Search This Blog

Media Sosial: Cermin untuk Introspeksi Diri

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Media Sosial: Cermin untuk Introspeksi Diri
Apr 15th 2023, 17:47, by Gustiro Adhim Puja Utama, Gustiro Adhim Puja Utama

Ilustrasi mendapatkan berita duka dari media sosial. Foto: fizkes/Shutterstock
Ilustrasi mendapatkan berita duka dari media sosial. Foto: fizkes/Shutterstock

Media sosial dapat kita jadikan sebagai cermin untuk kita melakukan introspeksi diri. Sebab, ia dapat mengenal kita, bahkan lebih baik daripada diri kita sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa Facebook dapat lebih mengenal diri kita sendiri dibandingkan dengan rekan kerja, teman, orang tua, dan pasangan.

Studi ini dilakukan dengan melibatkan 86.220 responden yang memiliki akun Facebook dan mengerjakan kuesioner sebanyak 100 butir tentang kepribadian. Hasilnya, algoritma Facebook dapat memprediksi dengan lebih baik kepribadian responden tersebut dibandingkan dengan rekan kerja, teman, orang tua, dan pasangan jika responden meng-klik like dalam jumlah tertentu.

Jumlah like yang dibutuhkan oleh algoritma Facebook untuk memprediksi kepribadian responden lebih baik dari rekan kerja, teman, orang tua, dan pasangan masing-masing sebesar 10 like, 70 like, 150 like, dan 300 like.

Misal, aku adalah seorang mahasiswa yang bekerja paruh waktu sebagai guru les anak kelas 12 SMA. Ketika aku meng-klik like sebanyak 10 kali, prediksi algoritma Facebook terhadap kepribadianku lebih baik daripada prediksi rekan-rekan kerjaku.

Ketika aku mengklik 70 like, prediksi algoritma Facebook terhadap kepribadianku lebih baik daripada prediksi teman-temanku. Ketika aku mengklik 150 like, prediksi algoritma Facebook terhadap kepribadianku lebih baik daripada prediksi kedua orang tuaku. Ketika aku mengklik 300 like, prediksi algoritma Facebook terhadap kepribadianku lebih baik daripada prediksi pacarku.

Ini merupakan salah satu hal yang membuktikan bahwa media sosial cocok dijadikan cermin untuk introspeksi diri. Namun, timbul pertanyaan apakah kemampuan sosial media sebagai cermin untuk introspeksi diri lebih baik daripada menyelami pengalaman-pengalaman pribadi secara personal?

Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock

Kita berpikir bahwa kitalah yang paling mengetahui diri kita sendiri, tiada seorang pun yang dapat menjangkau perasaan terdalam kita, dan apa yang kita rasakan tidak bisa direduksi dalam sudut pandang orang ketiga.

Penelitian sederhana Daniel Kahneman, penulis buku Thinking, Fast & Slow, yang memenangkan hadiah Nobel dalam bidang ekonomi dapat menggambarkan tentang dua bagian dari diri kita. Penelitian ini dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama, responden diperintahkan untuk meletakkan tangan mereka ke dalam wadah dingin bersuhu 14 derajat celsius selama 1 menit.

Bagian kedua, responden diperintahkan untuk meletakkan tangan mereka ke dalam wadah dingin bersuhu 14 derajat celsius. Setelah 1 menit, air panas diam-diam ditambahkan ke dalam wadah tersebut sehingga suhunya meningkat menjadi 15 derajat celsius. Mereka baru diperbolehkan mengangkat tangannya setelah 30 detik kemudian.

Sebagian responden melakukan bagian pertama terlebih dahulu sedangkan sebagian yang lain melakukan bagian kedua terlebih dahulu. Bagian terakhir, responden dipersilakan untuk memilih untuk mengulang salah satu dua bagian sebelumnya, yaitu bagian pertama dan bagian kedua tepat setelah 7 menit semua responden menyelesaikan bagian pertama dan bagian kedua.

Manakah yang akan lebih mungkin untuk diulang di bagian ketiga? Kalian mungkin akan menjawab bahwa pilihan pertama adalah yang paling banyak diulang karena waktu yang dibutuhkan untuk merasakan ketidaknyamanan akibat suhu air yang dingin lebih singkat dibandingkan dengan bagian kedua yang walaupun suhunya naik, tetapi itu hanya 1 derajat celsius, sehingga tidak setara dengan penambahan waktu selama 30 detik.

Namun, kalian salah besar jika menjawab hal tersebut. Mayoritas responden, sebanyak 80 persen, terlepas dari bagian mana yang ia lakukan terlebih dahulu, memilih untuk mengulang bagian kedua.

Eksperimen ini mengungkapkan bahwa ada dua diri manusia, yaitu diri yang merasakan dan diri yang bercerita. Diri yang merasakan adalah ia yang merasakan apa yang terjadi di sekitar kita setiap waktunya.

Ilustrasi menggunakan sosial media. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi menggunakan sosial media. Foto: Shutter Stock

Tidak mungkin bagi diri yang merasakan menganggap bahwa bagian kedua lebih menarik daripada bagian pertama karena "pertukaran" antara naiknya suhu dengan penambahan waktu tidak sebanding dengan bagian pertama secara keseluruhan. Namun, diri ini adalah diri yang tidak mengingat.

Di sisi lain, ada diri yang bercerita. Ia yang mengingat, terlibat dalam berbagai pengambilan keputusan, mengarang narasi diri berdasarkan pengalaman masa lalu, dan merencanakan masa depan. Ia adalah yang membentuk narasi tentang diri kita.

Namun, ia tidak mengingat keseluruhan pengalaman. Ia hanya mengingat rata-rata momen-momen puncak dan hasil-hasil akhirnya tanpa mempertimbangkan masalah durasi.

Dalam konteks eksperimen ini, ia hanya mengingat bagian terburuk dari percobaan, yakni ketidaknyamanan air bersuhu 14 derajat celsius dan bagian akhir dari percobaan, yakni ketidaknyamanan air, tetapi suhunya naik menjadi 15 derajat celsius, kemudian merata-ratakan ketidaknyamanan ini. Ia tidak memedulikan durasi sehingga ia cenderung memilih bagian kedua alih-alih bagian pertama.

Diri yang bercerita adalah ia yang mengarang mengenai diri kita. Ia yang kita ceritakan kepada orang-orang mengenai diri kita. Ia yang kita jadikan acuan dalam mengenal dan melakukan introspeksi diri. Namun, ia hanya mengingat momen-momen puncak dari suatu peristiwa dan hasil akhirnya. Ini berarti apa yang kita ketahui mengenai diri kita belum tentu benar.

Namun, algoritma berbeda. Ia tidak dipengaruhi oleh diri yang bercerita. Ia hanya merekam segala hal yang kita lakukan di sosial media kita. Ia merekam apa yang kita like, apa yang kita tonton, seberapa lama kita bermain media sosial, seberapa lama kita menikmati suatu konten, dan berbagai hal lain.

Ilustrasi kecanduan sosial media. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi kecanduan sosial media. Foto: Shutter Stock

Hal ini dapat menggambarkan mengenai diri kita lebih utuh daripada diri kita sendiri jika kita cukup banyak melakukan berbagai hal di sosial media yang menjadi batas algoritma sosial media dapat memprediksi mengenai diri kita sendiri.

Walaupun begitu, saya tidak tahu secara persis seberapa tingkat aktivitas minimal yang dibutuhkan sosial media untuk memprediksi mengenai diri kita.

Namun, semakin sering kita menggunakan media sosial, semakin akurat prediksi yang dapat dilakukan oleh media sosial yang bersangkutan sebagaimana yang digambarkan dalam film dokumenter yang berjudul The Social Dilemma. Sebab, semakin banyak data yang dapat direkam oleh algoritma media sosial yang bersangkutan.

Belum lagi mempertimbangkan variabel-variabel lain, seperti kemajuan teknologi. Riset mengenai kemampuan algoritma Facebook dalam memprediksi kepribadian seseorang dilakukan pada tahun 2015.

Teknologi sudah lebih canggih saat ini, seperti munculnya AI yang dapat berkomunikasi dengan manusia secara lebih natural. Mungkin algoritma AI yang mendukungnya untuk lebih memahami manusia yang berkomunikasi dengannya dapat diterapkan ke sosial media sehingga menghasilkan prediksi yang lebih akurat mengenai diri pengguna media sosialnya.

Kalau ini terjadi, media sosial nantinya akan dapat menjadi cermin yang lebih dapat diandalkan dalam melakukan introspeksi diri di samping kecerdasan buatan lain yang mungkin akan merekam diri kita selama 24 jam nonstop sehingga penggunanya dapat mengenali dirinya sendiri melalui hal tersebut.

Hasil disertasi Martin Suryajaya yang dituangkan dalam buku Principia Logica juga menguatkan argumen bahwa perasaan terdalam kita dapat diparafrase menjadi pernyataan-pernyataan yang dituturkan oleh orang ketiga.

Ilustrasi menggunakan sosial media. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi menggunakan sosial media. Foto: Shutter Stock

Misal, Budi merasa mencintai Sinta. Ia mengatakan bahwa perasaannya itu tidak bisa diketahui oleh orang lain. Namun, perasaan semacam itu dapat diparafrase ulang menjadi Budi merasakan perasaan yang disebut cinta kepada Sinta.

Hormon dopamine membanjiri otak Budi ketika ia bertemu dan berbicara dengan Sinta. Ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat ketika ia bertemu Sinta. Ia tidak bisa tidur semalaman karena pikiran tentang Sinta terus-menerus muncul di pikiran Budi. Ia merasa ingin bersegera bertemu dengan Sinta.

Itu hanya sekelumit premis yang menyusun perasaan cinta Budi kepada Sinta. Manusia itu kompleks sehingga premis-premis yang terlibat untuk mendeskripsikan perasaan tersebut lebih banyak daripada yang sudah dideskripsikan di atas. Jadi, algoritma sebagai orang ketiga mungkin untuk mendeskripsikan perasaan-perasaan tersebut.

Kesimpulannya, media sosial dapat dijadikan sebagai cermin untuk introspeksi diri. Metode ini lebih baik daripada metode introspeksi berdasarkan penilaian rekan kerja, teman, orang tua, dan pasangan. Bahkan, metode ini mungkin lebih baik daripada metode introspeksi berdasarkan pengetahuan kita mengenai diri kita sendiri.

Namun, diperlukan data minimal tertentu yang harus direkam oleh algoritma untuk bisa memprediksi dengan lebih akurat. Semakin banyak data yang terekam, semakin akurat prediksi yang dihasilkan.

Media files:
01gk5yt2g7gargwnas80ccny4q.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts