 berdasarkan data World Bank, lebih miskin dari Kongo, Zambia, dan Zimbabwe.
Korea Selatan merupakan contoh yang baik untuk belajar bahwa kebijakan pemerintah yang seharusnya dipilih adalah desain kebijakan yang memiliki fokus pada keunggulan komparatif jangka panjang, dan bukan keunggulan komparatif hari ini atau saat ini, atau yang bersifat jangka pendek.
Dengan pendapatan per kapita tahun 2022 sebesar USD 33,644 (konstan, 2015 USD) berdasarkan data World Bank, kini Korea Selatan telah memiliki tingkat pendapatan yang tinggi di atas Portugal, Yunani, Spanyol, bahkan Italia dan mendekati rata-rata negara Uni Eropa.
Menilik era 1970-an, keunggulan komparatif nasional jangka pendek Korea adalah di beras, bukan dalam industri elektronika dan mobil seperti yang diketahui saat ini.
Namun kemudian, Korea Selatan meyakini bahwa dengan bersandar pada keunggulan komparatif jangka pendek di sektor pertanian, negara tersebut tidak akan pernah dapat naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah dan selanjutnya negara berpendapatan tinggi.
Oleh karenanya, pemerintah Korea Selatan memilih untuk mengembangkan keunggulan komparatif di industri semikonduktor dan otomotif, walau di sisi lain tetap memproteksi sektor pertaniannya.
Pemerintah Korea kemudian memutuskan untuk menginvestasikan dalam pendidikan dan teknologi untuk mentransformasi keunggulan komparatifnya dan meningkatkan standar kehidupan masyarakatnya.
Contoh intervensi kebijakan pemerintah Korea Selatan adalah subsidi pelatihan, subsidi ketenagakerjaan, subsidi output, dan subsidi penyebaran ilmu pengetahuan. Program tersebut berhasil dan mengubah masyarakat dan ekonominya (Stiglitz, 2010).
Sebagaimana diketahui bersama, Indonesia merupakan negara yang memiliki kelimpahan bahan baku, baik komoditas pertanian maupun pertambangan.
Memetik pelajaran dari kesuksesan Inggris dan Korea Selatan di atas, kebijakan hilirisasi untuk membangun industri pengolahan (manufaktur) yang kuat menjadi jawaban bagi Indonesia untuk menjadi negara maju dan berpendapatan tinggi.
Untuk komoditas energi minyak dan gas yang dimiliki Indonesia misalnya, maka keunggulan komparatif Indonesia dalam jangka panjang akan diperoleh bila Indonesia memiliki industri pengilangan, industri petrokimia, dan industri ban yang kokoh.
Untuk pengolahan komoditas sawit, maka kebijakan hilirisasi ditujukan untuk menumbuhkan industri minyak goreng, makanan, dan minuman, serta industri pupuk, kosmetik dan sabun. Dan untuk mencapai kondisi tersebut, diperlukan dukungan kebijakan pemerintah yang terukur, terarah, dan konsisten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar