Search This Blog

Efektifkah Vonis Mati untuk Cegah Kejahatan?

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Efektifkah Vonis Mati untuk Cegah Kejahatan?
Apr 1st 2023, 16:58, by Kania Falahiatika Hidayat, Kania Falahiatika Hidayat

Ilustrasi dari eksekusi hukuman mati. Foto: Pixabay
Ilustrasi dari eksekusi hukuman mati. Foto: Pixabay

Vonis mati terhadap Ferdy Sambo pada Senin, 13 Februari 2023 sebagai terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat memunculkan pertanyaan terkait pengaruh hukuman mati terhadap jumlah kejahatan yang terjadi di Indonesia. Terlepas dari ampuh atau tidaknya hukuman mati, sebagian besar opini menganggap hukuman mati setimpal dengan kekejaman perbuatan yang telah Ferdy rencanakan dan lakukan.

Teori hukuman retributif atau teori absolut menganggap bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana menjadi suatu pembalasan yang adil terhadap kerugian yang diakibatkannya dan dapat dibenarkan karena pelaku telah membuat penderitaan bagi orang lain. Hukuman mati umumnya ditujukan untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak dapat kembali ke masyarakat karena kejahatan yang dilakukannya tergolong kejahatan yang sangat berat. Tetapi, apakah 'pembalasan' masih relevan dengan kemajuan pola pikir saat ini?

Ferdy Sambo bukanlah orang pertama yang dijatuhi hukuman mati, tetapi kejahatan masih terus hadir di sekitar kita. Apakah artinya hukuman mati tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengurangi tindak kejahatan di Indonesia?

Sejarah Hukuman Mati di Indonesia

Dikutip dari jurnal "Death Penalty, Right to Life, and Various Controversies in Human Rights" yang ditulis oleh Saputra dan Santoso (2022), hukuman mati di Indonesia telah diberlakukan oleh para Raja dan Sultan pada masa kerajaan. Hukuman mati kemudian mulai dikonsolidasikan di seluruh Nusantara pada tahun 1808 atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.

Tujuan dari pemberlakuan hukuman mati pada masa kolonial adalah untuk mencegah masyarakat pribumi menggulingkan kekuasaan Belanda. Adanya prasangka rasial yang diskriminatif juga berkontribusi terhadap pemberlakuan hukuman mati di masa itu. Belanda menganggap bahwa orang-orang pribumi tidak bisa dipercaya dan suka berbohong dengan memberikan kesaksian palsu di pengadilan.

Setelah Indonesia merdeka, hukuman mati masih diberlakukan karena tujuan-tujuan tertentu. Pada masa Orde Lama, hukuman ini utamanya ditujukan sebagai strategi pertahanan negara di era kemerdekaan karena pada masa itu kerap terjadi pemberontakan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, hukuman mati juga digunakan untuk mencegah korupsi. Sedangkan pada masa orde baru, Presiden Soeharto mempertahankan hukuman mati untuk menjaga stabilitas politik dan mengamankan agenda pembangunan.

Dasar Diberlakukannya Hukuman Mati di Indonesia

Dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa pidana mati merupakan salah satu pidana pokok. Aturan tersebutlah yang kemudian mendasari masih diberlakukannya hukuman mati di Indonesia hingga saat ini. Mengutip dari Jurnal Lembaga Studi dan dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), terdapat sepuluh bentuk kejahatan yang dapat diancam hukuman mati, diantaranya:

1. Makar membunuh kepala negara

2. Mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia

3. Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang

4. Membunuh kepala negara sahabat

5. Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu

6. Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati

7. Pembajakan di laut, pesisir, pantai, sehingga mengakibatkan orang mati

8. Menganjurkan huru-hara, pemberontakan, dan sebagainya antara pekerja dalam perusahaan pertahanan negara dalam waktu perang

9. Menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang

10. Pemerasan dengan pemberatan

Selain dari 10 kejahatan atau pelanggaran yang telah disebutkan di atas, terpidana kasus peredaran gelap narkoba juga dapat dijatuhi hukuman mati sesuai dengan aturan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Implementasi Hukuman Mati di Indonesia

Sumber: Databoks, 2023
Sumber: Databoks, 2023

Sebagaimana tergambar dalam grafik di atas, jumlah penjatuhan vonis hukuman mati cenderung meningkat di Indonesia. Berdasarkan data dari Amnesty International, pada tahun 2021 Indonesia berada pada jajaran kedua dari negara-negara ASEAN lainnya yang memberikan vonis hukuman mati. Pada jajaran pertama terdapat Vietnam dengan vonis mati sejumlah 119. Adapun 82% atau 94 dari kasus vonis hukuman mati di Indonesia dijatuhkan terhadap kejahatan markotika, kemudian diikuti dengan 14 terhadap pembunuhan dan 6 terhadap terorisme.

Pertentangan Hukuman Mati

Dikutip dari DW Indonesia, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengemukakan bahwa secara konstruktif dasar dari hukuman mati dalam KUHP merupakan produk hukum lama peninggalan era Belanda yang sudah tidak lagi relevan. Sejak tahun 1870 hukuman mati sebagai salah satu pidana pokok telah dihapuskan dalam sistem hukum Belanda dan dalam praktiknya sudah tidak lagi diterapkan sejak tahun 1860. Pada tahun 2019 tercatat lebih dari dua pertiga negara di dunia telah menghapus hukuman mati dalam undang-undang atau praktik. Adapun segelintir negara yang masih menerapkan hukum mati adalah Cina, Korea Utara, Iran, Irak, dan Arab Saudi.

Dalam bukunya yang berjudul The Culture of Capital Punishment in Japan, David T. Johnson mengungkapkan ketidakberpihakkannya terhadap penerapan hukuman mati. Hal ini dikarenakan tidak ada bukti kuat bahwa hukuman mati mencegah tindakan kejahatan terjadi, khususnya di Amerika, Jepang, dan Singapura. Begitu pula di Indonesia, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengemukakan bahwa hukuman mati tidak menurunkan angka kriminalitas atau pun memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Berkedok bahwa hukuman mati 'masuk akal' dapat mencegah kejahatan tidak dapat menjustifikasi diberlakukannya hukuman mati tanpa adanya dampak terhadap perlindungan masyarakat.

Pemberlakuan hukuman mati yang tidak didasarkan pada data konkrit menunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia dikendalikan oleh perkembangan politik dan sentimen moral, bukan pada pertimbangan kebermanfaatannya.

Bagi para jaksa, hukuman mati dapat menjadi instrumen untuk mendapatkan dukungan publik. Bagi para politisi, hukuman mati menjadi cara untuk mendapatkan suara, mempertahankan jabatan, dan menerima publisitas. Bagi media, hukuman mati menjadi konten permainan moralitas yang mengadu kebaikan melawan kejahatan.

Retribusi atau dapat diartikan sebagai prinsip keadilan sering kali menjadi justifikasi dilanggengkannya hukuman mati terhadap korban kejahatan. Akan tetapi, dijatuhkannya hukuman mati tidak serta merta dapat menghilangkan luka dan menciptakan akhir bagi para korban sebagaimana proses hukum sebelum dilakukannya eksekusi dapat berlangsung bertahun-tahun. Pada Januari 2021, bahkan masih terdapat 404 terpidana mati sesuai putusan pengadilan yang belum dieksekusi di Indonesia.

Bukan hanya dari sisi korban, lamanya eksekusi mati juga menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku yang divonis mati. Meskipun ia telah melakukan tindakan kejahatan, tetapi seharusnya pelaku diberi hukuman sesuai dengan keputusan sidang, yakni hukuman mati, bukan hukuman penjara hingga bertahun-tahun untuk menunggu dieksekusi.

Ketidakpastian eksekusi hukuman mati memberikan tekanan psikis yang luar biasa bagi para terdakwa yang dijatuhi hukuman mati. Salah satu bukti nyatanya adalah pada kasus Tagiman. Tagiman yang terlibat dalam pembunuhan tiga orang anggota keluarga Utomo Kasidi ditemukan tewas meminum racun pada tahun 2001 akibat depresi yang dialaminya selama menunggu eksekusi mati sejak tahun 1992. Hal ini tentu sudah menyalahi hak asasi manusia.

Hukuman mati seringkali merupakan tindakan balas dendam, dan balas dendam bukanlah pembenaran utama untuk hukuman terakhir; hal itu adalah emosi bengis yang bersikeras pada kebenarannya sendiri.
David T. Johnson

Media files:
01gwpcn2jyrx6b7k5s7dcw90rj.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts