Search This Blog

1 Dekade Utang Pemerintah Era Jokowi Capai Rp 8.461 Triliun, Melonjak Rp 5.853 T

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
1 Dekade Utang Pemerintah Era Jokowi Capai Rp 8.461 Triliun, Melonjak Rp 5.853 T
Oct 15th 2024, 18:29, by Ave Airiza Gunanto, kumparanBISNIS

Presiden Joko Widodo meninjau proyek Tol IKN di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (1/11/2023). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Presiden Joko Widodo meninjau proyek Tol IKN di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (1/11/2023). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO

Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera melewati masa kepemimpinan selama satu dekade pada 20 Oktober 2024. Dalam 10 tahun terakhir diwarnai oleh peningkatan signifikan dalam jumlah utang pemerintah.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total utang pemerintah pada Agustus 2024 telah mencapai Rp 8.461,9 triliun, meningkat hampir Rp 5.853 triliun dari posisi awal senilai Rp 2.608,7 triliun pada akhir 2014.

Meski kenaikan ini dipicu oleh berbagai faktor, seperti kebutuhan pembangunan infrastruktur dan penanganan pandemi COVID-19, lonjakan utang telah menimbulkan perdebatan mengenai dampaknya terhadap perekonomian dan kemampuan fiskal pemerintah ke depan.

Kenaikan Utang dan Rasio Terhadap PDB

Pada 2014, utang pemerintah tercatat sebesar Rp 2.608,7 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 24,68 persen. Memasuki 2015, utang pemerintah meningkat menjadi Rp 3.165,1 triliun dengan rasio terhadap PDB naik menjadi 27,46 persen.

Pada 2016, utang pemerintah terus meningkat menjadi Rp 3.515,7 triliun dengan rasio 28,34 persen. Utang pemerintah pada 2017 mencapai Rp 3.994,8 triliun dengan rasio 29,40 persen.

Pada 2018, utang pemerintah kembali naik menjadi Rp 4.466,2 triliun, dengan rasio terhadap PDB sebesar 30,10 persen. Ini adalah pertama kalinya rasio utang pemerintah melampaui angka 30 persen, meskipun pemerintah terus menekankan bahwa angka tersebut masih berada dalam batas aman.

Kemudian, di tahun 2019 utang pemerintah mencapai Rp 4.786,5 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 30,23 persen.

Pandemi COVID-19 yang mulai melanda pada 2020 membawa dampak besar pada keuangan negara. Utang pemerintah melonjak drastis menjadi Rp 6.079,1 triliun, dengan rasio terhadap PDB meningkat tajam menjadi 39,39 persen.

Pada 2021, utang pemerintah naik lagi menjadi Rp 6.913,9 triliun dengan rasio 40,74 persen. Ini adalah puncak rasio utang dalam satu dekade terakhir. Pandemi yang berlanjut memaksa pemerintah untuk terus meningkatkan belanja negara, termasuk melalui berbagai stimulus ekonomi dan pemulihan kesehatan.

Di 2022, utang pemerintah mencapai Rp 7.767,7 triliun, namun rasio terhadap PDB turun sedikit menjadi 39,70 persen. Pada 2023, utang pemerintah meningkat menjadi Rp 8.190,3 triliun dengan rasio 39,20 persen.

Selanjutnya, hingga Agustus 2024, utang pemerintah telah mencapai Rp 8.461,9 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB turun menjadi 38,49 persen. Penurunan rasio ini mencerminkan keberhasilan pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal, meskipun utang dalam nominal terus bertambah.

Pandemi COVID-19 dan Pelebaran Defisit APBN

com-Finmas, ilustrasi utang Foto: Shutterstock
com-Finmas, ilustrasi utang Foto: Shutterstock

Pandemi COVID-19 menjadi salah satu faktor kunci di balik lonjakan utang pemerintah pada periode 2020-2021.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Suminto, mengatakan pemerintah terpaksa memperlebar defisit APBN untuk menanggulangi krisis karena pandemi. Termasuk memberikan perlindungan sosial dan bantuan bagi dunia usaha.

Defisit APBN pada 2020 melonjak menjadi 6,14 persen dari PDB, jauh di atas batas 3 persen yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Hal ini diperbolehkan melalui Perppu 1/2020, yang memberikan fleksibilitas fiskal selama masa darurat pandemi.

Menurutnya, defisit APBN yang tinggi berdampak langsung pada peningkatan utang pemerintah. Namun, dia menekankan bahwa pelebaran defisit ini merupakan langkah penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah resesi yang lebih dalam.

"APBN menjadi shock absorber yang efektif dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi," kata Suminto kepada kumparan, dikutip Selasa (15/10).

Terbukti, meski pada 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar 2,07 persen, pada 2021 ekonomi kembali tumbuh positif sebesar 3,70 persen, dan meningkat menjadi 5,31 persen pada 2022.

Meski demikian, kenaikan utang yang drastis ini tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah beban pembayaran bunga utang yang semakin besar.

Realisasi belanja bunga utang pada 2019 tercatat sebesar Rp 275,5 triliun, dan terus meningkat menjadi Rp 439,8 triliun pada 2023.

Untuk tahun anggaran 2024, anggaran belanja bunga diperkirakan mencapai Rp 498,9 triliun. Kenaikan belanja bunga ini tentunya membatasi ruang fiskal pemerintah untuk belanja-belanja lainnya yang lebih produktif.

Lebih lanjut, Suminto, mengungkapkan rasio beban bunga terhadap pendapatan negara (interest to income ratio) Indonesia berada dalam level moderat.

Pada 2020, rasio ini mencapai 19,28 persen, namun berhasil ditekan menjadi 15,93 persen pada 2023. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan India 28 persen, Brazil 25,85 persen, dan Turki 18,17 persen.

"Utang pemerintah terus dikelola secara prudent, termasuk mengendalikan biaya bunga. Prinsip dasar pengelolaan portofolio utang adalah mengendalikan biaya dan risiko," ungkap Suminto.

Suminto menekankan, disiplin fiskal dan manajemen fiskal yang prudent akan mendukung pengelolaan utang pemerintah yang managable. Kebijakan dan strategi fiskal yang terdiri dari collecting more, spending better, dan prudent and creative financing akan mendukung tujuan tersebut.

"Perekonomian yang tumbuh kuat, seimbang, dan berkelanjutan, didukung oleh penerimaan negara yang semakin baik dan belanja negara yang berkualitas, serta pembiayaan yang prudent termasuk mengembangkan pembiayaan kreatif seperti public private partnership dan blended financing, akan memungkinkan pemerintah untuk terus menjaga utang pada level aman dan terkendali," tegas Suminto.

Ekonomi Sebut Utang Sebagai Beban Ekonomi

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan

Meskipun pemerintah berargumen bahwa utang diperlukan untuk mendanai belanja prioritas dan mendukung pemulihan ekonomi, sejumlah ekonom melihat bahwa kenaikan utang ini telah menimbulkan beban ekonomi yang berat.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan lonjakan utang pemerintah tidak lagi berfungsi sebagai leverage atau pengungkit ekonomi. Melainkan telah menjadi beban fiskal.

"Beban utang yang melonjak signifikan terbukti tidak mampu mendorong ekonomi Indonesia tumbuh di atas 7 persen seperti janji Jokowi," kata Bhima.

Ia juga memperingatkan bahwa beban bunga utang yang tinggi akan mempersempit ruang fiskal pemerintah, mengurangi kemampuan untuk mendanai sektor-sektor produktif, dan berpotensi membuat Indonesia terjebak dalam middle income trap. Bhima menyoroti efek crowding out yang terjadi akibat besarnya penerbitan SBN.

"Dana publik tersedot untuk membeli surat utang pemerintah, termasuk dari deposan perbankan. Suku bunga simpanan bank kalah saing dengan suku bunga SBN," jelasnya.

Akibatnya, penyaluran likuiditas ke sektor produktif menurun, yang berdampak pada pertumbuhan kredit yang stagnan.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan kenaikan utang tersebut tak wajar. Menurutnya, pengelolaan utang merupakan salah satu titik lemah pemerintahan Jokowi.

"Kenaikan ini tentu saja tidak wajar, kendatipun kita memasukkan faktor COVID-19, karena kenaikan sudah mulai terjadi sebelum COVID-19 dan terus berlanjut pasca Covid berlalu. Kita sudah memasuki era debt trap," kata Wija.

"Saya rasa, kehati-hatian dalam mengelola utang, adalah salah satu titik lemah Pemerintahan pak Jokowi," imbuhnya.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menekankan meski rasio utang terhadap PDB Indonesia masih berada di bawah ambang batas yang ditetapkan UU, beban bunga utang yang meningkat menjadi perhatian utama.

"Imbal hasil yang tinggi dari SBN menyebabkan belanja bunga utang meningkat signifikan, yang pada akhirnya membatasi ruang fiskal untuk belanja produktif," jelas Yusuf.

Yusuf juga mencatat bahwa pemerintah perlu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi agar produktivitas dari utang yang telah dilakukan bisa meningkat.

Pengelolaan utang pemerintah ke depan masih akan menjadi tantangan besar bagi pemerintahan selanjutnya. Meskipun konsolidasi fiskal telah dilakukan sejak 2022, dengan menurunnya defisit APBN dan rasio utang terhadap PDB, risiko pembiayaan dan beban bunga tetap menjadi perhatian utama.

Media files:
01he4pd45vjj4ypx5xdbjp9r7h.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar