Diskusi Forum Tanah Air (FTA) yang digelar di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, pada Sabtu (28/9), dibubarkan paksa oleh sekelompok orang.
Diskusi ini dihadiri oleh sejumlah tokoh, seperti eks Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, pakar hukum tata negara Refly Harun, Said Didu, eks Danjen Kopassus Soenarko, Marwan Batubara, Rizal Fadhilah, termasuk Tata Kesantra dan Ida N Kusdianti yang merupakan Ketua dan Sekjen Forum Tanah Air.
Pembubaran itu memicu keributan dan menimbulkan kerusakan. Polisi bergerak mengusutnya. 5 orang pun diamankan, 2 di antaranya menjadi tersangka.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyoroti pembubaran itu. "Sehari sebelumnya, pada Jumat (27/9), aksi damai Global Climate Strike atau Jeda Iklim Global yang digelar di Jakarta, juga dibubarkan oleh sekelompok orang," ujar Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, melalui rilisnya, Senin (30/9).
"Peristiwa serupa juga terjadi pada Mei 2024 yang lalu, ketika penyelenggaraan Peoples Water Forum. Dibubarkan paksa dengan tuduhan mengganggu World Water Forum di Bali," ujar Wahyudi.
"Situasi tersebut kian menunjukkan suramnya jaminan perlindungan HAM bagi warga negara, khususnya pasca-Pemilu 2024, sebagai akibat tindakan kekerasan secara sewenang-wenang sekelompok orang, tanpa adanya upaya perlindungan yang memadai dari aparat negara," ujar Wahyudi.
Wahyudi pun menuturkan bahwa sedikitnya terdapat 4 bentuk dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dari peristiwa tersebut, yakni mencakup pelanggaran: (i) kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai; (ii) hak untuk mengembangkan diri; (iii) hak untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang tersedia; dan (iv) hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Wahyudi menjelaskan, negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) mempunyai kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect) HAM. Namun, rangkaian peristiwa pembubaran itu menunjukkan bahwa negara telah gagal memastikan adanya itikad baik yang cukup untuk sepenuhnya memenuhi kewajibannya.
"Pernyataan aparat kepolisian dalam merespons kekerasan tersebut justru memberi kesan menyalahkan pihak yang menyelenggarakan diskusi damai, dengan mengatakan diskusi dilakukan tanpa izin. Padahal penyelenggaraan suatu diskusi—apalagi perdebatan ilmiah, tidak memerlukan perizinan dari pihak mana pun. Bahkan dalam rezim hukum kebebasan berkumpul, termasuk demonstrasi damai, mengacu pada UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pun tidak dikenal adanya perizinan," kata Wahyudi.
Wahyudi melanjutkan, "Respons aparat yang demikian memperlihatkan rendahnya pemahaman aparat dalam memahami serangkaian kewajiban mereka untuk memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan terhadap HAM. Hal itu juga sekaligus menunjukkan problem Institusi Kepolisian dalam implementasi Peraturan Kapolri No. 8/ 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia."
"Lebih jauh, rentetan peristiwa di atas memperlihatkan ketidakseriusan kepolisian sebagai institusi penegak hukum dan pelindung masyarakat, untuk secara imparsial dan profesional melaksanakan kewajiban konstitusionalnya dalam perlindungan HAM. Sinyalemen ini setidaknya dapat dibuktikan dari kegagalan untuk bertindak secara layak (failure to act) guna melindungi dan menjamin kebebasan warga negara untuk melaksanakan hak-hak konstitusionalnya," kata Wahyudi.
Wahyudi berpendapat, dalam jangka panjang, kegagalan bertindak dalam menghentikan kekerasan tersebut akan mendorong terus terjadinya kekerasan dan tindakan-tindakan intimidasi serupa. Kekerasan tersebut terjadi dengan pola yang hampir serupa, diinisiasi oleh kelompok pro-kekerasan dan berakhir dengan penggunaan kekerasan terhadap kelompok yang menjadi sasaran aksi. Perluasan praktik ini menunjukkan semakin besarnya risiko ancaman terhadap warga negara yang hendak melaksanakan hak asasinya.
ELSAM: Ini Rangkaian Sistematis, Menyasar Target Spesifik
Dari serangkaian peristiwa yang terjadi, ELSAM mengidentifikasi bahwa kekerasan yang terjadi bukan merupakan kejadian yang saling terpisah, tetapi merupakan sebuah rangkaian yang sistematis, serta ditujukan kepada target atau sasaran kelompok tertentu yang spesifik.
"Rangkaian peristiwa intimidasi dan kekerasan terhadap kebebasan sipil akhir-akhir ini, juga memperkuat hipotesis bahwa selama dua periode masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pelindungan terhadap kebebasan sipil terus mengalami penurunan," ujar Wahyudi.
Wahyudi menyebut riset ELSAM tahun 2024, yang dilakukan di Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Jakarta sebagi center-periphery menunjukkan bahwa 46,4% responden mengaku sangat tidak puas atas perlindungan dan pemenuhan hak berorganisasi dan berkumpul, 34,8 % tidak puas, dan sisanya 18,8% merasa cukup puas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar