Search This Blog

Hilangnya Akses Pemanfaatan Tanah, Akar Ketidakmampuan Milenial Memiliki Rumah

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Hilangnya Akses Pemanfaatan Tanah, Akar Ketidakmampuan Milenial Memiliki Rumah
Aug 20th 2023, 05:30, by Septian Pribadi, Septian Pribadi

Ilustrasi membangun rumah. Foto: Shutterstock
Ilustrasi membangun rumah. Foto: Shutterstock

Mendengar kabar seorang kawan seperjuangan yang baru saja memiliki atau membeli rumah selalu saja memberikan kesan berlawanan di dalam hati saya. Kesan pertama merasa bersyukur dan terinspirasi bahwa dia sebagai manusia telah memenuhi kebutuhan primernya. Memiliki tempat berteduh dan pulang dengan perasaan nyaman.

Kesan kedua adalah iri tentu saja. Kenapa dia sudah bisa sedangkan saya merasa sulit untuk meraihnya. Jangankan membeli rumah, untuk menabung rutin seratus ribu setiap bulan saja terasa amat sulit.

Tetangga saya pernah berucap, "Rumah atau tanah itu memiliki nyawa. Jika di dalamnya ada nyawamu, rumah itu akan menjadi milikmu." Ucapan tersebut terngiang-ngiang dalam pikiran saya selama beberapa hari. Muncul berbagai pertanyaan, bagaimana dengan nasib orang yang hingga akhir hayatnya tak memiliki rumah, apa iya tak ada nyawa rumah sama sekali di bumi yang amat luas ini untuk dirinya?

Kalaupun pernyataan di atas benar, lalu bagaimana kita bisa mendapatkan nyawa rumah tersebut? Dengan segala kerumitan finansial dan harga rumah yang tak masuk akal, saya malah ingin menelusuri mitos di atas. Andaikan nyawa rumah itu memberikan suatu petunjuk yang dapat dipahami semua orang yang belum memiliki rumah, ini bisa menjadi solusi banyaknya milenial yang tidak mampu membeli rumah.

Ikatan Manusia dengan Alam

Ilustrasi keindahan alam bawah laut Bunaken Foto: Shutter Stock
Ilustrasi keindahan alam bawah laut Bunaken Foto: Shutter Stock

Saya teringat cerita kakek saya yang berasal dari Banyuwangi. Saat masih kecil dulu sebelum media sosial dan gadget menyibukkan kita, mereka sering bercerita kepada saya dalam banyak kesempatan, tidak hanya menjelang tidur. Ia bercerita, ada beberapa ritual yang sering ia lakukan sebelum berlayar mencari ikan. Apa itu, kek? Tanya saya.

Sebelum berlayar, ia selalu berdiri beberapa menit di tepi pantai. Lalu merapalkan bahasa-bahasa Jawa kromo yang tidak saya pahami. Kemudian ia mengambil setangkup air ke dalam telapak tangannya dan mengusapkan ke wajah dan ke seluruh bagian tubuhnya. Yang saya ingat, ada bagian kepala, dada, tangan, dan kaki yang menjadi prioritas basuhan.

Katanya, laut adalah seorang ibu, manusia dan lautan memiliki keterikatan jiwa yang kuat. Seperti halnya ibu, ritual yang dilakukan kakek saya adalah wujud perizinan atau memohon restu kepada pemilik lautan agar ketika menangkap ikan mendapatkan hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Dengan polosnya, saya bertanya, apa memang selalu berhasil menangkap ikan ketika melakukan ritual itu, kek? Kakek saya tersenyum simpul, lalu menjawab, "Tentu saja tidak. Tapi selalu ada ikan yang bisa dimakan untuk esok hari. Sehingga keluarga ini tidak sampai kelaparan.

Ekspolitasi Tanah

Ilustrasi tanah. Foto: Brian A Jackson/Shutterstock
Ilustrasi tanah. Foto: Brian A Jackson/Shutterstock

Ketika saya dewasa, saya mencoba memahami cerita kakek dari sudut pandang yang lebih logis. Kemudian saya menemukan jawaban sederhana yang sering dikemukakan oleh banyak orang belakangan. Bahwa alam sangat mampu memenuhi semua kebutuhan manusia, tapi tak akan pernah mampu memenuhi keinginan manusia.

Jika laut diibaratkan sebagai ibu, apakah daratan atau tanah bisa diibaratkan sebagai ayah? Karena kita tahu bahwa sejatinya tanah dan laut adalah fenomena alam yang tak terpisahkan. Ibarat sepasang kekasih. Ritual kakek saya di atas dan simbol-simbol penghormatan terhadap laut seperti larung sajen, sedekah laut, dan semacamnya adalah wujud simbolik semata, ada yang lebih esensial dari sekadar itu.

Ketidakpuasan terhadap cerita kakek itu membuat saya menelusuri banyak hal. Termasuk sejak kapan manusia mulai mengeksploitasi tanah. Ternyata eksploitasi tanah dimulai sejak puluhan ribu tahun lalu yang juga dikenal sebagai periode revolusi neolitik (dikenal juga revolusi agraria).

Kemudian muncul privatisasi tanah oleh segelintir orang dan ketidakpuasan atas kepemilikan lahan yang terkumpul pada para tuan tanah. Faktor-faktor itu yang kemudian menjadi sandungan besar bagi masyarakat tani untuk bisa hidup makmur.

Sejatinya menjelang kemerdekaan 1945 para pemangku kebijakan yang mengupayakan kemerdekaan pernah membahas persoalan tanah ini. Salah satu inti pembahasannya adalah hubungan manusia Indonesia dengan bumi Indonesia harus bebas dari penindasan, praktik eksploitasi, dan harus membawa kemakmuran.

Intinya segala urusan manusia dengan bumi harus berasas keadilan. Baru pada 24 September 1960 dimunculkan Undang-Undang Pokok Agraria. Sebuah upaya pemerintah untuk mengatur hubungan tanah dengan manusia. Dan sesuai Pasal 33 UUD 1945 menggariskan keharusan tanah dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Tanah Dikuasai Segelintir Orang

Ilustrasi tanah. Foto: jittawit21/Shutterstock
Ilustrasi tanah. Foto: jittawit21/Shutterstock

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan data pada 2021 ada ketimpangan penguasaan tanah yang sangat kontras. Bahwa 68% tanah di seluruh daratan Indonesia dikuasai oleh 1% kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar. Sisanya yaitu 32%, diperebutkan oleh 99% masyarakat yang tersisa.

Bayangkan saja, 32% diperebutkan oleh 99% manusia. Persentase ini bisa saja terus bertambah buruk seiring banyaknya ekspansi-ekspansi bisnis seperti pertambangan, perkebunan sawit, industri oleh para pengusaha dan korporasi raksasa.

Selama pandemi kemarin, konflik agraria (perebutan tanah) oleh perusahaan terhadap warga semakin agresif. Ada 35 letusan konflik agraria selama pandemi. Ada 39 kasus kriminaliasi dan intimidasi. Dan tercatat 2 petani tewas di wilayah konflik agraria karena mempertahankan tanahnya yang digunakan untuk bertahan hidup.

Dengan kata lain, apabila tanah dalam pemanfaatannya mengalami eksploitasi dan tidak berasas keadilan, maka kemakmuran tidak akan pernah tercapai. Bahwa problem milenial masa kini yang tidak mampu membeli rumah karena minimnya lapangan kerja, tidak melek literasi finansial, cicilan KPR yang berbunga besar, harga tanah dan rumah yang meroket, dan sebagainya adalah problem permukaan di Indonesia.

Problem esensialnya adalah milenial saat ini tidak memiliki akses yang cukup adil untuk mampu memanfaatkan tanah mereka sendiri karena eksploitasi segelintir orang dan kepemilikan mayoritas tanah oleh orang kaya dan penguasa. Sehingga milenial tidak mampu untuk hidup makmur. Lah untuk bisa hidup dari tanah sendiri saja harus tukaran kok. Apalagi mimpi beli rumah?

Saya kira pemerintah perlu memberikan solusi tegas terhadap krisis milenial yang tidak mampu membeli kebutuhan rumah padahal itu kebutuhan primer. Kebutuhan pokok yang harus dimiliki setiap manusia. Bukan menjejalkan program-program yang hanya menyelesaikan problem permukaan. Kita sebagai anak milenial, butuh dobrakan pemerintah untuk mengembalikan nyawa tanah yang seharusnya menjadi milik kita. Jangan-jangan, mereka yang hingga akhir hayatnya tidak memiliki tanah, justru karena nyawa tanah mereka diambil oleh orang yang sejatinya tidak memiliki hak sebagai pemilik tanah? Bisa jadi begitu, loh.

--------------------------------------------------------------------

Septian Pribadi

Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi di Tebuireng Media Group dan tertarik pada fenomena sosial, kebudayaan, dan pendidikan.

Media files:
01ghdpyem54dsdkwdn391jps28.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar