Search This Blog

Menormalisasi Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Masyarakat

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Menormalisasi Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Masyarakat
Jun 18th 2023, 09:28, by Aida Khairunnisa Syahrani, Aida Khairunnisa Syahrani

Mengajarkan Bahasa Isyarat. Sumber Foto: Pexels.com
Mengajarkan Bahasa Isyarat. Sumber Foto: Pexels.com

Bahasa merupakan sebuah simbol yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Dengan bahasa, seseorang mampu mengekspresikan diri sendiri, berinteraksi dengan orang lain, dan dengan kehadiran bahasa sistem sosial pun dapat terbentuk. Bahasa terus mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya pemikiran masyarakat.

Pemikiran yang dimiliki oleh setiap individu dalam suatu masyarakat diutarakan menggunakan bahasa. Tidak hanya melalui bunyi, bahasa juga dapat disampaikan menggunakan gerak tubuh dan ekspresi wajah.

Penggunaan gerak-gerik tubuh untuk mengekspresikan sesuatu kemudian dikenal sebagai bahasa isyarat. Sekilas mengenai asal-usul bahasa isyarat, jika ditelusuri awal mulanya, bentuk komunikasi menggunakan gerakan anggota tubuh seperti tangan muncul pertama kali di Yunani pada abad ke-5 SM.

Kemudian urgensi dari keberadaan dan pengetahuan mengenai bahasa isyarat muncul pada abad ke-16, di mana seorang dokter asal Italia menjadi pengajar bahasa isyarat pertama berkat pemahaman yang diperoleh dari mengamati kemampuan putranya yang Tuli dalam menerima informasi.

Di Indonesia sendiri bahasa isyarat baru diperkenalkan pada abad ke-20, dengan banyak mengambil inspirasi dari ASL (American Sign Language).

Tuli dan Ragam Jenis Gangguan Pendengaran

Ilustrasi gangguan pendengaran pada anak. Foto: jittawit21/Shutterstock
Ilustrasi gangguan pendengaran pada anak. Foto: jittawit21/Shutterstock

Sering kali ketika masyarakat umum membahas bahasa isyarat, yang pertama terlintas di benak mereka yaitu "bahasa yang digunakan oleh kelompok Tuli".

Hal tersebut tidak salah, namun konsepsi tersebut yang seolah menumbuhkan pemikiran bahwa bahasa isyarat tidak perlu dipelajari apabila dirinya bukan seorang Tuli, tidak memiliki kerabat yang Tuli, atau tidak niat bergabung dalam sebuah komunitas yang berurusan dengan penyandang disabilitas.

Bahasa isyarat memang bahasa yang digunakan oleh orang-orang Tuli untuk berkomunikasi, namun bahasa isyarat secara garis besar merupakan bahasa visual, bahasa yang mengandalkan gerakan anggota tubuh untuk menyampaikan pesan, maka dari itu suara tidak menjadi unsur yang penting dalam percakapan.

Selain untuk teman Tuli, bahasa isyarat sangat bermanfaat untuk orang-orang yang mengidap gangguan pendengaran lainnya. Terdapat berbagai tipe gangguan pendengaran antara lain gangguan pendengaran sensorineural, konduktif, serta gangguan pendengaran campuran.

Ilustrasi sakit telinga. Foto: rurgrit/Shutterstock
Ilustrasi sakit telinga. Foto: rurgrit/Shutterstock

Pengidap gangguan pendengaran sensorineural berarti mengalami kerusakan pada telinga bagian dalam yang bersifat permanen, gangguan ini bisa disebabkan oleh genetik, trauma pada kepala, atau penuaan.

Pada gangguan pendengaran konduktif tidak mencapai telinga bagian dalam seperti sensorineural dan biasanya disebabkan oleh adanya tumpukan kotoran atau cairan dalam telinga, atau bisa juga karena gendang telinga yang bocor.

Kemudian gangguan pendengaran campuran berarti orang tersebut bisa saja menderita kerusakan pada telinga bagian luar, tengah, maupun dalam (Makarim, 2021). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa siapa pun dapat mengalami penurunan kemampuan mendengar kapan saja, terlepas dari usianya.

Bahasa Isyarat dalam Kehidupan Bermasyarakat

Seorang guru Palestina menggunakan bahasa isyarat saat memberikan pelajaran kepada siswa tunarungu di Sekolah Tunarungu al-Hanan, di Jenin, Tepi Barat yang diduduki Israel. Foto: RANEEN SAWAFTA/REUTERS
Seorang guru Palestina menggunakan bahasa isyarat saat memberikan pelajaran kepada siswa tunarungu di Sekolah Tunarungu al-Hanan, di Jenin, Tepi Barat yang diduduki Israel. Foto: RANEEN SAWAFTA/REUTERS

Kalangan masyarakat yang mengalami gangguan pendengaran, atau bisa juga disebut kalangan Hard of Hearing (HoH), dapat sangat diuntungkan dengan diberlakukannya kebiasaan menggunakan bahasa isyarat dalam kehidupan sehari-hari.

Berbeda dengan Tuli di mana si pengidap sama sekali tidak memiliki kemampuan mendengar, HoH masih memiliki pendengaran namun memiliki kesulitan pada tingkat ringan hingga sedang untuk mendengar suara sehingga diperlukan usaha yang lebih agar dapat menangkap suara atau memahami pembicaraan.

Pengidap HoH pada umumnya baru bisa mendengar suara dengan jelas apabila suara tersebut memiliki volume yang tinggi, sehingga mau tidak mau mereka harus mendekati sumber suara atau meningkatkan volume sumber suara.

Di kasus seperti misalnya saat berbicara dengan orang lain secara tatap muka, orang yang kesulitan mendengar perlu membaca gerak bibir lawan bicaranya agar dia bisa mencerna apa yang dikatakan, sehingga percakapan yang sedang terjadi membutuhkan perhatian yang penuh dan kerap tidak bisa dibarengi dengan kegiatan lain.

ilustrasi telinga wanita. Foto: Flickr
ilustrasi telinga wanita. Foto: Flickr

Terjadinya pandemi menjadi sebuah tantangan bagi warga dengan gangguan pendengaran, sebab kebijakan dari pemerintah yang mewajibkan penggunaan masker menghalang mereka untuk membaca gerak bibir, akibatnya lawan bicara terpaksa melantangkan suara agar dapat didengar.

Tanpa disadari, kehadiran bahasa isyarat dalam kehidupan bermasyarakat sangat penting. Tercatat bahwa jumlah warga Tuli di Indonesia yakni mencapai sekitar puluhan ribu jiwa.

Angka tersebut belum tentu meliputi seluruh warga dari setiap daerah Indonesia, dan belum lagi mempertimbangkan keberadaan warga yang HoH.

Mengingat adanya kemungkinan kita sebagai masyarakat dengan kemampuan mendengar akan berinteraksi dengan Tuli dan HoH, atau suatu saat kehilangan pendengaran sendiri, sudah seharusnya bahasa isyarat menjadi bahasa yang diajarkan di sekolah umum dan diimplementasikan sebagaimana bahasa nasional, daerah, maupun bahasa internasional.

Dengan menormalisasikan penggunaannya, maka masyarakat tersebut mampu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi para penyandang Tuli.

Kesadaran masyarakat untuk mewujudkan hal tersebut menunjukkan adanya kesadaran bahwa disabilitas merupakan sebuah isu sosial dan bukan individual, di mana lingkungan sudah dibuat dengan standar non-difabel yang kemudian mengekang penyandang disabilitas dalam beraktivitas seperti masyarakat pada umumnya.

Media files:
01h2ta6tpfgsssvk6yjzh865md.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts