Jul 23rd 2023, 10:02, by Arfiansyah Panji Purnandaru, kumparanNEWS
Malam mulai tiba di Dukuh Temusari, Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (18/7). Usai Maghrib, Paiman Hadi Martono (53) duduk bersila di ruang tengah salah satu rumah warga. Di depannya ada sesaji kecil berisi arang, nasi jagung, pisang, hingga kopi hitam.
Paiman yang saat itu mengenakan kopiah hitam sibuk merapal doa. Sesaji yang didoakannya itu akan mendampingi kepala kerbau yang dibungkus kain kafan. Semua itu nantinya akan dibawa sejauh delapan kilometer ke Pasar Bubrah. Itu adalah area lapang penuh batu-batu vulkanik yang berada tepat di bawah puncak Merapi. Lokasinya ada di ketinggian 2.600 mdpl.
Paiman adalah Ketua Adat Merapi Desa Lencoh. Doa-doa yang dirapalkannya merupakan awal dari ritual Sedekah Gunung Merapi di malam satu Suro. Ritual tersebut diadakan sebagai rasa syukur kepada Allah atas manfaat yang diberikan Gunung Merapi. Di Desa Lencoh, warga yang mayoritas petani dapat menanam tomat, brokoli, sawi, wortel, hingga tembakau. Tuhan memberikan tanah yang subur di desa tersebut.
"Menurut warga, tradisi Merapi ini penting sekali. Untuk menyatukan kegotongroyongan, kepariwisataan, budaya dilestarikan. Wujud syukur [kepada Allah] yang telah memberi anugrah kepada warga. Setiap tahunnya [tradisi] ini terus dilakukan," kata Paiman saat kami temui di Desa Lencoh.
Prosesi Kirab Dimulai
Setelah Isya, sejumlah warga mulai berkumpul di rumah berwarna hijau tempat Paiman merapal doa. Mereka yang bertugas kirab datang lebih awal untuk berias adat jawa. Mereka akan kirab membawa 9 tumpeng gunungan yang terdiri dari 2 gunungan besar dan 7 gunungan kecil. Tua, muda, laki-laki, perempuan semuanya berkumpul di sana.
Menurut Paiman, 9 tumpeng gunungan dalam ritual ini bukan tanpa makna. Paiman menyebut 9 gunungan adalah simbol Wali Songo. Yakni, sembilan wali penyebar agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-14.
"Wali Songo kan berbeda-beda pendapat tapi satu arah kan tidak masalah gitu," katanya.
Sementara itu, dua tumpeng gunungan besar yang sudah disiapkan juga punya makna tersendiri. Gunungan pertama, kata Paiman, adalah tumpeng gunung yang dibuat dari nasi jagung. Sementara gunungan kedua, lanjutnya, adalah tumpeng rasul yang menggunakan nasi beras padi.
"Tumpeng itu artinya harus mempeng [sepenuh hati]. Harus kuat niatnya meminta kepada Tuhan yang Maha Esa Allah SWT yang sudah mencurahkan semua keinginan warga masyarakat," kata dia.
Waktu kemudian menunjukkan pukul 21.15 WIB. Tanda bahwa kirab akan segera dimulai. Sejumlah warga pun sigap membawa kepala kerbau, satu sesaji, dan 9 gunungan ke Joglo Mandala Satu yang jaraknya sekitar 500 meter dari titik awal kirab. Sementara warga yang tak membawa gunungan turut mengiringinya dengan cahaya obor.
Di Joglo Mandala Satu, situasi sudah terpantau ramai. Warga Lencoh maupun warga luar daerah sudah berkumpul. Acara lalu dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Setelah itu, rombongan kirab mulai masuk pendopo dan disambut dengan Tarian Gambyong. Ujub sesaji dan kidung pun dilaksanakan setelah penyambutan tersebut.
Sebanyak tujuh gunungan kecil yang sudah diberkati lalu sengaja ditinggalkan di Joglo Mandala Satu. Tujuannya agar bisa dimakan warga sekitar. Sementara kepala kerbau, sesaji, dan dua gunungan besar kembali dikirab ke Joglo Mandala Dua atau New Selo yang jaraknya sekitar 1,5 kilometer.
Di sana, kepala kerbau dan sesaji diserahkan kepada 10 orang yang bertugas untuk dilarung di Pasar Bubrah. Mereka yang akan naik ke atas sudah menggunakan pakaian pendaki dan sudah bersiap di Joglo Mandala Dua. Kepala kerbau dan sesaji itu diambil secara estafet dari warga berpakaian adat Jawa.
Menurut Paiman, kepala kerbau itu sedianya dilarung ke kawah puncak Merapi. Namun, kata dia, kondisi Merapi saat ini tidak memungkinkan.
Berdasarkan data Balai Penyelidikan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, sejak pukul 00.00-06.00 WIB, Selasa (18/7), terjadi Guguran Lava Pijar yang meluncur sebanyak 10 kali dengan jarak luncur maksimal 1,8 kilometer ke arah barat daya (Kali Bebeng). Sementara data kegempaan menunjukkan terjadinya gempa guguran 33 kali.
"Situasi kondisi Merapi kurang bagus cuacanya. Sepuluh orang [yang membawa kepala kerbau] itu pun harus dapat perizinan dari taman nasional. Namanya sudah diminta pihak taman nasional," kata Paiman.
Sementara itu, dua tumpeng gunungan besar sengaja ditinggal di Joglo Mandala Dua untuk dimakan warga. Di luar acara inti ritual, ada sederet acara yang digelar supaya makin meriah. Ada jathilan [kuda lumping] di sore hari dan wayang kulit di malam hari. Dua acara ini juga jadi daya tarik masyarakat.
Sudah Ada Sejak 1991
Tradisi larung kepala kerbau sebetulnya baru muncul di tahun 1991. Di masa sebelumnya, kata Paiman, warga hanya membawa sesajen ke Merapi. Itu pun dilakukan secara pribadi alias belum terorganisir. Paiman menyebut larung kepala kerbau muncul setelah diprakarsai oleh Bupati Boyolali Mochamad Hasbi. Hasbi, kata Paiman, pun terinspirasi dari sejarah masa lalu.
"Ini sebenarnya ada sejarahnya. Dahulunya dari Keraton Surakarta Kanjeng Sinuwun Ke-6, Pakubuwono VI sering ke puncak Merapi," katanya.
Saat naik ke Merapi, kata Paiman, pengombyong atau ajudan dari Pakubuwono VI menuntun kerbau untuk disembelih di puncak. Kala itu, lanjut Paiman, kepala kerbau ditinggal di puncak dan dagingnya dibagikan ke masyarakat yang ada di lereng Merapi.
Sejarah itu kemudian diadaptasi. Ritual sedekah Merapi ini tak pernah absen sekalipun selama puluhan tahun. Warga dengan senang hati menjalankan Sedekah Gunung Merapi sebagai simbol rasa syukur. Ritual ini, kata Paiman, untuk Merapi dan seisinya termasuk Mbah Petruk.
Paiman bercerita bahwa Mbah Petruk adalah cerita legenda turun temurun di Lencoh. Mbah Petruk, kata Paiman, adalah nama samaran Handoko Kusumo. Dia seorang warga Cepogo yang kabur ketika hendak dikhitan.
"Kan masih ada jalannya di situ, Namanya gandul digoleki (dicari) ke mana-mana sudah tidak ketemu karena udah lain alam. Terus orang tuanya itu lewat mimpi kalau beliau sudah menjadi penghuni Merapi," katanya.
Mbah Petruk inilah, kata Paiman, yang seringkali disebut sebagai penjaga Merapi. Menurut Paiman, warga setempat percaya bahwa selain harus hidup harmoni dengan alam, manusia juga harus menjaga hubungan baik dengan makhluk gaib ciptaan Tuhan.
"Sesama makhluk harus berdampingan saja, bukan disembah. Makhluk tak kasat mata itu saudara juga," katanya.
Jauh-jauh datang ke Desa Lencoh
Kriscahyani adalah warga Solo yang tertarik menghadiri Sedekah Gunung Merapi di Lencoh. Kris menempuh perjalanan selama hampir 2 jam dari rumahnya untuk tiba di desa tersebut. Tentu ia harus melewati jalan yang gelap dan menanjak.
"Saya suka budaya. Di tengah gempuran teknologi, di sini kearifan lokalnya masih bagus banget," kata Kris.
Menurutnya, hal-hal seperti ini di banyak tempat sudah pudar termasuk di tempat tinggalnya. "Dulu kan sadranan [tradisi mengunjungi makam leluhur] dan genduren [tradisi berkumpul untuk selametan] di tempatku masih ada, sekarang kan nggak ada. Tapi di Desa Lencoh masih sangat kental, jadi kegotongroyongan masyarakatnya, kekeluargaan masyarakatnya, ini yang membuat salah satu daya tarik," katanya.
Ada pula Imanda Lazuardi yang datang untuk menikmati tradisi malam satu suro di Lencoh. Mahasiswa Undip tersebut rupanya juga berniat untuk meneliti soal ketahanan pangan di desa tersebut.
"Teman saya mau ngangkat suronan [tradisi satu Suro] ini sebagai mitigasi bencana, dikaitkan dengan ketahanan pangan. Jadi ketika Merapi erupsi mereka masih ada stok pangan itu sendiri," kata Imanda.
Imanda mengatakan nilai gotong royong masyarakat Lencoh dalam mensukseskan acara ini begitu kental. "Saya juga sempat bincang-bincang dengan warga, ini jadi kaya Islam Kejawen mungkin ya. Saya dengar kidungnya ada bahasa Jawa dan menyebutkan nabi-nabi juga. Jadi sangat menarik," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar