Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK menanggapi terkait usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang meminta Badan Anggaran (Banggar) DPR memformulasi ulang acuan belanja wajib atau mandatory spendinganggaran pendidikan sebesar 20 persen dari pagu belanja APBN.
Usulan tersebut sejauh ini ditolak oleh Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda. Menurutnya, saat ini pengembangan pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan.
JK menilai yang lebih perlu diperhatikan adalah bagaimana efektivitas penggunaan anggaran pendidikan tersebut.
"Jadi apa pun kita gugat hari ini Sri Mulyani akan tetap saja ketawa-ketawa, silakan saja gugat tapi setidaknya gugatnya mau apa? Suruh pinjam lagi? di mana pinjamnya lagi? Siapa yang bayar bunganya?" kata JK saat Diskusi Kelompok Terpumpun dengan tajuk Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan bersama Kemendikburistek di Hotel Sheraton Gandaria City, Jakarta, Sabtu (7/9).
"Maka yang harus kita lakukan ialah bagaimana efektivitas anggaran, bukan gugat anggaran. Bagaimana kita negeri ini efektif pada anggaran yang ada," tambahnya.
JK mengatakan saat ini juga ada kecenderungan masyarakat yang tidak memilih sekolah negeri. Sekolah tersebut mendapatkan alokasi dari anggaran pendidikan.
"Sebenarnya sekarang masyarakat sudah berubah khususnya di kota, di kota yang saya kira lebih banyak anak sekolah swasta daripada negeri," tutur JK.
Sebelumnya, Sri Mulyani menjelaskan selama ini alokasi anggaran pendidikan dipatok 20 persen dari pos belanja. Alhasil, negara kebingungan mencari anggaran saat terjadi ketidakpastian.
"Kita lihat tahun-tahun sebelumnya kadang belanja naik tinggi banget, sehingga anggaran pendidikan harusnya naik. Tapi kenaikan yang tinggi itu bukan karena kita dapat duit banyak atau pendapatan besar yang kemudian belanja kita pakai untuk subsidi. Tapi karena memang waktu itu harga minyak naik, kurs turun sehingga belanja subsidi melonjak tinggi banget," kata Sri Mulyani di Rapat Banggar DPR RI, Rabu (4/9).
Sri Mulyani mengungkapkan, pada tahun 2022 saat terjadi kenaikan harga minyak dunia membuat beban subsidi ikut membengkak. Subsidi BBM dalam APBN di desain sebesar Rp 350 triliun, kemudian membengkak menjadi Rp 550 triliun.
"Itu memberikan konsekuensi harus 20 persen dari anggaran pendidikan, ini yang menyulitkan dalam mengelola keuangan negara. Dalam artian bagaimana APBN tetap terjaga, defisit terjaga di bawah 3 persen, APBN terjaga sustainable. Tapi compliance terhadap 20 persen anggaran pendidikan itu tetap kita jaga," ungkapnya.
Sri Mulyani menyebut realisasi anggaran pendidikan selalu di bawah ketentuan mandatory spending. Untuk itu, dia mengusulkan untuk mengubah basis perhitungan mandatory spending pendidikan yang sebesar 20 persen.
Menurutnya, revisi perhitungan mandatory spending sangat penting untuk menjaga APBN. Mengingat, APBN berperan untuk merespons gejolak global guna melindungi perekonomian domestik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar